Tuesday, January 16, 2018

CARUBAN NAGARI (bagian 1)



 Sungai Gangga dan Kerajaan Indraprahasta




Kerajaan  tertua Cirebon selalu dikaitkan dengan keberadaan Tarumanagara. Pada jaman itu pemukiman di Cirebon berada disekitar Kecamatan Talun sekarang. Desa-desa yang eksis saat itu adalah Desa Sarwadadi, Desa Krandon, dan disekitar Desa Sampiran (Wilayah Cirebon Girang). Waktu itu Cirebon bernama Indraprahasta, kerajaan yang sering dikaitkan dengan upacara Mandi Suci atau upacara Matirta Medha.
Sebagaimana diberitakan Naskah Pustaka Pararatwan I bhumi Nusantara banyak orang mandi di Sungai Gangga untuk menghilangkan dosa selama hidup,  seperti yang dilakukan di negeri Bharata, mengikuti adat kebiasaan negeri asal Maharaja Purnawarman”.
Sebagai maharaja yang memerintah Tarumanagara yang merupakan kerajaan pelindung Kerajaan Indraprahasta, Maharaja Purnawarman menggangap penting keberadaan Sungai Gangga tersebut. Sehingga pada hari dua belas paro peteng bulan margasirah sampai dengan hari kelima belas bulan posya tahun 332 tarikh saka (410 M), keberadaan sungai Gangga diperkokoh dan diperindah. Untuk kepentingan upacara tersebut Maharaja Purnawarman memberikan hadiah 500 ekor sapi, pakaian – pakaian, 20 ekor kuda dan seekor Gajah kepada raja Indraprahasta.
Melihat lokasi yang diberitakan naskah tersebut, letak Sungai Gangga disekitar Desa Sampiran sebelah utara, berbatasan dengan Grenjeng atau Kalitanjung, sampai ke wilayah Dukuh Semar hingga Kelurahan Drajat, kalau lokasi yang di Sampiran Selatan Sungai Gangga terpecah menjadi Sungai Suba, Sungai Grampak, dan Sungai Cirebon Girang.
terutama yang tinggal di pinggiran Kota Cirebon. Upacara berlangsung di 3  lokasi yaitu; disekitar Kelurahan Drajat, Dukuh Semar dan Kalitanjung. Masyarakat Cirebon menyebutnya dengan Upacara Ngirab atau Adus Gede (Mandi Besar).
Di India upacara tersebut disebut Maha Kumba (Mandi besar).
Seiring dengan perkembangan jaman dan pendangkalan Sungai Gangga upacara tersebut tidak dilaksanakan lagi. Upacara itu dulu dilaksanakan pada hari Rabo terakhir di bulan Safar (Rebo Wekasan) , seminggu sebelum datangnya bulan Rabiul Awal dalam kalender Islam.
Nama Indraprahasta masih sering disebut dalam berita keberadaan Tarumanagara. Setelah Maharaja Purnawarman mangkat, penggantinya adalah Raja Wisnuwarman.
Pada pemerintahan Raja Wisnuwarman, Tarumanagara diguncang  pemberontakan yang dipimpin Cakrawarman, adik dari Maharaja Purnawarman,  paman dari Raja Wisnuwarman. Peristiwa ini diberitakan oleh naskah Pustaka Pararathon I Bhumi Jawadwipa,1.2,
menceritakan bahwa “pada saat itu (Wisnuwarman) memerintah Kerajaan Tarumanagara terjadi huru-hara memasuki Negara, ialah sang Cakrawarman panglima perang, yaitu adik sang Purnawarman, huru-hara tersebut ditumpas oleh Prabu Wirabanyu, raja dari kerajaan Indraprahasta”. (A. Darsa; 2007; 6).
Raja Indraprahasta yang disebutkan sudah berganti dari Resi Sentanamurti kepada putranya, Wirabanyu bergelar Prabu Wirabanyu. Diceritakan putri Prabu Wirabanyu, Suklawati Dewi dinikahi Maharaja Wisnuwarman.
Keamanan Kerajaan Tarumanagara dipercayakan kepada pasukan dari Indraprahasta.
Selama 2 periode pemerintahan, Indraprahasta menempati kedudukan yang penting.
Setelah Wisnuwarman mangkat, digantikan putranya, Indrawarman, memerintah kerajaan Tarumanaagara dari 377 saka sampai 437 saka atau 465 M sampai 515 M.
Indrawarman masih mengandalkan Pasukan Tempur  Indraprahasta.
Untuk memperkuat posisinya sebagai Raja Tarumanagara, Indrawarman mempersunting Dewi Ganggasari, putri Wisnumurti Raja Indraprahasta.
Setelah Resi Sentanumurti, Prabu Wirabanyu, dan Prabu Wisnumurti mangkat, nama Indraprahasta tidak pernah muncul dalam catatan apapun, baik naskah lokal maupun sumber berita asing.
Kepopuleran Indraprahasta selalu dikaitkan dengan kesucian Sungai Gangganya dan pasukan tempurnya yang bernama Pasukan Kalang atau Pasukan Pedati .
Menurut TD Surjana Pasukan Kalang terdiri dari Pasukan Konvoi Pedati yang dilengkapi persenjataan lengkap. Pedati bisa berfungsi sebagai perisai dari serangan musuh dan mobilisasi pasukan.
Keberadaan Indraprahasta hanya ditemukan dalam naskah Seri Wangsakarta, setelah keruntuhan Tarumanagara, beritanya tidak pernah muncul, bukti-bukti keberadanya sulit ditemukan.
Sejak 1987 M Mandi Suci di Sungai Gangga sudah tidak ada lagi, tetapi Mandi Suci di bulan purnama atau Murnamaan  masih tetap dilaksanakan sampai sekarang.
Dahulu Murnamaan dilakukan tanggal 14 tiap bulan, kemudian bergeser setiap Jum’at kliwon, kemungkinan pergeseran terjadi setelah Sunan Gunungjati wafat pada 1568. Tradisi kliwonan berasal dari tradisi Seba Kliwon, upacara Mandi Suci di 7 Sumur di Komplek Astana Nurgiri Ciptarengga dan Astana Amparanjati.
Para peziarah memulai upacara Murnamaan setelah memasuki senja, sekitar pukul 07.00 sampai larut malam,mengenakan kain serba putih, selesai dipakai dibuang.
Bukti-bukti berkaitan “Wong Kalang” atau Orang-orang Kalang adalah Pedati Gede, tradisi kendaraan sebelum kedatangan Islam. Ki Gede Pekalangan adalah orang yang merawat sisa-sisa warisan Wong Kalang. Orang-orang Pekalangan adalah keturunan Pasukan Kalang jaman Kerajaan Indraprahasta.
Situs Pedati Gede bisa kita saksikan di Kampung Pekalangan sampai sekarang
Keberadaan situs raja-raja yang memerintah Indraprahasta sampai sekarang belum ditemukan, baik kuburan ataupun candi. Menurut PRBN, 1,2:
Agama yang dianut oleh raja-raja Indraprahasta adalah Hindu sekte Waisnawa, adatnya adalah melarung jenazah yang meninggal dunia. Kemungkinan raja-raja Indraprahasta yang meninggal jenazahnya dilarung atau dikremasi sehingga tidak ada kuburan ataupun candi.
Bukti-bukti lain yang berkaitan erat dengan kerajaan Indraprahasta adalah Arca Wisnu di komplek Gua Sunyaragi, menurut masyarakat setempat sudah ada sejak dulu.
Mengapa arca ini ditemukan di Gua Sunyaragi ? Tidak ada penjelasan yang valid.
Komplek Gua Sunyaragi, adalah gua buatan manusia yang berada ditengah danau buatan. Pembuatannya dirintis oleh Pangeran Angkawijaya atau Pangeran Losari  pada 1570 M.
Alasan pembuatan Gua Sunyaragi untuk tempat berkholwat, pengganti Pesantren Gunung Sembung yang telah berubah fungsi menjadi makam raja-raja. Terutama setelah Sunan Gunungjati wafat, pesantren di Gunung Sembung berubah nama menjadi Astana Nurgiri Ciptarengga.
Sunyaragi terletak ditengah danau buatan, dikelilingi air yang dipasok dari Sungai Gangga melalui saluran dari Kampung Kandang Perahu menuju danau,sebelumnya air ditampung di Situ Gangga. Mungkin pada waktu penggalian danau tersebut Pangeran Losari menemukan arca Wisnu, kemudian diletakan di Gua Sunyaragi.
Asumsi kedua: diketemukan oleh Pangeran Kararangen atau Pangeran Arya Carbon, Raja Giyanti yang membangun komplek Gua Sunyaragi dengan fasilitas lengkap dan megah, menyempurnakan dengan infrastruktur pengadaan saluran air dengan sirkulasi yang baik, fasilitas pendingin disetiap ruangan gua dengan sirkulasi air yang dialirkan disetiap cela-cela gua. Membangun kolam pemandian dan taman yang mengelilingi seluruh bagian komplek gua sunyaragi.
Asumsi ketiga: pada 1753 M Sultan Tajul Asyikin Amirsena Zaenudin, Sultan Sepuh IV juga memperbaiki Gua Sunyaragi, namun pada 1773 sang Sultan keburu mangkat, pembangunan dilanjutkan oleh putranya, Pangeran Amir Shidik, membuat ruang bawah tanah yang luas, cukup untuk latihan perang, kedalamannya hampir mencapai 6 meter, diduga berada sebelah utara kolam, mungkin pada saat penggalian arca Wisnu tersebut ditemukan.
Pangeran Amir Shidik atau dikenal dengan nama Sultan Sepuh Muhammad Shofiudin akhirnya terusir dari benteng pertahanannya ketika Gua Sunyaragi dihancurkan oleh serangan Belanda.
Pada 1780 M, Gua Sunyaragi menjadi puing-puing bangunan yang sepi , kemudian direhab oleh pemerintah RI pada 1980.
Menurut informasi penduduk setempat arca Wisnu dari dulu tidak pernah berpindah, selalu diberi sesajen ketika mau melaksanakan hajatan.
Kalau Arca Wisnu tersebut berasal dari sisa-sisa peninggalan Kerajaan Indraprahasta, maka apa yang diberitakan oleh Pangeran Wangsakerta dalam PRBN, 1,2 benar adanya, bahwa agama yang dianut oleh masyarakat Cirebon pada masa kerajaan Indraprahasta adalah Hindu Sekte Waisnawa. Selain arca Wisnu, disekitar bunderan Dewandaru Keraton Kasepuhan dipajang Arca Nandi, pemuja Batara Syiwa adalah corak keagamaan masyarakat Cirebon sebelum Islam.
Setelah abad ke 6 masehi nama pemukiman di Cirebon tidak pernah diberitakan lagi dalam sumber lokal maupun berita asing, nama Cirebon baru muncul kembali setelah abad ke XIV masehi.
CPCN mencatat tentang kerajaan Wanagiri yang dipimpin oleh Ki Ageng Kasmaya, juga tentang para Ajar yang bermukim dikawasan perbukitan.
Yang sering disebut adalah Ki Ageng Danuwarsi, guru dan mertua Pangeran Cakrabuana, pendiri Cirebon.
Ki Ageng Danuwarsi adalah seorang Ajar (guru) agama Budha aliran Budhaparwa, adalah putra Ki Ajar Danusetra, seorang ajar sangat sakti,bermukim di Gunung Dahiyang atau Gunung Diyeng, Wonosobo.
Ki Ageng Danuwarsi menetap di Desa Cirebon Girang, bisa disimpulkan masyarakat Cirebon Girang pada saat itu masih menganut agama Budha.
Ki Ageng Danuwarsi memiliki adik bernama Ki Danusela,menjadi kuwu untuk membangun Kebon Pesisir Lemah Wungkuk,diberi gelar Ki Gedeng Alang-alang.
Menurut Naskah Serat Carub Kandha gelar kuwu Ki Danusela adalah Sri Mangana. Tentang asal-usul Ki Danusela, Serat Carub Kandha berbeda pendapat, bahwa Ki Kuwu Carbon pertama Sri Mangana, putra Sri Budhi, putra dari Sri Ghana, Sri Ghana putra dari Mundinglaras, Mundinglaras putra dari Sri Maya Sinuci, Sri Maya Sinuci putra dari Sri Lenyap Landep, dan Sri Lenyap Landep adalah putra dari Darmahyang Sakti, Darmahyang sakti putra raja Galuh Prabu Linggawesi. Jadi menurut SCK Kuwu Cirebon pertama adalah keturunan Sunda, kemudian putrinya yang bernama Dewi Kencanawati dinikahi oleh Pangeran Cakrabuana.
Nagari lain yang diceritakan sumber lokal adalah Nagari Wanagiri,berdasarkan kesamaan nama dengan nama yang sekarang adalah Desa Wanagiri, berada di Kecamatan Klangenan dan Kecamatan Palimanan. Adapun ibukota Wanagiri kemungkinan di Desa Girinata.
Wanagiri berada wilayah perbukitan dan hutan yang subur, ladang pertanian dan sungai-sungai kecil yang airnya jernih, lahan yang cocok untuk pertanian dan perkebunan.
Nagari Wanagiri dipimpin oleh raja keturunan Mangkubumi Suradipati Rakyan Bunisora, yang pernah menjadi caretaker Kerajaan Galuh, karena kakaknya Prabu Linggahyang gugur di Bubat. Sementara sang putra mahkota, Pangeran Wastu Kencana masih sangat kecil, sambil menunggu dewasa, Rakyan Bunisora mengisi kekosongan pemerintahan itu.
Putra Rakyan Bunisora itu adalah Ki Ageng Giridewata, dikenal dengan Ki Gedheng Kasmaya, lahir pada 1347 M, kemudian diangkat menjadi raja Nagari Wanagiri.
Ki Gedheng Kasmaya mempunyai adik yang lahir pada 1350M, bernama Bratalegawa, pedagang yang pergaulan luasnya, sering pergi berlayar keluar negeri, ke Swarnabhumi, Semenanjung Malaka, Tiongkok, Champa, Sri Langka, India, Arab dan Parsi.
Dia memperoleh jodoh wanita muslim Gujarat, bernama Farhana Binti Muhammad, adalah rekan bisnis Bratalegawa.
Lewat pernikahan dengan Farhana, Bratalegawa mengenal Islam, kemudian menunaikan Ibadah Haji, mendapat gelar Haji Baharudin al Jawi, dikenal dengan Haji Purwa Galuh, karena orang Galuh pertama yang berangkat haji.
Bratalegawa berupaya mengajak kakaknya Ki Gedheng Kasmaya memeluk Islam, namun ditolak secara halus, karena menghargai warganya yang mayoritas pemeluk Hindu – Budha. Walaupun keduanya berbeda keyakinan namun tetap menjalin hubngan kekeluargaan.
Pernikahan Bratalegawa dengan Farhanah menurunkan seorang putra bernama Ahmad, dikenal sebagai saudagar besar. Setelah dewasa, mendapatkan jodoh Rogayah Binti Abdullah, putri sahabat Bratalegawa.
Pernikahan Achmad dan Rogayah menurunkan putri yang bernama Hadijah, memperoleh jodoh pedagang Hadramaut, Yaman. Namun usia jodohnya tidak panjang, suaminya meninggal sebelum memperoleh keturunan. Hadijah kembali ke Galuh bersama kedua orangtuanya, tinggal di Pasambangan Jati,berdagang, melanjutkan bakat dari orangtuanya.
Setelah Syeikh Datul Kahfi datang, Hadijah dijodohkan oleh Ki Gedheng Tapa dengan Syeikh Datul Kahfi. Hadijah masih tergolong bibinya Ki Gedheng Tapa.
Pernikahan Syeikh Datul Kahfi dengan Hadijah memperoleh keturunan Nyi Ageng Muara, yang memiliki bakat dagang ibunya.
Selain diceritakan oleh sumber sumber tertulis dari historiografi tradisional, berita keberadaan permukiman di Cirebon juga diketahui lewat peninggalan arkeologi, berupa inskripsi yang dipahat dalam bentuk aksara cekung yang terpahat disebuah batu tertulis terletak di Desa Cikalahang. Masyarakat setempat menyebutnya Prasasti Huludayeuh. Sebetulnya keberadaan Huludayeuh tidak berdiri sendiri, pasti ada Bujal dayeuh dan Birit dayeuh , namun yang diberikan penanda biasanya hanya Huludayeuh dan Birit dayeuh,Bujal dayeuh biasanya tidak diberikan suatu penanda.
Bujal dayeuh adalah pusat pemukiman, contohnya di Desa Cimara Kecamatan Pesawahan Kabupaten Kuningan.
Huludayeuh terletak dibagian depan Sungai Soka (Cisoka), ditandai sebuah batu besar, disampingnya ditumbuhi pohon besar jenis pohon Gelampok. Lokasi Bujal Dayeuh di pusat pemukiman penduduk, biasanya ditandai dengan didirikannya bangunan pusat pemerintahan desa yang berbentuk Mande Lebu (Balai Lebu), Tempat ibadah danAlun alun. Sedangkan lokasi Birit Dayeuh di wilayah perbatasan desa paling belakang dari aliran sungai Soka.  Birit Dayeuh ditandai batu panjang yang berdiri vertikal mirip Menhir. 

Cungkup tempat prasarti Huludayeuh.
Berada ditengah-tengah sawah di Desa Cikalahang kabupaten Cirebon.
 
Prasarti Huludayeuh di wilayah Timur Kerajaan Sunda Pajajaran.
 Penanda wilayah Keadipatian Carbon dan sekitarnya masih bagian Kerajaan Sunda Pajajaran.

No comments:

Post a Comment