Sungai Gangga dan Kerajaan
Indraprahasta
Kerajaan tertua
Cirebon selalu dikaitkan dengan
keberadaan Tarumanagara.
Pada jaman itu pemukiman di Cirebon berada disekitar Kecamatan Talun
sekarang. Desa-desa yang eksis saat itu adalah Desa Sarwadadi, Desa Krandon, dan
disekitar Desa Sampiran (Wilayah Cirebon Girang). Waktu itu Cirebon bernama Indraprahasta, kerajaan yang
sering dikaitkan dengan upacara Mandi Suci atau upacara Matirta Medha.
Sebagaimana
diberitakan Naskah
Pustaka
Pararatwan I bhumi
Nusantara “
banyak orang mandi di Sungai Gangga untuk
menghilangkan dosa selama hidup, seperti
yang dilakukan di negeri Bharata, mengikuti adat kebiasaan negeri asal Maharaja
Purnawarman”.
Sebagai maharaja
yang memerintah Tarumanagara yang merupakan kerajaan pelindung Kerajaan
Indraprahasta, Maharaja Purnawarman menggangap penting keberadaan Sungai Gangga
tersebut. Sehingga pada hari dua belas paro peteng bulan margasirah sampai
dengan hari kelima belas bulan posya
tahun 332 tarikh saka (410 M), keberadaan sungai Gangga diperkokoh dan diperindah. Untuk kepentingan
upacara tersebut Maharaja Purnawarman memberikan hadiah 500 ekor sapi, pakaian
– pakaian, 20 ekor kuda dan seekor Gajah kepada raja Indraprahasta.
Melihat lokasi
yang diberitakan naskah tersebut, letak Sungai Gangga disekitar Desa Sampiran
sebelah utara, berbatasan dengan Grenjeng atau Kalitanjung,
sampai ke wilayah Dukuh Semar hingga Kelurahan Drajat, kalau lokasi yang di Sampiran Selatan Sungai Gangga
terpecah menjadi Sungai Suba, Sungai Grampak, dan
Sungai Cirebon Girang.
terutama yang
tinggal di pinggiran
Kota Cirebon. Upacara berlangsung di 3
lokasi yaitu; disekitar Kelurahan Drajat, Dukuh Semar dan Kalitanjung.
Masyarakat Cirebon menyebutnya dengan Upacara Ngirab atau Adus Gede
(Mandi Besar).
Di India upacara
tersebut disebut Maha Kumba (Mandi
besar).
Seiring dengan
perkembangan jaman dan pendangkalan Sungai Gangga upacara tersebut tidak
dilaksanakan lagi. Upacara itu dulu dilaksanakan pada hari Rabo terakhir di bulan Safar (Rebo
Wekasan) , seminggu
sebelum datangnya bulan Rabiul Awal dalam kalender Islam.
Nama
Indraprahasta masih sering disebut dalam berita keberadaan Tarumanagara.
Setelah Maharaja Purnawarman mangkat, penggantinya adalah Raja Wisnuwarman.
Pada
pemerintahan Raja Wisnuwarman, Tarumanagara diguncang pemberontakan yang dipimpin Cakrawarman, adik dari Maharaja Purnawarman, paman dari Raja Wisnuwarman. Peristiwa ini
diberitakan oleh naskah Pustaka Pararathon I Bhumi Jawadwipa,1.2,
menceritakan
bahwa “pada saat itu (Wisnuwarman) memerintah Kerajaan Tarumanagara terjadi
huru-hara memasuki Negara, ialah sang Cakrawarman panglima perang, yaitu adik
sang Purnawarman, huru-hara tersebut ditumpas oleh Prabu Wirabanyu, raja dari
kerajaan Indraprahasta”. (A. Darsa; 2007; 6).
Raja
Indraprahasta yang disebutkan sudah berganti dari Resi Sentanamurti kepada
putranya, Wirabanyu bergelar Prabu Wirabanyu. Diceritakan putri Prabu Wirabanyu,
Suklawati Dewi dinikahi Maharaja Wisnuwarman.
Keamanan
Kerajaan Tarumanagara dipercayakan kepada pasukan dari Indraprahasta.
Selama 2 periode
pemerintahan, Indraprahasta menempati kedudukan yang penting.
Setelah
Wisnuwarman mangkat, digantikan putranya, Indrawarman, memerintah kerajaan Tarumanaagara dari
377 saka sampai 437 saka atau 465 M sampai 515 M.
Indrawarman
masih mengandalkan Pasukan Tempur
Indraprahasta.
Untuk memperkuat
posisinya sebagai Raja Tarumanagara, Indrawarman mempersunting Dewi Ganggasari,
putri Wisnumurti Raja Indraprahasta.
Setelah Resi
Sentanumurti, Prabu Wirabanyu, dan Prabu Wisnumurti mangkat, nama Indraprahasta
tidak pernah muncul dalam catatan apapun, baik naskah lokal maupun sumber
berita asing.
Kepopuleran
Indraprahasta selalu dikaitkan dengan kesucian Sungai Gangganya dan pasukan
tempurnya yang bernama Pasukan Kalang
atau Pasukan Pedati .
Menurut TD
Surjana Pasukan Kalang
terdiri dari Pasukan Konvoi Pedati yang dilengkapi
persenjataan lengkap. Pedati bisa berfungsi sebagai perisai dari serangan musuh
dan mobilisasi pasukan.
Keberadaan Indraprahasta hanya ditemukan dalam naskah Seri Wangsakarta,
setelah keruntuhan Tarumanagara, beritanya
tidak pernah muncul, bukti-bukti keberadanya sulit ditemukan.
Sejak 1987
M Mandi Suci di Sungai Gangga sudah tidak ada lagi,
tetapi Mandi Suci di bulan purnama atau Murnamaan masih tetap dilaksanakan sampai sekarang.
Dahulu Murnamaan dilakukan tanggal 14 tiap
bulan, kemudian bergeser setiap Jum’at kliwon, kemungkinan pergeseran terjadi
setelah Sunan Gunungjati wafat pada 1568. Tradisi kliwonan berasal dari tradisi
Seba Kliwon,
upacara Mandi Suci di 7 Sumur di Komplek Astana Nurgiri Ciptarengga dan Astana
Amparanjati.
Para peziarah memulai upacara Murnamaan
setelah memasuki senja, sekitar pukul
07.00 sampai larut malam,mengenakan kain serba putih, selesai dipakai dibuang.
Bukti-bukti
berkaitan “Wong Kalang” atau Orang-orang Kalang adalah Pedati Gede,
tradisi kendaraan sebelum kedatangan Islam. Ki Gede Pekalangan adalah
orang yang merawat sisa-sisa warisan Wong Kalang. Orang-orang
Pekalangan adalah keturunan Pasukan Kalang jaman Kerajaan Indraprahasta.
Situs Pedati
Gede bisa kita saksikan di Kampung Pekalangan sampai sekarang
Keberadaan situs
raja-raja yang memerintah Indraprahasta sampai sekarang belum ditemukan, baik
kuburan ataupun candi. Menurut PRBN, 1,2:
Agama yang
dianut oleh raja-raja Indraprahasta adalah Hindu sekte Waisnawa, adatnya adalah melarung jenazah yang
meninggal dunia. Kemungkinan raja-raja Indraprahasta
yang meninggal jenazahnya dilarung atau dikremasi sehingga tidak ada
kuburan ataupun candi.
Bukti-bukti lain
yang berkaitan erat dengan kerajaan Indraprahasta adalah Arca Wisnu di komplek
Gua Sunyaragi, menurut masyarakat setempat sudah ada sejak dulu.
Mengapa arca ini
ditemukan di Gua Sunyaragi ? Tidak ada penjelasan yang valid.
Komplek Gua
Sunyaragi, adalah gua buatan manusia yang berada ditengah danau buatan. Pembuatannya dirintis
oleh Pangeran Angkawijaya atau Pangeran Losari
pada 1570 M.
Alasan pembuatan
Gua Sunyaragi untuk tempat berkholwat, pengganti Pesantren Gunung Sembung yang telah berubah
fungsi menjadi makam raja-raja. Terutama setelah Sunan Gunungjati wafat,
pesantren di Gunung Sembung berubah nama menjadi Astana Nurgiri Ciptarengga.
Sunyaragi
terletak ditengah danau buatan, dikelilingi
air
yang dipasok dari Sungai Gangga melalui saluran dari Kampung Kandang Perahu menuju danau,sebelumnya air ditampung di Situ Gangga. Mungkin pada waktu penggalian danau
tersebut Pangeran Losari menemukan arca Wisnu, kemudian diletakan di Gua
Sunyaragi.
Asumsi kedua: diketemukan oleh Pangeran Kararangen atau Pangeran Arya
Carbon, Raja
Giyanti yang membangun komplek Gua Sunyaragi dengan fasilitas lengkap dan megah, menyempurnakan dengan infrastruktur pengadaan saluran air dengan
sirkulasi yang baik, fasilitas pendingin disetiap ruangan gua dengan sirkulasi
air yang dialirkan disetiap cela-cela gua. Membangun kolam pemandian dan taman
yang mengelilingi seluruh bagian komplek gua sunyaragi.
Asumsi ketiga: pada 1753 M Sultan Tajul Asyikin Amirsena Zaenudin,
Sultan Sepuh IV
juga memperbaiki Gua
Sunyaragi, namun pada 1773 sang Sultan keburu mangkat,
pembangunan dilanjutkan oleh putranya, Pangeran Amir Shidik, membuat ruang
bawah tanah yang luas, cukup untuk latihan perang, kedalamannya hampir mencapai 6 meter,
diduga berada sebelah utara kolam, mungkin pada saat penggalian
arca Wisnu tersebut ditemukan.
Pangeran Amir
Shidik atau dikenal dengan nama Sultan Sepuh Muhammad Shofiudin akhirnya
terusir dari benteng pertahanannya ketika Gua Sunyaragi dihancurkan oleh
serangan Belanda.
Pada 1780 M, Gua
Sunyaragi menjadi puing-puing bangunan yang sepi
, kemudian direhab oleh pemerintah RI pada 1980.
Menurut
informasi penduduk setempat arca Wisnu dari dulu tidak pernah berpindah, selalu
diberi sesajen ketika mau melaksanakan hajatan.
Kalau Arca Wisnu tersebut berasal dari sisa-sisa peninggalan
Kerajaan Indraprahasta, maka apa yang diberitakan oleh Pangeran Wangsakerta
dalam PRBN, 1,2 benar adanya, bahwa agama yang dianut oleh masyarakat Cirebon
pada masa kerajaan Indraprahasta adalah Hindu Sekte Waisnawa. Selain arca
Wisnu, disekitar bunderan Dewandaru Keraton Kasepuhan dipajang Arca Nandi, pemuja Batara Syiwa adalah
corak keagamaan masyarakat Cirebon sebelum Islam.
Setelah abad ke
6 masehi nama pemukiman di Cirebon tidak pernah diberitakan lagi dalam sumber
lokal maupun berita asing, nama Cirebon baru muncul kembali setelah abad ke XIV
masehi.
CPCN mencatat
tentang kerajaan Wanagiri yang dipimpin oleh Ki Ageng Kasmaya, juga tentang
para Ajar yang bermukim dikawasan perbukitan.
Yang sering disebut adalah Ki Ageng Danuwarsi, guru dan mertua Pangeran
Cakrabuana, pendiri
Cirebon.
Ki Ageng
Danuwarsi adalah seorang Ajar (guru) agama Budha aliran Budhaparwa,
adalah putra Ki Ajar Danusetra,
seorang ajar sangat sakti,bermukim di Gunung Dahiyang atau Gunung Diyeng,
Wonosobo.
Ki Ageng
Danuwarsi menetap di Desa Cirebon Girang, bisa disimpulkan masyarakat Cirebon Girang pada saat
itu masih menganut agama Budha.
Ki Ageng
Danuwarsi memiliki adik
bernama Ki Danusela,menjadi kuwu untuk membangun Kebon Pesisir Lemah Wungkuk,diberi gelar Ki Gedeng
Alang-alang.
Menurut Naskah
Serat Carub Kandha gelar kuwu Ki Danusela adalah Sri Mangana. Tentang asal-usul
Ki Danusela, Serat Carub Kandha berbeda pendapat, bahwa Ki Kuwu Carbon pertama Sri Mangana, putra Sri
Budhi, putra dari Sri Ghana, Sri Ghana putra dari Mundinglaras, Mundinglaras
putra dari Sri Maya Sinuci, Sri Maya Sinuci putra dari Sri Lenyap Landep, dan
Sri Lenyap Landep adalah putra dari Darmahyang Sakti, Darmahyang sakti putra
raja Galuh Prabu Linggawesi. Jadi menurut SCK Kuwu Cirebon pertama adalah keturunan
Sunda, kemudian putrinya yang bernama Dewi Kencanawati dinikahi oleh Pangeran
Cakrabuana.
Nagari lain yang
diceritakan sumber lokal adalah Nagari Wanagiri,berdasarkan kesamaan nama dengan nama yang sekarang
adalah Desa
Wanagiri, berada di Kecamatan Klangenan dan Kecamatan Palimanan. Adapun ibukota
Wanagiri kemungkinan di Desa Girinata.
Wanagiri berada
wilayah perbukitan dan hutan yang subur, ladang pertanian dan sungai-sungai
kecil yang airnya jernih, lahan yang cocok untuk pertanian dan perkebunan.
Nagari Wanagiri
dipimpin oleh raja keturunan Mangkubumi Suradipati Rakyan Bunisora, yang pernah
menjadi caretaker Kerajaan Galuh, karena
kakaknya Prabu Linggahyang gugur di Bubat. Sementara sang putra mahkota,
Pangeran Wastu Kencana masih sangat kecil, sambil menunggu dewasa, Rakyan
Bunisora mengisi kekosongan pemerintahan itu.
Putra Rakyan
Bunisora itu adalah Ki Ageng Giridewata, dikenal dengan Ki Gedheng Kasmaya,
lahir pada 1347 M, kemudian diangkat menjadi raja Nagari Wanagiri.
Ki Gedheng
Kasmaya mempunyai adik yang lahir pada 1350M, bernama Bratalegawa, pedagang
yang pergaulan luasnya, sering pergi berlayar keluar negeri, ke Swarnabhumi, Semenanjung
Malaka, Tiongkok, Champa, Sri Langka, India, Arab dan Parsi.
Dia memperoleh
jodoh wanita muslim Gujarat, bernama Farhana Binti Muhammad, adalah rekan bisnis
Bratalegawa.
Lewat pernikahan
dengan Farhana,
Bratalegawa mengenal Islam, kemudian menunaikan Ibadah Haji, mendapat gelar
Haji Baharudin al Jawi, dikenal dengan Haji Purwa Galuh, karena orang Galuh
pertama yang berangkat haji.
Bratalegawa
berupaya mengajak kakaknya Ki Gedheng Kasmaya memeluk Islam, namun ditolak secara halus,
karena menghargai warganya yang mayoritas pemeluk Hindu – Budha. Walaupun keduanya berbeda
keyakinan namun tetap menjalin hubngan kekeluargaan.
Pernikahan
Bratalegawa dengan Farhanah menurunkan seorang putra bernama Ahmad, dikenal sebagai saudagar besar. Setelah
dewasa, mendapatkan jodoh Rogayah Binti Abdullah,
putri sahabat Bratalegawa.
Pernikahan
Achmad dan Rogayah menurunkan putri yang bernama Hadijah, memperoleh jodoh
pedagang Hadramaut, Yaman. Namun usia jodohnya tidak
panjang, suaminya
meninggal sebelum memperoleh keturunan. Hadijah kembali ke Galuh bersama kedua orangtuanya, tinggal di
Pasambangan Jati,berdagang,
melanjutkan bakat dari orangtuanya.
Setelah Syeikh
Datul Kahfi datang,
Hadijah dijodohkan oleh Ki Gedheng Tapa dengan Syeikh Datul Kahfi. Hadijah
masih tergolong bibinya Ki Gedheng Tapa.
Pernikahan
Syeikh Datul Kahfi dengan Hadijah memperoleh keturunan Nyi Ageng Muara, yang
memiliki bakat dagang ibunya.
Selain
diceritakan oleh sumber sumber tertulis dari historiografi tradisional, berita keberadaan
permukiman di Cirebon juga diketahui lewat peninggalan arkeologi, berupa
inskripsi yang dipahat dalam bentuk aksara cekung yang terpahat disebuah batu
tertulis terletak di Desa Cikalahang. Masyarakat setempat menyebutnya Prasasti Huludayeuh.
Sebetulnya keberadaan Huludayeuh
tidak berdiri sendiri, pasti ada Bujal dayeuh dan Birit dayeuh
, namun yang
diberikan penanda biasanya hanya Huludayeuh
dan Birit dayeuh,Bujal
dayeuh biasanya tidak diberikan
suatu penanda.
Bujal dayeuh
adalah pusat pemukiman, contohnya di Desa Cimara Kecamatan Pesawahan Kabupaten
Kuningan.
Huludayeuh
terletak dibagian depan Sungai Soka (Cisoka), ditandai sebuah batu besar, disampingnya ditumbuhi pohon besar jenis pohon
Gelampok. Lokasi Bujal Dayeuh di
pusat pemukiman penduduk, biasanya ditandai dengan didirikannya bangunan pusat
pemerintahan desa yang berbentuk Mande
Lebu (Balai Lebu), Tempat ibadah danAlun alun. Sedangkan lokasi Birit
Dayeuh di wilayah perbatasan desa paling belakang dari aliran
sungai Soka. Birit Dayeuh ditandai batu panjang yang berdiri vertikal mirip
Menhir.
![]() |
Cungkup tempat prasarti
Huludayeuh.
Berada ditengah-tengah sawah di Desa Cikalahang kabupaten Cirebon.
|
No comments:
Post a Comment