KUNJUNGAN CHENG HWA ( CHENG HO)
Jejak-jejak
kunjungan Cheng Hwa di Kerajaan-Kerajaan Nusantara sangat banyak jumlahnya. Di Cirebon
sendiri jejak-jejak peninggalan Cheng Hwa cukup banyak jumlahya. Jejak-jejak
peninggalan Cheng Hwa di Cirebon selalu dikaitkan dengan Keratuan Singapura. Karena
pada sekitar tahun 1405-1422
nama Cirebon belum ada. Nama Cirebon masih dinamakan Nagari Singapura. Luas
wilayah Nagari Singapura diperkirakan hanya meliputi wilayah Kecamatan Gunung
Jati, Kecamatan Kapetakan, Kecamatan Suranenggala yang membentang ke utara
sampai ke Kecamatan Junti (Indramayu). Adapun wilayah selatan meliputi
Kecamatan Kedawung (dulu bernama Kecamatan Cirebon Barat), wilayah Kota
Cirebon, Kecamatan Mundu, Kecamatan Astanajapura samapi ke Kecamatan Losari.
Adapun wilayah barat sangat sulit ditentukan sampai dimana. Kalau mengacu pada
Nagari Wanagiri, mungkin setelah Ki Gedheng
Kasmaya wafat
Nagari Wanagiri ini diserahkan
kepada Ki Ageng Tapa. Sebab Ki Gedheng
Tapa adalah putranya. Namun, pada era sunan Gunung Jati wilayah bekas Kerajaan
Wanagiri ini masuk kedalam Keadipatian Palimanan. Keadipatian Palimanan adalah
bagian dari Kerajaan Rajagaluh di bawah pimpinan Prabu Cakraningrat atau
Pangeran Jayaningrat.
Pada masa pemerintahan keadipatian atau katumenggungan Cirebon dibawah
pimpinan Tumenggung Sri Mangana (Pangeran Cakrabuana) tahun 1460-1479, Palimanan sudah berdiri sebagai
keadipatian di bawah Kerajaan Raja Galuh. Keadipatian Cirebon sendiri harus
menyerahkan upeti kepada Raja Galuh kemudian diteruskan ke Kerajaan Pajajaran.
Penyerahan itu diberikan di Desa Balerante. Batas wilayah Nagari Singapura bagian
timur, tentu saja adalah laut Jawa. Karena dari kacamata pelaut yang berlayar
di laut Jawa inilah nama Singapura muncul. Sing
= artinya yang, ha = yang berarti
awalan kata kerja aktif, yang artinya depan, pura = artinya kerajaan
ataw di Cirebon lebih sering disebut
keratuan.
Kata
Singhapura, kemudian secara perlahan
suku
kata “ha” menghilang. Karena kaidah bahasa lisan Cirebon fonem “ha” ditengah
sering diucapkan lemah atau hilang sama sekali. Sehingga kata Singhapura
menjadi Singapura. Kemudian setelah Ki Gedheng
Tapa wafat, Pangeran Cakrabuana sebagai pewarisnya tidak mau melanjutkan
menjadi Raja Singapura kedua. Namun modal kekayan dari Singapura dibawa ke
kebon pesisir untuk membangun Keraton Pakungwati. Kemudian Kerajaan Singapura
yang merupakan penggabungan dari Keraton Surantaka dan Japura berubah menjadi
Keadipatian Caruban atau Cirebon.
Pada tahun 1482
M Syarif Hidayatullah diangkat oleh awaknya yang bergelar Tumenggung Sri
Mangana, menjadi Raja Cirebon. Syarif Hidayatullah diberi gelar oleh awaknya
dengan sebutan Sunan Jati Purbawisesa. Kemudian bersamaan dengan itu Sunan
Ampeldenta mengangkat Syarif Hidayatullah dengan gelar penetep panatagama auliya allahu khalifaturolullahi shalallahu alaihi
wasalam, atau dengan gelar yang lebih pendek Sunan Cerbon Sinarat Sunda.
Berdasarkan letak geografisnya Cirebon adalah
Kerajaan yang hidup dari hasil laut dan pelabuhan. Sejak dari Kerajaan
Singapura yang memiliki pelabuhan Muarajati dan Japura. Hingga masa Sunan
Gunung Jati yang menguasai pelabuhan Caruban, pelabuhan Banten dan pelabuhan
Sunda Kelapa. Cirbeon diuntungkan oleh letak geografisnya, sebagaimana yang
dikatakan oleh Tri Sulistiono,
“Cirebon
memiliki letak yang aman dan terlindung secara fisik yaitu sebuah teluk yang
bebas dari ombak besar, badai dan sebagainya.”
(Tri Sulistiono, 1994; 13).
Wilayah pelabuhan Singapura terletak di pesisir atau
pada masa lalu disebut daerah Cirebon Larang. Wilayah Cirebon Larang tidak akan
bisa hidup tanpa didukung oleh kawasan Cirebon Girang. Kawasan Cirebon Girang
ini adalah kawasan agraris. Kawasan agraris inilah yang menopang dinamika perdagangan di pelabuhan
Cirebon.
Pada masa pemerintahan Raja Purnawarman di
Tarumanegara, wilayah Cirebon Girang sudah ada pemukiman dan memiliki
organisasi pemerintahan sendiri. Sebagaimana diberitakan oleh naskah Negara
Kertabhumi Sargah I, Parwa I. disebutkan bahwa :
“Sejak tahun 80 saka hingga 230 sak, sangatlah
banyak kelompok pendatang yang menumpang
berbagai
perahu dari negeri Bharata, terdapat Resi Waisnawa, mereka mengajarkan agamanya kepada penghulu
masyarakat, tempat mereka bermukim, khususnya di Jawa Barat. Sedangkan Resi Syaiwa banyak penganut
agama Hindu sekte pemuja
batara wisnu tersebut adalah Resi Sentanu Murti.”
Sang Resi Sentanu
Murti bermukim disekitar Desa Krandon Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon. Di
wilayah itu mengalir tiga buah sungai yang cukup besar yaitu sungai Grampak,
sungai Suba dan sungai Cirebon Girang. Ketiga sungai itu bertemu di Desa
Sampiran. Pertemuan ketiga sungai itu dinamakan Gangga nadi (sungai gangga).
Wilayah ini yang sering disebut orang dengan nama Cirebon Girang (Hinterland). Banyaknya sungai yang
mengalir menjadikan tanahnya subur sehingga jenis tanaman apapun yang ditanam
di sini akan tumbuh dengan subur, dalam bahasa lokal disebut sarwadadi (apapun yang ditanam serba
jadi). Sekarang sarwadadi diabadikan
menjadi nama desa.
Kawasan hinterland inilah yang menopang segala
kebutuhan di pelabuhan Muarajati pada saat itu. Hal ini sesuai yang dikatakan
oleh Tri Sulistiyono,
“Hinterland pelabuhan di Cirebon mampu menyediakan berbagai akomodasi seperti air
bersih, bahan-bahan makanan dan bekal perjalanan yang lainnya, bahkan juga
komoditi dagang, seperti kayu, lada, beras, dan hasil pertanian lain.” (Tri
Sulistio, 1994; 13).
Pada abad V Masehi
kawasan Cirebon bernama Indraprahasta. Kawasan ini sudah dianggap penting oleh
Raja Purnawarman yang memerintah Kerajaan Tarumanegara. Kerajaan Tarumanegara
adalah kerajaan yang menjadi pelindung dari Kerajaan Indraprahasta yang
dipimpin oleh Resi Sentanu Murti. Pentingnya kawasan ini juga diberitakan oleh
Naskah Pustaka Rajya Bhumi Nusantara,
sarga 4 parwa 1,
“Banyaknya orang
yang mandi di sungai Gangga untuk menghilangkan dosa seluruh perbuatan selama
hidup. Hal ini seperti dilakukan di Negeri
Bharata yaitu mengikuti adat kebiasaan di negeri asal Purnawaran.”
(PRBN, 4.1/219/220).
Raja Purnawarman
juga pernah melakukan perbaikan pada sungai Gangga tersebut, yaitu pada hari
kedua belas para peteng (gelap) bulan
margasirah sampai dengan hari ke lima
belas bu;lan posya tahun 332 tarikh
saka (410 M). Sang Prabu memberikan hadiah 500 ekor kuda dan seekor gajah
kepada Raja Indraprahasta.
Sepuluh abad
berikutnya setelah era kerajaan Singapura, nama Indraprahasta menghilang dari
catatan sejarah. Namun, kawasan hinterland
Cirebon tetap saja dikenal sebagai kawasan agraris yang sangat subur.
Ketika Laksamana Cheng Hwa berkunjung ke Keratuan Singapura. Hasil komoditi
dari wilayah hinterland itu mampu memasok barang-barang yang
dibutuhkan di kawasan Cirebon Larang (pesisir) dengan daerah sebrang (foreland). Pada abad XIV kawasan
Cirebon Larang yang berfungsi sebagai pelabuhan diperankan oleh Bandar
Muarajati. Lokasi Bandar Muarajati berdasarkan peninggalan situs yang ditemukan
sekarang, berada di sekitar desa Muara dan Pasambangan Jati (desa Astana ).
Pada masa itu kedua wilayah ini mempunyai sebuah sungai besar yang disebut
Bengawan Celangcang. Sebuah sungai kecil di sekitar desa Mertasinga dan sebuah
sungai sedang yang disebut sungai Bondet. Kalau ditarik ke hulu sungai Bondet
akan bertemu dengan sungai Cisoka (Kali Soka) yang membentang dari daerah
Plumbon hingga ke desa Cimara Kuningan. Adapun Bengawan Celancang bentangan
sungainya sampai ke sungai Jamblang. Sebelum aliran sungai ini ditutup dan
dialihkan ke sungai Bondet di desa Bakung. Di sekitar Pasambangan Jati sendiri
ada sebuah kanal yang disebut kali Condong. Ke arah hulu kanal Condong itu
hanya berhenti di saluran kecil yang ada di blok Bandil, yang masuk wilayah
desa Gesik. Namun sebelum sampai ke Bandil di belakang Astana Nurgiri
Ciptarengga dibuat sebuah saluran yang menghubungkan dengan sungai Pekik.
Saluran itu disebut dengan Parit. Sekarang dikenal dengan blok Parit.
Gambar 01. Pemandangan bengawan celancang di daerah
Sitiwinangun Jamblang. Jarak dari pusat kerajaan Singapura kira-kira 15 km.
Kedalaman sungai dan bantaran kiri kanan sungai masih terjaga. Belum banyak
rumah-rumah yang didirikan di atas bantaran sungai. Namun saat ini kondisi
sungai sudah sangat keruh akibat polusi dari limbah sisa-sisa pemotongan batu
(Hasyim; 21-06-2016).
Gambar 02. Kondisi bengawan Celancang di lokasi sebelah
timur pasar Celancang seberang jalan di Blok. Pabean Wetan. Kondisi lebar
sungai kurang lebih 3 m. Keadaannya sangat dangkal sekali karena banyak sampah
yang dibuang disitu.Pendangkalan sungai juga diakibatkan oleh pemutusan saluran
di desa Bakung. Saluran sungai yang mengalir dari Sitiwinangun kemudian
dialihkan ke sungai Bondet. Di Blok Pabean Wetan ini, dulunya adalah tempat
bersandarnya perahu-perahu pedagang. Di tempat inilah para pedagang-pedagang
yang berasal dari Nusantara dan Mancanegara membayar bea masuk (Hasyim;
21-06-2016).
Gambar 03. Kondisi Bengawan Celancang yang berada di aliran Desa Muara. Lebar sungai kira-kira 7 m, dengan kedalaman antara 1-2 m. Lokasi aliran sungai ini jaraknya kira-kira 3 km dari Blok. Pabean Wetan (Hasyim; 21-06-2016).
Gambar 04. Situs kuburan Ki Pandu yang terletak di
sebelah selatan aliran sungai tadi. Ki Pandu adalah seorang petugas yang
memandu masuknya perahu-perahu dari laut menuju ke pelabuhan muara jati
selanjutnya diantar menuju Blok. Pabean Wetan tadi. Kemudian perahu ditambatkan
atau dicangcang di lokasi yang
sekarang disebut pasar Celancang. Celancang artinya tempat penambatan perahu
(Hasyim; 21-06-2016).
Gambar 05. Lokasi situs kuburan Ki Alap-alap dilihat dari
lokasi situs kuburan Ki Pandu. Lokasi situs kuburan Ki Alap-alap berada
disebelah utara aliran sungai tadi. Jarak antara situs kuburan Ki Pandu dan
situs kuburan Ki Alap-alap kira-kira 150 m. Disini bisa diambil kesimpulan
bahwa luas muara Bengawan Celancang kira-kira 100 m lebih (Hasyim; 21-06-2016).
Gambar 06. Lokasi paling ujung (Gateway)dari muara Bengawan Celancang. Jaraknya kira-kira 1 km
menuju laut Jawa. Kanan kiri Bengawan Celancang sudah dipenuhi oleh
empang-empang milik penduduk. Lokasi aliran ini masih termasuk wilayah Desa
Muara (Hasyim; 21-06-2016).
Di kawasan
Pasambangan Jati sendiri pada masa lalunya dikenal dengan nama pasar
Pasambangan Jati. Disini ada sentra kegiatan ekonomi yang terus menggeliat dari
jaman ke jaman. Maka tidak heran apabila fungsi pelabuhan Muarajati tidak hanya
sekedar sebagai a shelter of ships (tempat
berteduh kapal- kapal) tetapi juga sebagai pusat kegiatan ekonomi (economical concept). Hal ini sesuai
yang dikatakan oleh A.B. Lapian, bahwa fungsi sentral sebuah pelabuhan dalam
dunia maritim Asia Tenggara bukan hanya sekedar untuk tempat berlabuh tetapi
juga tempat berkumpul untuk berdagang. (A.B. Lapian, 1991: 9).
Jadi fungsi
pelabuhan Muarajati ini sebagai port.
Port yang tidak hanya sebagai gateway
(pintu gerbang) lalu lintas antara hinterland
dan foreland tetapi sekaligus
juga sebagai pusat tukar menukar (pasar) yang menghubungkan antara hinterland dengan foreland dan daerah sekitarnya. [1]
Gambar 07.
Kanal condong terletak kira-kira 3 km dari bengawan Celancang. Lokasi kanal
condong ini terletak paling dekat dengan lokasi dibangunnya mercusuar oleh
Laksamana Cheng Ho. Kanal condong ini merupakan saluran penghubung menuju pasar
pasambangan jati. Kanal ini mengalami pendangkalan yang cukup berat namun pada
tahun 2008, dilakukan pengerukan kedalaman kanal dan perbaikan tanggul
disebelah kanan dan kiri kanal. Sampai sekarang masih dipakai sebagai pelabuhan
perahu nelayan (Hasyim; 21-06-2016).
Keramaian
Muarajati sebagai pelabuhan dan pusat perdagangan juga diberitakan oleh Naskah
Carita Purwaka Caruban Nagari, yang menjelaskan bahwa :
“Kala semana siniku eng giri sembung lawan amparan jati
huwus mangadeg lawas pasambangan dukuh wastanya prati dina janmapadha ikang dol
tinuku samya atekeng engke / sedheng parirenan kang prahwa muhara jati dumadi
akrak/ mapan rina niwidha kang palwa nityasa mandeg engkene// pantara ning yata
sakeng cina negari ngarab/ persi/ indiya/ malaka/ tumasik/ pase [h]/ jawa wetan
madura lawan palembang// (pada
masa itu di kaki gunung sembung dan amparan jati telah berdiri pedukuhan sejak
lama dukuh yang namanya pasambangan. Tiap-tiap hari warga masyarakat datang
disitu untuk berjual beli, sedangkan perhentian Muarajati menjadi ramai, karena
bermacam-macam perahu senantiasa berhenti disitu. Diantara perahu-perahu itu
dari negeri Cina, Arab, Persia, India,
Malaka, Tumasik, Paseh, Jawa Timur, Madura dan Palembang.) (Acha; 1986; 159).
Diceritakan
juga oleh Pangeran Arya Cerbon dalam Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN) bahwa
pada masa itu pelabuhan Muarajati telah memiliki mercusuar yang terpasang di
atas bukit Amparanjati. Cahaya mercusuar itu bagaikan bintang Yang
berbinar-binar tampak dari kejauhan di malam hari. Mercusuar itu merupakan
tanda bagi pelabuhan Muarajati. Namun sayangnya sang pangeran yang juga
berprofesi sebagai pengawas para Bupati Priyangan itu, tidak mendeskripsikan
bahan baku pembuatan mercusuar itu dari apa. Tentu saja deskripsi teknis dari
mercusuar itu sangat sulit diidentifikasikan secara detail sebab Pangeran Arya
Cerbon sendiri menulis CPCN tahun 1720 masehi. Sedangkan literaturnya dirujuk
dari Pangeran Wangsakarta tahun1677. Jadi ada jarak sekitar 43 tahun. Adapun
Pangeran Wangsakarta sendiri mendapat rujukan dari Pangeran Angkawijaya atau
Pangeran Loasari yang lahir tahun 1518 M. Kemungkinan besar Pangeran Losari ini
yang masih bisa melihat langsung sisa-sisa dari mercusuar di bukit amparan jati
ini.
Dalam
CPCN diceritakan bahwa pembangunan mercusuar itu dilakukan oleh Panglima Besar
Wa Heng Ping dan Laksamana Te Ho (Cheng Hwa), berikut petikannya :
“Ri huwusira tamolah ing pasambangan desa/magawe karya
ring sang juru labuhan tan masowe pantara ning akara // pitung rahina kulem /
ri huwus ika prasadha tinuku dheng sira Ki Juru Labuhan yeka kang dumadi
mangkubui makanama jumajan jati // tinukar lawan uyah/ trasi/ beras tuton/
grabadan/ lawa kayu jati/ umangkat ring Jawa wetan tumuli//
(Setelah itu mereka
tinggal di desa Pasambangan, mereka mengerjakan mercusuar itu, untuk juru
labukan, tidak berapa lama antaranya tujuh hari tujuh malam. Setelah mercusuar
itu selesai, dibayar oleh juru labuhan, yang menjadi mengkubumi bernama Jumajan
Jati. Ditukar dengan garam, terasi, beras tumbuk, rempah-rempah dan kayu jati.
Kemudian mereka berangkat menuju Jawa Timur) (Acha 1986; 159).
Gambar 08. Puncak bukit amparanjati yang diberitakan oleh
Pangeran Arya Carbon (1720) sebagai tempat didirikannya mercusuar yang dibangun
oleh pasukan Laksamana Cheng Hwo.
Gambar 09. Reruntuhan bekas konstruksi batu beton dari
mercusuar yang didirikan oleh Cheng Ho masih bisa disaksikan sampai saat ini.
Puing-puing bekas beton tersebut berserakan disekitar puncak bukit amparan
jati. Salah satunya adalah yang diberi pagar keliling oleh pihak Keraton.
Masyarakat awam Cirebon sendiri menyebutnya sebagai puser bumi.
Gambar 10. Watu siplanggang atau gunung semar terletak
sekitar 500 meter dari lokasi mercusuar. Di lokasi ini banyak ditemukan
batu-batu besar. Di lokasi watu siplanggang inilah banyak ditemukan batu-batu
split. Batu-batu split itu digunakan untuk membuat konstruksi beton untuk
mercusuar. Sementara TD. Sudjana berpendapat bahwa di lokasi batu-batu itu
adalah tempat pembuatan batu nisan.
Pangeran Arya
Carbon menggambarkan tentang lamanya pembuatan mercusuar dan lamanya mereka
tinggal di pasambangan jati, yaitu selama tujuh hari dan tujuh malam. Juga
dijelaskan mengenai hasil-hasil komoditi dari pelabuhan Muarajati.
Penelusuran
sumber-sumber bibliografi Cirebon pada abad ke XIV dan XV memang sangat
sedikit. Selain berita yang disampaikan oleh Tome Pires ada catatan dari Bangsa
Tiongkok sendiri yang juga menyertai expedisi pelayaran Cheng Hwa ini. Ma-Huan,
Ying-Yai Sheng-lan. The overall survey of the ocean shores 1443 ditulis
oleh, J U G Mills (London The Ttakluyut Society, 1970).
Terdapat sebuah
peta kuno perjalanan Armada Cheng Hwo yang dibuat oleh Mao Kun dari pertengahan
abad XVI menggambarkan rute perjalanan dari Surabaya menuju Chiu-Hang
(Palembang) melalui pelabuhan Tan-Mu (Demak), Wili-hueh (Pekalongan),
Che-Li-Wen (Cirebon), Chua-Lu-Pa (Kalapa) dan kemudian menyebrang ke Lampang
(Lampung) melalui muara Tu-lang-pa-wang (Tulang bawang) dan akhirnya sampi ke
Chiu-Hang (Palembang) (M.Johan, 1997; 14).
Kalau
dilihat dari perjalanan sejarah Cirebon, kemungkinan besar pelabuhan Chi-li-wen
(Cirebon) yang dimaksud Ma Huan adalah pelabuhan Muarajati, sebab pelabuhan di
Cirebon yang sudah ramai disekitar abad XIV sampai pertengahan abad XVI adalah
Bandar Muarajati. Berita ini sesuai dengan sumber historiografi tradisional dan
fakta-fakta linguistik yang masih menjadi ingatan kolektif orang-orang Cirebon
yang tinggal diantara Desa Sirnabaya dan Mertasinga. Nama Singapura sendiri
sebagai sebuah nama Keratuan yang memiliki pelabuhan Muarajati, kini hanya nama
sebuah kampung di desa Sirnabaya. Sirnabaya sendiri adalah nama Desa yang
digunakan untuk menggantikan nama Desa Singapura. Adapun Mertasinga yang diduga
sebagai nama dari Ibu Kota Keratuan Singapura sekarang adalah nama sebuah Desa.
No comments:
Post a Comment