Tuesday, January 23, 2018

CARUBAN NAGARI (Bagian 4)

KUNJUNGAN CHENG HWA ( CHENG HO)



Jejak-jejak kunjungan Cheng Hwa di Kerajaan-Kerajaan Nusantara sangat banyak jumlahnya. Di Cirebon sendiri jejak-jejak peninggalan Cheng Hwa cukup banyak jumlahya. Jejak-jejak peninggalan Cheng Hwa di Cirebon selalu dikaitkan dengan Keratuan Singapura. Karena pada sekitar tahun 1405-1422 nama Cirebon belum ada. Nama Cirebon masih dinamakan Nagari Singapura. Luas wilayah Nagari Singapura diperkirakan hanya meliputi wilayah Kecamatan Gunung Jati, Kecamatan Kapetakan, Kecamatan Suranenggala yang membentang ke utara sampai ke Kecamatan Junti (Indramayu). Adapun wilayah selatan meliputi Kecamatan Kedawung (dulu bernama Kecamatan Cirebon Barat), wilayah Kota Cirebon, Kecamatan Mundu, Kecamatan Astanajapura samapi ke Kecamatan Losari. Adapun wilayah barat sangat sulit ditentukan sampai dimana. Kalau mengacu pada Nagari Wanagiri, mungkin setelah Ki Gedheng Kasmaya wafat Nagari Wanagiri ini diserahkan kepada Ki Ageng Tapa. Sebab Ki Gedheng Tapa adalah putranya. Namun, pada era sunan Gunung Jati wilayah bekas Kerajaan Wanagiri ini masuk kedalam Keadipatian Palimanan. Keadipatian Palimanan adalah bagian dari Kerajaan Rajagaluh di bawah pimpinan Prabu Cakraningrat atau Pangeran Jayaningrat.
Pada masa pemerintahan keadipatian atau katumenggungan Cirebon dibawah pimpinan Tumenggung Sri Mangana (Pangeran Cakrabuana) tahun 1460-1479, Palimanan sudah berdiri sebagai keadipatian di bawah Kerajaan Raja Galuh. Keadipatian Cirebon sendiri harus menyerahkan upeti kepada Raja Galuh kemudian diteruskan ke Kerajaan Pajajaran. Penyerahan itu diberikan di Desa Balerante. Batas wilayah Nagari Singapura bagian timur, tentu saja adalah laut Jawa. Karena dari kacamata pelaut yang berlayar di laut Jawa inilah nama Singapura muncul. Sing = artinya yang, ha = yang berarti awalan kata kerja aktif, yang artinya depan, pura = artinya kerajaan ataw di Cirebon lebih sering disebut keratuan.
Kata Singhapura, kemudian secara perlahan suku kata “ha” menghilang. Karena kaidah bahasa lisan Cirebon fonem “ha” ditengah sering diucapkan lemah atau hilang sama sekali. Sehingga kata Singhapura menjadi Singapura. Kemudian setelah Ki Gedheng Tapa wafat, Pangeran Cakrabuana sebagai pewarisnya tidak mau melanjutkan menjadi Raja Singapura kedua. Namun modal kekayan dari Singapura dibawa ke kebon pesisir untuk membangun Keraton Pakungwati. Kemudian Kerajaan Singapura yang merupakan penggabungan dari Keraton Surantaka dan Japura berubah menjadi Keadipatian Caruban atau Cirebon.
Pada tahun 1482 M Syarif Hidayatullah diangkat oleh awaknya yang bergelar Tumenggung Sri Mangana, menjadi Raja Cirebon. Syarif Hidayatullah diberi gelar oleh awaknya dengan sebutan Sunan Jati Purbawisesa. Kemudian bersamaan dengan itu Sunan Ampeldenta mengangkat Syarif Hidayatullah dengan gelar penetep panatagama auliya allahu khalifaturolullahi shalallahu alaihi wasalam, atau dengan gelar yang lebih pendek Sunan Cerbon Sinarat Sunda.
Berdasarkan letak geografisnya Cirebon adalah Kerajaan yang hidup dari hasil laut dan pelabuhan. Sejak dari Kerajaan Singapura yang memiliki pelabuhan Muarajati dan Japura. Hingga masa Sunan Gunung Jati yang menguasai pelabuhan Caruban, pelabuhan Banten dan pelabuhan Sunda Kelapa. Cirbeon diuntungkan oleh letak geografisnya, sebagaimana yang dikatakan oleh Tri Sulistiono,
“Cirebon memiliki letak yang aman dan terlindung secara fisik yaitu sebuah teluk yang bebas dari ombak besar, badai dan sebagainya.” (Tri Sulistiono, 1994; 13).
Wilayah pelabuhan Singapura terletak di pesisir atau pada masa lalu disebut daerah Cirebon Larang. Wilayah Cirebon Larang tidak akan bisa hidup tanpa didukung oleh kawasan Cirebon Girang. Kawasan Cirebon Girang ini adalah kawasan agraris. Kawasan agraris inilah yang menopang dinamika perdagangan di pelabuhan Cirebon.
Pada masa pemerintahan Raja Purnawarman di Tarumanegara, wilayah Cirebon Girang sudah ada pemukiman dan memiliki organisasi pemerintahan sendiri. Sebagaimana diberitakan oleh naskah Negara Kertabhumi Sargah I, Parwa I. disebutkan bahwa :
“Sejak tahun 80 saka hingga 230 sak, sangatlah banyak kelompok pendatang yang menumpang berbagai perahu dari negeri Bharata, terdapat Resi Waisnawa, mereka mengajarkan agamanya kepada penghulu masyarakat, tempat mereka bermukim, khususnya di Jawa  Barat. Sedangkan Resi Syaiwa banyak penganut agama Hindu sekte pemuja batara wisnu tersebut adalah Resi Sentanu Murti.”
Sang Resi Sentanu Murti bermukim disekitar Desa Krandon Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon. Di wilayah itu mengalir tiga buah sungai yang cukup besar yaitu sungai Grampak, sungai Suba dan sungai Cirebon Girang. Ketiga sungai itu bertemu di Desa Sampiran. Pertemuan ketiga sungai itu dinamakan Gangga nadi (sungai gangga). Wilayah ini yang sering disebut orang dengan nama Cirebon Girang (Hinterland). Banyaknya sungai yang mengalir menjadikan tanahnya subur sehingga jenis tanaman apapun yang ditanam di sini akan tumbuh dengan subur, dalam bahasa lokal disebut sarwadadi (apapun yang ditanam serba jadi). Sekarang sarwadadi diabadikan menjadi nama desa.
Kawasan hinterland inilah yang menopang segala kebutuhan di pelabuhan Muarajati pada saat itu. Hal ini sesuai yang dikatakan oleh Tri Sulistiyono,
“Hinterland pelabuhan di Cirebon mampu menyediakan berbagai akomodasi seperti air bersih, bahan-bahan makanan dan bekal perjalanan yang lainnya, bahkan juga komoditi dagang, seperti kayu, lada, beras, dan hasil pertanian lain.” (Tri Sulistio, 1994; 13).
Pada abad V Masehi kawasan Cirebon bernama Indraprahasta. Kawasan ini sudah dianggap penting oleh Raja Purnawarman yang memerintah Kerajaan Tarumanegara. Kerajaan Tarumanegara adalah kerajaan yang menjadi pelindung dari Kerajaan Indraprahasta yang dipimpin oleh Resi Sentanu Murti. Pentingnya kawasan ini juga diberitakan oleh Naskah Pustaka Rajya Bhumi Nusantara, sarga 4 parwa 1,
“Banyaknya orang yang mandi di sungai Gangga untuk menghilangkan dosa seluruh perbuatan selama hidup. Hal ini seperti dilakukan di Negeri  Bharata yaitu mengikuti adat kebiasaan di negeri asal Purnawaran.” (PRBN, 4.1/219/220).
Raja Purnawarman juga pernah melakukan perbaikan pada sungai Gangga tersebut, yaitu pada hari kedua belas para peteng (gelap) bulan margasirah sampai dengan hari ke lima belas bu;lan posya tahun 332 tarikh saka (410 M). Sang Prabu memberikan hadiah 500 ekor kuda dan seekor gajah kepada Raja Indraprahasta.
Sepuluh abad berikutnya setelah era kerajaan Singapura, nama Indraprahasta menghilang dari catatan sejarah. Namun, kawasan hinterland Cirebon tetap saja dikenal sebagai kawasan agraris yang sangat subur. Ketika Laksamana Cheng Hwa berkunjung ke Keratuan Singapura. Hasil komoditi dari wilayah hinterland  itu mampu memasok barang-barang yang dibutuhkan di kawasan Cirebon Larang (pesisir) dengan daerah sebrang (foreland). Pada abad XIV kawasan Cirebon Larang yang berfungsi sebagai pelabuhan diperankan oleh Bandar Muarajati. Lokasi Bandar Muarajati berdasarkan peninggalan situs yang ditemukan sekarang, berada di sekitar desa Muara dan Pasambangan Jati (desa Astana ). Pada masa itu kedua wilayah ini mempunyai sebuah sungai besar yang disebut Bengawan Celangcang. Sebuah sungai kecil di sekitar desa Mertasinga dan sebuah sungai sedang yang disebut sungai Bondet. Kalau ditarik ke hulu sungai Bondet akan bertemu dengan sungai Cisoka (Kali Soka) yang membentang dari daerah Plumbon hingga ke desa Cimara Kuningan. Adapun Bengawan Celancang bentangan sungainya sampai ke sungai Jamblang. Sebelum aliran sungai ini ditutup dan dialihkan ke sungai Bondet di desa Bakung. Di sekitar Pasambangan Jati sendiri ada sebuah kanal yang disebut kali Condong. Ke arah hulu kanal Condong itu hanya berhenti di saluran kecil yang ada di blok Bandil, yang masuk wilayah desa Gesik. Namun sebelum sampai ke Bandil di belakang Astana Nurgiri Ciptarengga dibuat sebuah saluran yang menghubungkan dengan sungai Pekik. Saluran itu disebut dengan Parit. Sekarang dikenal dengan blok Parit.
 
Gambar 01. Pemandangan bengawan celancang di daerah Sitiwinangun Jamblang. Jarak dari pusat kerajaan Singapura kira-kira 15 km. Kedalaman sungai dan bantaran kiri kanan sungai masih terjaga. Belum banyak rumah-rumah yang didirikan di atas bantaran sungai. Namun saat ini kondisi sungai sudah sangat keruh akibat polusi dari limbah sisa-sisa pemotongan batu (Hasyim; 21-06-2016).


Gambar 02. Kondisi bengawan Celancang di lokasi sebelah timur pasar Celancang seberang jalan di Blok. Pabean Wetan. Kondisi lebar sungai kurang lebih 3 m. Keadaannya sangat dangkal sekali karena banyak sampah yang dibuang disitu.Pendangkalan sungai juga diakibatkan oleh pemutusan saluran di desa Bakung. Saluran sungai yang mengalir dari Sitiwinangun kemudian dialihkan ke sungai Bondet. Di Blok Pabean Wetan ini, dulunya adalah tempat bersandarnya perahu-perahu pedagang. Di tempat inilah para pedagang-pedagang yang berasal dari Nusantara dan Mancanegara membayar bea masuk (Hasyim; 21-06-2016).


Gambar 03. Kondisi Bengawan Celancang yang berada di aliran Desa Muara. Lebar sungai kira-kira 7 m, dengan kedalaman antara 1-2 m. Lokasi aliran sungai ini jaraknya kira-kira 3 km dari Blok. Pabean Wetan (Hasyim; 21-06-2016).





Gambar 04. Situs kuburan Ki Pandu yang terletak di sebelah selatan aliran sungai tadi. Ki Pandu adalah seorang petugas yang memandu masuknya perahu-perahu dari laut menuju ke pelabuhan muara jati selanjutnya diantar menuju Blok. Pabean Wetan tadi. Kemudian perahu ditambatkan atau dicangcang di lokasi yang sekarang disebut pasar Celancang. Celancang artinya tempat penambatan perahu (Hasyim; 21-06-2016).




Gambar 05. Lokasi situs kuburan Ki Alap-alap dilihat dari lokasi situs kuburan Ki Pandu. Lokasi situs kuburan Ki Alap-alap berada disebelah utara aliran sungai tadi. Jarak antara situs kuburan Ki Pandu dan situs kuburan Ki Alap-alap kira-kira 150 m. Disini bisa diambil kesimpulan bahwa luas muara Bengawan Celancang kira-kira 100 m lebih (Hasyim; 21-06-2016).



Gambar 06. Lokasi paling ujung (Gateway)dari muara Bengawan Celancang. Jaraknya kira-kira 1 km menuju laut Jawa. Kanan kiri Bengawan Celancang sudah dipenuhi oleh empang-empang milik penduduk. Lokasi aliran ini masih termasuk wilayah Desa Muara (Hasyim; 21-06-2016).

Di kawasan Pasambangan Jati sendiri pada masa lalunya dikenal dengan nama pasar Pasambangan Jati. Disini ada sentra kegiatan ekonomi yang terus menggeliat dari jaman ke jaman. Maka tidak heran apabila fungsi pelabuhan Muarajati tidak hanya sekedar sebagai a shelter of ships (tempat berteduh kapal- kapal) tetapi juga sebagai pusat kegiatan ekonomi (economical concept). Hal ini sesuai yang dikatakan oleh A.B. Lapian, bahwa fungsi sentral sebuah pelabuhan dalam dunia maritim Asia Tenggara bukan hanya sekedar untuk tempat berlabuh tetapi juga tempat berkumpul untuk berdagang. (A.B. Lapian, 1991: 9).
Jadi fungsi pelabuhan Muarajati ini sebagai port. Port yang tidak hanya sebagai gateway (pintu gerbang) lalu lintas antara hinterland dan foreland tetapi sekaligus juga sebagai pusat tukar menukar (pasar) yang menghubungkan antara hinterland dengan foreland dan daerah sekitarnya. [1]


Gambar 07. Kanal condong terletak kira-kira 3 km dari bengawan Celancang. Lokasi kanal condong ini terletak paling dekat dengan lokasi dibangunnya mercusuar oleh Laksamana Cheng Ho. Kanal condong ini merupakan saluran penghubung menuju pasar pasambangan jati. Kanal ini mengalami pendangkalan yang cukup berat namun pada tahun 2008, dilakukan pengerukan kedalaman kanal dan perbaikan tanggul disebelah kanan dan kiri kanal. Sampai sekarang masih dipakai sebagai pelabuhan perahu nelayan (Hasyim; 21-06-2016).


Keramaian Muarajati sebagai pelabuhan dan pusat perdagangan juga diberitakan oleh Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, yang menjelaskan bahwa :
“Kala semana siniku eng giri sembung lawan amparan jati huwus mangadeg lawas pasambangan dukuh wastanya prati dina janmapadha ikang dol tinuku samya atekeng engke / sedheng parirenan kang prahwa muhara jati dumadi akrak/ mapan rina niwidha kang palwa nityasa mandeg engkene// pantara ning yata sakeng cina negari ngarab/ persi/ indiya/ malaka/ tumasik/ pase [h]/ jawa wetan madura lawan palembang// (pada masa itu di kaki gunung sembung dan amparan jati telah berdiri pedukuhan sejak lama dukuh yang namanya pasambangan. Tiap-tiap hari warga masyarakat datang disitu untuk berjual beli, sedangkan perhentian Muarajati menjadi ramai, karena bermacam-macam perahu senantiasa berhenti disitu. Diantara perahu-perahu itu dari negeri Cina, Arab, Persia, India, Malaka, Tumasik, Paseh, Jawa Timur, Madura dan Palembang.) (Acha; 1986; 159).
Diceritakan juga oleh Pangeran Arya Cerbon dalam Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN) bahwa pada masa itu pelabuhan Muarajati telah memiliki mercusuar yang terpasang di atas bukit Amparanjati. Cahaya mercusuar itu bagaikan bintang Yang berbinar-binar tampak dari kejauhan di malam hari. Mercusuar itu merupakan tanda bagi pelabuhan Muarajati. Namun sayangnya sang pangeran yang juga berprofesi sebagai pengawas para Bupati Priyangan itu, tidak mendeskripsikan bahan baku pembuatan mercusuar itu dari apa. Tentu saja deskripsi teknis dari mercusuar itu sangat sulit diidentifikasikan secara detail sebab Pangeran Arya Cerbon sendiri menulis CPCN tahun 1720 masehi. Sedangkan literaturnya dirujuk dari Pangeran Wangsakarta tahun1677. Jadi ada jarak sekitar 43 tahun. Adapun Pangeran Wangsakarta sendiri mendapat rujukan dari Pangeran Angkawijaya atau Pangeran Loasari yang lahir tahun 1518 M. Kemungkinan besar Pangeran Losari ini yang masih bisa melihat langsung sisa-sisa dari mercusuar di bukit amparan jati ini.
Dalam CPCN diceritakan bahwa pembangunan mercusuar itu dilakukan oleh Panglima Besar Wa Heng Ping dan Laksamana Te Ho (Cheng Hwa), berikut petikannya :
“Ri huwusira tamolah ing pasambangan desa/magawe karya ring sang juru labuhan tan masowe pantara ning akara // pitung rahina kulem / ri huwus ika prasadha tinuku dheng sira Ki Juru Labuhan yeka kang dumadi mangkubui makanama jumajan jati // tinukar lawan uyah/ trasi/ beras tuton/ grabadan/ lawa kayu jati/ umangkat ring Jawa wetan tumuli//
(Setelah itu mereka tinggal di desa Pasambangan, mereka mengerjakan mercusuar itu, untuk juru labukan, tidak berapa lama antaranya tujuh hari tujuh malam. Setelah mercusuar itu selesai, dibayar oleh juru labuhan, yang menjadi mengkubumi bernama Jumajan Jati. Ditukar dengan garam, terasi, beras tumbuk, rempah-rempah dan kayu jati. Kemudian mereka berangkat menuju Jawa Timur) (Acha 1986; 159).


Gambar 08. Puncak bukit amparanjati yang diberitakan oleh Pangeran Arya Carbon (1720) sebagai tempat didirikannya mercusuar yang dibangun oleh pasukan Laksamana Cheng Hwo.


Gambar 09. Reruntuhan bekas konstruksi batu beton dari mercusuar yang didirikan oleh Cheng Ho masih bisa disaksikan sampai saat ini. Puing-puing bekas beton tersebut berserakan disekitar puncak bukit amparan jati. Salah satunya adalah yang diberi pagar keliling oleh pihak Keraton. Masyarakat awam Cirebon sendiri menyebutnya sebagai puser bumi.


Gambar 10. Watu siplanggang atau gunung semar terletak sekitar 500 meter dari lokasi mercusuar. Di lokasi ini banyak ditemukan batu-batu besar. Di lokasi watu siplanggang inilah banyak ditemukan batu-batu split. Batu-batu split itu digunakan untuk membuat konstruksi beton untuk mercusuar. Sementara TD. Sudjana berpendapat bahwa di lokasi batu-batu itu adalah tempat pembuatan batu nisan.


Pangeran Arya Carbon menggambarkan tentang lamanya pembuatan mercusuar dan lamanya mereka tinggal di pasambangan jati, yaitu selama tujuh hari dan tujuh malam. Juga dijelaskan mengenai hasil-hasil komoditi dari pelabuhan Muarajati.
Penelusuran sumber-sumber bibliografi Cirebon pada abad ke XIV dan XV memang sangat sedikit. Selain berita yang disampaikan oleh Tome Pires ada catatan dari Bangsa Tiongkok sendiri yang juga menyertai expedisi pelayaran Cheng Hwa ini. Ma-Huan, Ying-Yai Sheng-lan. The overall survey of the ocean shores 1443 ditulis oleh, J U G Mills (London The Ttakluyut Society, 1970).
Terdapat sebuah peta kuno perjalanan Armada Cheng Hwo yang dibuat oleh Mao Kun dari pertengahan abad XVI menggambarkan rute perjalanan dari Surabaya menuju Chiu-Hang (Palembang) melalui pelabuhan Tan-Mu (Demak), Wili-hueh (Pekalongan), Che-Li-Wen (Cirebon), Chua-Lu-Pa (Kalapa) dan kemudian menyebrang ke Lampang (Lampung) melalui muara Tu-lang-pa-wang (Tulang bawang) dan akhirnya sampi ke Chiu-Hang (Palembang) (M.Johan, 1997; 14).
Kalau dilihat dari perjalanan sejarah Cirebon, kemungkinan besar pelabuhan Chi-li-wen (Cirebon) yang dimaksud Ma Huan adalah pelabuhan Muarajati, sebab pelabuhan di Cirebon yang sudah ramai disekitar abad XIV sampai pertengahan abad XVI adalah Bandar Muarajati. Berita ini sesuai dengan sumber historiografi tradisional dan fakta-fakta linguistik yang masih menjadi ingatan kolektif orang-orang Cirebon yang tinggal diantara Desa Sirnabaya dan Mertasinga. Nama Singapura sendiri sebagai sebuah nama Keratuan yang memiliki pelabuhan Muarajati, kini hanya nama sebuah kampung di desa Sirnabaya. Sirnabaya sendiri adalah nama Desa yang digunakan untuk menggantikan nama Desa Singapura. Adapun Mertasinga yang diduga sebagai nama dari Ibu Kota Keratuan Singapura sekarang adalah nama sebuah Desa.


[1]     Roads Murphey “on evolution of the port city dalam Frank Broeze (ed), Op.Cit. hal. 231-232.

No comments:

Post a Comment