PERJUANGAN KI BAGUS RANGIN
MENENTANG KOLONIAL BELANDA
1805 – 1818
R.A. Opan Safari
Hasyim
1.
Asal Usul Ki Bagus Rangin
Menurut Kurtani, Bagus Rangin terlahir dengan nama
Pangeran Bagus Kerarangin. Dia lahir di Bantarjati, ayahnya bernama Pangeran
Bagus Gara. Namun Ibunya tidak diketahui namanya. Menurut sumber-sumber di
Mertasinga nama Bagus Rangin adalah nama samara. Menurut sumber lokal di desa
Jatitujuh Bagus Rangin lahir pada tahun 1761 di desa Bantarjati, ayahnya
bernama Ki Buyut Sentayem atau Buyut Tayem (Teyom).
Bagus Rangin belajar agama pada ayahnya, kemudian
melanjutkan pendidikannya dengan menjadi santri di Pesantren milik Buyut
Asrafudin (Pangeran Muhamad Asrofudin) di Congeang. Pangeran Muhamad Asrofudin
adalah putra dari Sunan Sepuh IV, Sultan Amir Sena Zaenudin. Dia keluar dari
Kraton Kasepuhan setelah tewasnya Sultan Muhamad Shofiudin (Matangaji) pada
tahun 1786. Dalam naskah silsilah yang ditulis R. Khalil Abdulah, R. Achmad
Dahlan dan R. Chafid, Bagus Rangin masih merupakan keturunan dari Pangeran Arya
Panengah Abu Hayat Suryakusuma atau lebih dikenal dengan Pangeran Suryanegara.
Pangeran Zaenudin yang bersama kakaknya (Sultan Muhamad Shofiudin Matangaji)
memberontak kepada kolonial Belanda. Pangeran Suryanegara menikah dengan Ratu
Arya Jamaliyah ( Putri dari Syeikh Muhyidin / Buyut Muji). Pernikahan keduanya
melahirkan seorang putra yang bernama Pangeran Jayanegara Awal (Pangeran
Wijayanegara). Pangeran Wijayanegara kemudian dikenal dengan nama Syeikh Idrus.
Pangeran Jayanegara Awal kemudian berputra Pangeran Sukmadiningrat atau lebih
dikenal dengan nama samarannya Ki Bagus Arsitem atau Buyut Arsitem.
Selain terhubung dengan nama tokoh-tokoh yang
terkait dengan perlawanan-perlawanan sebelumnya Ki Bagus Rangin juga merupakan
keponakan dari Ki Bagus Serit[1]. Saudara-saudara
Ki Bagus Rangin yang membantu perlawanan terhadap pemerintah Kolonial Belanda.
Mereka adalah:
1)
Ki Bagus Seja
2)
Ki Bagus Sena
3)
Ki Sura Persanda
4)
Ki Bagus Kandar
Berikutnya
adalah petikan silsilah dari Ki Bagus Rangin berdasarkan catatan dari R. Kholil
Abdulah, R. Achmad Dahlan dan R. Chafid.
Perjuangan Ki Bagus Rangin
Perjuangan Ki Bagus Rangin melawan pemerintah
Kolonial Belanda, tidak bisa dilepaskan dengan perang-perang sebelumnya. Dari
beberapa peristiwa perang yang terjadi di Cirebon, ada benang merah yang dapat
menghubungkan antara satu perang dengan perang yang lainnya. Perang yang
pertama kali meletus adalah serangan pemerintah Kolonial Belanda yang meluluh
lantakan Gua Sunyaragi, sebagaimana diceritakan oleh Wiryana, dalam upaya
mempertahankan tempat ini (Sunyaragi) tidak sedikit prajurit Cirebon yang
gugur, bahkan Sultan Matangaji pun ikut menjadi korban keganasan senjata
pasukan Belanda, beliau gugur pada tahun 1787M (Wiryana, 1997: :48).
Menurut sumber lain, seperti naskah Babad
Mertasinga, Perlawanan Sultan Matangaji tidak hanya berakhir di Sunyaragi,
namun sang Sultan bersama dengan Pangeran Suryanegara berhasil menyelamatkan
diri. Sultan Matangaji pergi ke desa Matangaji untuk menyiapkan perlawanan.
Perlawanan Sultan Matangaji dilakukan dengan cara gerilya. Pangeran Suryanegara
membalas serangan mendadak Pemerintah Kolonial Belanda di Kampung Kebon
Panggung Pasar Balong kota Cirebon pada periode 1786 – 1791. Dengan rombongan
kesenian Ketuk Tilu / Tayuban yang dipimpin oleh anak buah Pangeran Suryanegara
yang bernama Ki Rabid. Ki Rabid dan anak buahnya menyerang pejabat pemerintah
colonial dan pasukannya ketika mereka sedang mabuk menikmati alkohol dan
kecantikan penari tayub.
Strategi yang dijalankan oleh Sultan Muhamad
Shofiudin (Matangaji) dan Pangeran Suryanegara hampir memiliki kesamaan.
Persamaan tersebut adalah:
1)
Perang dilakukan
secara gerilya, dengan memanfaatkan penguasaan medan.
2)
Menggunakan
kesenian ketuk tilu atau tayuban.
3)
Strategi
kamuflase dan jebakan menjadi adalan untuk menghancurkan musuh.
Ketiga cara tersebut
juga dilakukan oleh Ki Bagus Rangin dalam melawan pasukan Kolonial Belanda dan
orang-orang pribumi yang pro Kolonial.
Pertempuran di
Bantarjati, Majalengka juga menggunakan dengan strategi tersebut; Ki Bagus
Rangin memerintahkan anak buahnya untuk membuat lengkungan janur, memasang
umbul-umbul merah dan kanting pohon beringin. Setiap lengkung janur dijaga oleh
tiga orang prajurit, ada dupuluh lengkung janur yang dipasang sebelum menuju
tenda. Setiap jengkal jarak antara satu tenda dengan yang lainnya dijaga lima
puluh prajurit yang tidak terlihat. Ditenda agung ini pusat kekuatan Ki Bagus
Rangin bersembunyi sementara didalam tenda para penari dan penabuh gamelan
semuanya adalah prajurit Ki Bagus Rangin sibuk memainkan pertunjukan.
Strategi tersebut
diatas oleh Ki Bagus Serit disebut Gelar
Buaya Mangap. Sebagaimana disebutkan dalam naskah babad Wiralodra
(Dermayu). Ki Bagus Serit berbicara, “anakku semuanya, sebab itu jangan
terburu-buru melawan, yang dibelakang, tunggulah nanti, jam sepuluh waktu
gelap, tidak terlihat, kemudian diserang prajurit setelah sampai jam sepuluh,
barisan orang-orang kuliyan dan bantarjati, meledak perang pupuh, dikepung
buaya menganga”. Gelar Perang Buaya Mangap tersebut cukup efektif dalam
menaklukan musuh. Banyak prajurit dari Indramayu yang terbunuh Patih Astrasuta juga
menjadi korban keganasan strategi tersebut.
Raden Benggala sebagai
Ngabehi Dalem Indramayu yang berkuasa pada sekitar tahun 1800-an meminta
bantuan Sultan Sepuh Raja Udaka (1815-1845). Kemudian Sultan Sepuh Raja Udaka
meminta bantuan pemerintah Kolonial di Batavia, akhirnya pasukan gabungan
pemerintah Kolonial, pasukan dari Kraton Kasepuhan dan pasukan dari Indramayu
dapat mengepung pasukan Ki Bagus Rangin. Pertempuran tidak berimbangpun terjadi
begitu sengit. Pasukan Ki Bagus Rangin banyak yang tewas begitu pula
sebaliknya. Ki Bagus Rangin sendiri akhirnya berhasil meloloskan diri dari
kepungan pasukan gabungan tersebut. Ki Bagus Serit juga berhasil meloloskan
diri. Namun nasib kurang beruntung dialami oleh Ki Bagus Seja dan Ki Bagus
Kandar. Keduanya berhasil ditangkap pasukan Ngabehi Dalem Indramayu. Kemudian
atas persetujuan pemerintah kolonial keduanya tahanan tersebut dibawa ke
Batavia.
Pencarian terhadap
buronan Ki Bagus Rangin dan pamannya Ki Bagus Serit terus dilakukan oleh
Pemerintah Kolonial Belanda dan Pemerintah pribumi yang pro terhadap
kolonialisme Belanda. Desa Bantarjati, Biawak dan Jatitujuh disisir dan di
obrak-abrik pasukan gabungan Kolonial dari Batavia, Cirebon dan Indramayu.
Seluruh rumah dan fasilitas umum yang ada di desa itu dibakar habis. Anak-anak
dan wanita juga dibawa ke Indramayu untuk dijadikan tahanan. Namun Ki Bagus
Rangin dan Ki Bagus Serit tidak ditemukan, ada kabar dari pasukan telik sandi
Indramayu bahwa Ki Bagus Rangin ada di Desa Kedongdong (sekarang wilayah kecamatan
Susukan). Ki Bagus Rangin dan Ki Bagus Serit di duga sendang menyusun kekuatan
di desa Kedongdong tersebut.
Menurut Hardjosaputra,
pasukan kolonial melakukan operasi militer di desa-desa yang dianggap menjadi
tempat persembunyian musuhnya. Naas menimpa Ki Bagus Rangin, pada tanggal 27
Juni 1812 ia tertangkap oleh musuh di Panongan. Tanggal 12 Juli 1812 Bagus
Rangin dihukum mati ditepi sungai Cimanuk dekat Karangsembung (Hardjosaputra,
Sobana, 2014; 8).
Sumber-sumber local
dari babad Mertasinga dan babad Darmayu, Ki Bagus Rangin masih hidup dan
menjadi salah satu pahlawan di perang Kedongdong. Berikut ini adalah catatan
dari Ki Marsita S. Adhikusuma yang diperoleh dari hasil wawancara dengan
masyarakat sekitar desa Kedongdong.
Pada pertengan tahun
1817 di Balemangu Kedongdong diadakan perundingan membahas rencana
pemberontakan melawan pemerintah penjajah Belanda. Pertemuan itu dihadiri oleh:
1)
Ki Bagus Rangin,
Mantan Panglima Perang Keraton Kanoman
2)
Ki Bagus Serit,
Mantan Panglima Perang Keraton Kacirebonan
3)
Ki Arsitem,
Mantan Senopatih Keraton Kasepuhan
4)
Ki Kuwu Sarmen,
Kuwu desa Kedongdong
5)
Ki Kuwu Berong,
Kuwu desa Gintung Kidul
6)
Ki Kuwu Raksa
Penanga, Kuwu Desa Wiyeng
7)
Ki Kuwu Ganisem,
Kuwu Desa Nambo Tangkil
8)
Ki Buyut Kinten,
Sesepuh desa Kedongdong
9)
Ki Bela Ngantong,
Sesepuh desa Gintung Kidul
10) Ki Beber Layar, Sesepuh desa Gintung Kidul
11) Ki Buyut Salimudin, Sesepuh desa Wiyong
3.
Strategi Perang Yang Digunakan Dalam Pertempuran
Dalam menghadapi musuh, Ki Bagus Rangin dan pasukan
santri menggunakan strategi atau gelar perang. Ada dua jenis perang yang
dihadapi oleh laskar Bagus Rangin atau laskar santri. Jenis perang yang pertama
adalah perang gerilya. Dalam perang gerilya gelar yang digunakan adalah gelar Gasiran. Gelar Gasiran ini dalam cerita perangjaya pernah digunakan
oleh Senopatih Aswatama putra Mahadwija Dornacharya. Strategi Gasiran adalah dengan cara menyusup ke
pusat pertahanan lawan dengan cara menunggu kelengahan lawan, kemudian lawan
diserang dengan cara mendadak setelah itu pelaku serangan menghilang.
Para pejuang Cirebon sering menggunakan gelar Gasiran ini untuk melemahkan sistem pertahanan kompeni Belanda.
Sasaran yang diserang adalah gudang penyimpanan harta benda dan makanan. Harta
benda dan makanan yang dicuri dari pemerintahan kolonial Belanda dengan sistem
culture stelsel-nya diambil kembali oleh para pejuang untuk dibagikan kepada
rakyat yang sengsara akibat ulah kompeni ini. Pelaku dari gelar gasiran ini sering disebut oleh musuh
dan masyarakat dengan sebutan maling durjana. Ki Bagus Rangin sendiri tidak
luput dari julukan itu. Sebagaimana disebutkan dalam naskah sejarah Wiralodra
(Dermayu) yang mengatakan bahwa, “anggene jaya durjana // kadang wismanipun //
putrane purwadinata // saking susah ribute wong Negara // waton malih ingkang
warta // tiang ngeraman sampun siyagi // makumpulaken tiyang wong desa //
bantarjati // anang pernake biawak jatitujuh // tiang kulincar lan panca ripis
// sesek katahipun tiang // sangking pitungatus // juragane bagus kandar bagus
rangin // surapersabda niki // bagus seja lan bagus sena//.
Jenis perang yang kedua adalah perang terbuka. Dalam
perang terbuka ada beberapa gelar perang yang pernah diterapkan. Diantaranya
adalah:
1)
Buaya
Mangap
Gelar
perang yang pertama adalah gelar perang Buaya
Mangap. Gelar ini pernah digunakan
di Bantarjati ketika melawan pasukan kompeni Belanda dan pasukan dari
Indramayu. Disetiap janur kuning yang menuju tenda disiapkan tiga orang
prajurit. Jumlah janur kuning yang menuju tenda ada dua puluh janur. Disetiap
sasaknya dijaga lima puluh orang prajurit. Disekeliling tenda disiapkan
parjurit inti yang bersembunyi dan akan keluar menunggu perintah komando.
Jebakan bentuk buaya mangap ini dapat
menghancurkan seluruh musuh.
2)
Tutup
Kembu
Tutup kembu adalah wadah ikan hasil tangkapan memancing. Gelar
perang tutup kembu adalah gelar
perang untuk menjebak musuh, pintu masuk (penutup) adalah sungai Ciwaringin,
lingkaran jebakan ada disekitar tegalan yang sekarang disebut Palebon (kebon) Tiang.
- Ki Bagus Serit, Ki Kuwu Sarman, Buyut Bala Ngantong dan anak buahnya berada di barisan timur menghadapi pasukan Belanda yang dipimpin oleh Kapten Mulder.
- Ki Bagus Rangin, Ki Kuwu Berong dan Ki Buyut Beber Layar beserta anak buahnya berada di lingkar utara menghadapi devisi pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Le Couvreur.
- Ki Bagus Arsitem, Ki Kuwu Raksa Penanga, Ki Buyut Salimudin berserta anak buahnya berada di lingkar selatan berperang melawan pasukan yang dipimpin Kapten Van Bent.
- Ki Buyut Kinten, Ki Kuwu Ganisem, Ki Buyut Singunala dan pasukannya berada dipintu masuk / tutup kembu yang berada disekitar sungai Ciwaringin. Pasukan yang dihadapinya dipimpin oleh Letnan Van Steenis.
Menurut KH Zamzami
Amin, gelar perang tutup kembu ini
sangat efektif menghadapi lawan. Musuh masuk dalam lingkaran jebakan tutup kembu ini dan tidak ada yang
berhasil keluar dengan selamat. Lokasi perang tersebut sekarang berada di
sekitar Palebon Tiang, tiang artinya tempat masuknya tentara musuh. Disekitar
Palebon ini berdiri suatu monument yang ditumbuhi dua buah pohon jati atau
dalam bahasa Cirebon disebut Jatiro (jati loro). Jatiro atau jatira juga
berarti sejatinya darah.
3)
Gelar
Suluhan
Gelar
perang suluhan adalah gelar perang yang dilakukan pada waktu malam hari. Gelar
ini pernah dicatat oleh Ki Konjen dan Ki Siti Siwan (1896 – 1946) dalam naskah
Brahmakawi Perang Jaya. Pada episode Perang Jaya Suluhan. R. Gatotkaca
merupakan inisiator dari gelar perang ini. Dalam gelar perang suluhan Raden
Gatotkaca diperintahkan untuk memancing senopati kurawa, yaitu Adipati Karna
untuk menggunakan senjata pamungkasnya. Senjata Panah Kontawijayadanu
dilepaskan Adipati Karna untuk mengakhiri perlawanan Gatotkaca. Kemenangan atas
gugurnya Gatotkaca disambut gembira oleh pasukan kurawa. Namun Adipati Karna
sangat sedih dengan kemenangannya, sebab keesokan harinya ketika berhadapan
dengan Arjuna, yaitu musuh yang lebih penting yang harus dihadapinya, Karna tidak
memiliki senjata sakti yang dapat melawan Pasopati. Pasopati adalah senjata
milik Arjuna. Didalam lakon jaya tandingan ini senopati karna tewas ditangan Arjuna.
Petikan
adegan perang diatas yang menggunakan gelar perang jaya suluhan, juga digunakan
oleh para pejuang untuk melawan Belanda. Pada awal Januari 1818 Residen
Servatius menugaskan Letnan Veerden berjaga di jembatan Ciwaringin untuk
menahan gerakan pemberontak pimpinan Ki Bagus Serit. Pada waktu itu gelap
gulita para pejuang menyalakan obor pertama di situs Pedamaran, kemudian dari
arah tegalan muncul ribuan kunang-kunang. Kunang-kunang ini terlihat oleh
pasukan oleh pasukan kolonial pimpinan Letnan Veerden seperti titik-titik api.
Mereka menduga itu adalah segerombolan pasukan pemberontak yang akan menyerang.
Letnan Veerden memerintahkan pasukannya untuk menembak dengan meriam sebanyak 4
kali setelah dentuman meriam itu disusul dengan tembakan, dalam keadaan panik
pasukan kompeni terus menembakkan peluru sampai habis. Ketika peluru mereka
habis dari arah selatan datang pasukan pejuang yang menyerang mereka dari arah
belakang, pasukan kompeni berhamburan lari menuju arah utara, ke arah timur dan
barat. Kebetulan tempat itu banyak ditumbuhi pohon tebu. Kemudian para pejuang
yang berada di arah tempat pelarian kompeni membakar kebun tebu itu. Tidak ada
satupun pasukan kompeni yang selamat dari jebakan para pejuang Cirebon.
Kejadian pertempuran di Pedamaran ini masih
dikenang oleh keluarga besar Martasinga, Ciwaringin, dan penduduk sekitar desa
Kedongdong. Tempat penyalaan obor pertama disebut sekaran dan diabadikan
menjadi situs Pedamaran. Para pejuang Cirebon seperti Ki Bagus Rangin dan
lain-lainnya sangat menguasai medan perang dan strategi perang yang
dipelajarinya dari literatur Perang Parit (Khandaq) Prakarsa Sulman Al Farisi
seorang sahabat Nabi Muhammad. Selain itu juga para pemimpin perjuangan di
Cirebon juga mempelajari strategi perang yang digunakan dalam Perang Jaya (Bharatayudha).
Ki Konjen dan Ki Gedog dan tokoh dalang-dalang lainnya adalah seniman yang
aktif mensosialisasikan propaganda anti kolonialisme. Pemerintah kolonial juga
pernah memberlakukan larangan para dalang untuk melakokan episode Bharatayudha
atau lakon Perang Jaya
[1]
Naskah Babad Dermayu (Wiralodra) yang ditulis pada tahun 1913. Naskah tersebut
ditransliterasi oleh R. Syarief Rohani Kusumawija tahun 1957 dan R. Syarief
Zaenal Asyikin Tirtawijaya 1977.