Saturday, September 24, 2016

PERJUANGAN KI BAGUS RANGIN



PERJUANGAN KI BAGUS RANGIN
MENENTANG KOLONIAL BELANDA
1805 – 1818

R.A. Opan Safari Hasyim

1.      Asal Usul Ki Bagus Rangin
Menurut Kurtani, Bagus Rangin terlahir dengan nama Pangeran Bagus Kerarangin. Dia lahir di Bantarjati, ayahnya bernama Pangeran Bagus Gara. Namun Ibunya tidak diketahui namanya. Menurut sumber-sumber di Mertasinga nama Bagus Rangin adalah nama samara. Menurut sumber lokal di desa Jatitujuh Bagus Rangin lahir pada tahun 1761 di desa Bantarjati, ayahnya bernama Ki Buyut Sentayem atau Buyut Tayem (Teyom).
Bagus Rangin belajar agama pada ayahnya, kemudian melanjutkan pendidikannya dengan menjadi santri di Pesantren milik Buyut Asrafudin (Pangeran Muhamad Asrofudin) di Congeang. Pangeran Muhamad Asrofudin adalah putra dari Sunan Sepuh IV, Sultan Amir Sena Zaenudin. Dia keluar dari Kraton Kasepuhan setelah tewasnya Sultan Muhamad Shofiudin (Matangaji) pada tahun 1786. Dalam naskah silsilah yang ditulis R. Khalil Abdulah, R. Achmad Dahlan dan R. Chafid, Bagus Rangin masih merupakan keturunan dari Pangeran Arya Panengah Abu Hayat Suryakusuma atau lebih dikenal dengan Pangeran Suryanegara. Pangeran Zaenudin yang bersama kakaknya (Sultan Muhamad Shofiudin Matangaji) memberontak kepada kolonial Belanda. Pangeran Suryanegara menikah dengan Ratu Arya Jamaliyah ( Putri dari Syeikh Muhyidin / Buyut Muji). Pernikahan keduanya melahirkan seorang putra yang bernama Pangeran Jayanegara Awal (Pangeran Wijayanegara). Pangeran Wijayanegara kemudian dikenal dengan nama Syeikh Idrus. Pangeran Jayanegara Awal kemudian berputra Pangeran Sukmadiningrat atau lebih dikenal dengan nama samarannya Ki Bagus Arsitem atau Buyut Arsitem.
Selain terhubung dengan nama tokoh-tokoh yang terkait dengan perlawanan-perlawanan sebelumnya Ki Bagus Rangin juga merupakan keponakan dari Ki Bagus Serit[1]. Saudara-saudara Ki Bagus Rangin yang membantu perlawanan terhadap pemerintah Kolonial Belanda. Mereka adalah:
1)      Ki Bagus Seja
2)      Ki Bagus Sena
3)      Ki Sura Persanda
4)      Ki Bagus Kandar
Berikutnya adalah petikan silsilah dari Ki Bagus Rangin berdasarkan catatan dari R. Kholil Abdulah, R. Achmad Dahlan dan R. Chafid.




      Perjuangan Ki Bagus Rangin
Perjuangan Ki Bagus Rangin melawan pemerintah Kolonial Belanda, tidak bisa dilepaskan dengan perang-perang sebelumnya. Dari beberapa peristiwa perang yang terjadi di Cirebon, ada benang merah yang dapat menghubungkan antara satu perang dengan perang yang lainnya. Perang yang pertama kali meletus adalah serangan pemerintah Kolonial Belanda yang meluluh lantakan Gua Sunyaragi, sebagaimana diceritakan oleh Wiryana, dalam upaya mempertahankan tempat ini (Sunyaragi) tidak sedikit prajurit Cirebon yang gugur, bahkan Sultan Matangaji pun ikut menjadi korban keganasan senjata pasukan Belanda, beliau gugur pada tahun 1787M (Wiryana, 1997: :48).
Menurut sumber lain, seperti naskah Babad Mertasinga, Perlawanan Sultan Matangaji tidak hanya berakhir di Sunyaragi, namun sang Sultan bersama dengan Pangeran Suryanegara berhasil menyelamatkan diri. Sultan Matangaji pergi ke desa Matangaji untuk menyiapkan perlawanan. Perlawanan Sultan Matangaji dilakukan dengan cara gerilya. Pangeran Suryanegara membalas serangan mendadak Pemerintah Kolonial Belanda di Kampung Kebon Panggung Pasar Balong kota Cirebon pada periode 1786 – 1791. Dengan rombongan kesenian Ketuk Tilu / Tayuban yang dipimpin oleh anak buah Pangeran Suryanegara yang bernama Ki Rabid. Ki Rabid dan anak buahnya menyerang pejabat pemerintah colonial dan pasukannya ketika mereka sedang mabuk menikmati alkohol dan kecantikan penari tayub.
Strategi yang dijalankan oleh Sultan Muhamad Shofiudin (Matangaji) dan Pangeran Suryanegara hampir memiliki kesamaan. Persamaan tersebut adalah:
1)      Perang dilakukan secara gerilya, dengan memanfaatkan penguasaan medan.
2)      Menggunakan kesenian ketuk tilu atau tayuban.
3)      Strategi kamuflase dan jebakan menjadi adalan untuk menghancurkan musuh.
Ketiga cara tersebut juga dilakukan oleh Ki Bagus Rangin dalam melawan pasukan Kolonial Belanda dan orang-orang pribumi yang pro Kolonial.
Pertempuran di Bantarjati, Majalengka juga menggunakan dengan strategi tersebut; Ki Bagus Rangin memerintahkan anak buahnya untuk membuat lengkungan janur, memasang umbul-umbul merah dan kanting pohon beringin. Setiap lengkung janur dijaga oleh tiga orang prajurit, ada dupuluh lengkung janur yang dipasang sebelum menuju tenda. Setiap jengkal jarak antara satu tenda dengan yang lainnya dijaga lima puluh prajurit yang tidak terlihat. Ditenda agung ini pusat kekuatan Ki Bagus Rangin bersembunyi sementara didalam tenda para penari dan penabuh gamelan semuanya adalah prajurit Ki Bagus Rangin sibuk memainkan pertunjukan.
Strategi tersebut diatas oleh Ki Bagus Serit disebut Gelar Buaya Mangap. Sebagaimana disebutkan dalam naskah babad Wiralodra (Dermayu). Ki Bagus Serit berbicara, “anakku semuanya, sebab itu jangan terburu-buru melawan, yang dibelakang, tunggulah nanti, jam sepuluh waktu gelap, tidak terlihat, kemudian diserang prajurit setelah sampai jam sepuluh, barisan orang-orang kuliyan dan bantarjati, meledak perang pupuh, dikepung buaya menganga”. Gelar Perang Buaya Mangap tersebut cukup efektif dalam menaklukan musuh. Banyak prajurit dari Indramayu yang terbunuh Patih Astrasuta juga menjadi korban keganasan strategi tersebut.
Raden Benggala sebagai Ngabehi Dalem Indramayu yang berkuasa pada sekitar tahun 1800-an meminta bantuan Sultan Sepuh Raja Udaka (1815-1845). Kemudian Sultan Sepuh Raja Udaka meminta bantuan pemerintah Kolonial di Batavia, akhirnya pasukan gabungan pemerintah Kolonial, pasukan dari Kraton Kasepuhan dan pasukan dari Indramayu dapat mengepung pasukan Ki Bagus Rangin. Pertempuran tidak berimbangpun terjadi begitu sengit. Pasukan Ki Bagus Rangin banyak yang tewas begitu pula sebaliknya. Ki Bagus Rangin sendiri akhirnya berhasil meloloskan diri dari kepungan pasukan gabungan tersebut. Ki Bagus Serit juga berhasil meloloskan diri. Namun nasib kurang beruntung dialami oleh Ki Bagus Seja dan Ki Bagus Kandar. Keduanya berhasil ditangkap pasukan Ngabehi Dalem Indramayu. Kemudian atas persetujuan pemerintah kolonial keduanya tahanan tersebut dibawa ke Batavia.
Pencarian terhadap buronan Ki Bagus Rangin dan pamannya Ki Bagus Serit terus dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan Pemerintah pribumi yang pro terhadap kolonialisme Belanda. Desa Bantarjati, Biawak dan Jatitujuh disisir dan di obrak-abrik pasukan gabungan Kolonial dari Batavia, Cirebon dan Indramayu. Seluruh rumah dan fasilitas umum yang ada di desa itu dibakar habis. Anak-anak dan wanita juga dibawa ke Indramayu untuk dijadikan tahanan. Namun Ki Bagus Rangin dan Ki Bagus Serit tidak ditemukan, ada kabar dari pasukan telik sandi Indramayu bahwa Ki Bagus Rangin ada di Desa Kedongdong (sekarang wilayah kecamatan Susukan). Ki Bagus Rangin dan Ki Bagus Serit di duga sendang menyusun kekuatan di desa Kedongdong tersebut.
Menurut Hardjosaputra, pasukan kolonial melakukan operasi militer di desa-desa yang dianggap menjadi tempat persembunyian musuhnya. Naas menimpa Ki Bagus Rangin, pada tanggal 27 Juni 1812 ia tertangkap oleh musuh di Panongan. Tanggal 12 Juli 1812 Bagus Rangin dihukum mati ditepi sungai Cimanuk dekat Karangsembung (Hardjosaputra, Sobana, 2014; 8).
Sumber-sumber local dari babad Mertasinga dan babad Darmayu, Ki Bagus Rangin masih hidup dan menjadi salah satu pahlawan di perang Kedongdong. Berikut ini adalah catatan dari Ki Marsita S. Adhikusuma yang diperoleh dari hasil wawancara dengan masyarakat sekitar desa Kedongdong.
Pada pertengan tahun 1817 di Balemangu Kedongdong diadakan perundingan membahas rencana pemberontakan melawan pemerintah penjajah Belanda. Pertemuan itu dihadiri oleh:
1)      Ki Bagus Rangin, Mantan Panglima Perang Keraton Kanoman
2)      Ki Bagus Serit, Mantan Panglima Perang Keraton Kacirebonan
3)      Ki Arsitem, Mantan Senopatih Keraton Kasepuhan
4)      Ki Kuwu Sarmen, Kuwu desa Kedongdong
5)      Ki Kuwu Berong, Kuwu desa Gintung Kidul
6)      Ki Kuwu Raksa Penanga, Kuwu Desa Wiyeng
7)      Ki Kuwu Ganisem, Kuwu Desa Nambo Tangkil
8)      Ki Buyut Kinten, Sesepuh desa Kedongdong
9)      Ki Bela Ngantong, Sesepuh desa Gintung Kidul
10)  Ki Beber Layar, Sesepuh desa Gintung Kidul
11)  Ki Buyut Salimudin, Sesepuh desa Wiyong

3.      Strategi Perang Yang Digunakan Dalam Pertempuran
Dalam menghadapi musuh, Ki Bagus Rangin dan pasukan santri menggunakan strategi atau gelar perang. Ada dua jenis perang yang dihadapi oleh laskar Bagus Rangin atau laskar santri. Jenis perang yang pertama adalah perang gerilya. Dalam perang gerilya gelar yang digunakan adalah gelar Gasiran. Gelar Gasiran ini dalam cerita perangjaya pernah digunakan oleh Senopatih Aswatama putra Mahadwija Dornacharya. Strategi Gasiran adalah dengan cara menyusup ke pusat pertahanan lawan dengan cara menunggu kelengahan lawan, kemudian lawan diserang dengan cara mendadak setelah itu pelaku serangan menghilang.
Para pejuang Cirebon sering menggunakan gelar Gasiran ini untuk melemahkan sistem pertahanan kompeni Belanda. Sasaran yang diserang adalah gudang penyimpanan harta benda dan makanan. Harta benda dan makanan yang dicuri dari pemerintahan kolonial Belanda dengan sistem culture stelsel-nya diambil kembali oleh para pejuang untuk dibagikan kepada rakyat yang sengsara akibat ulah kompeni ini. Pelaku dari gelar gasiran ini sering disebut oleh musuh dan masyarakat dengan sebutan maling durjana. Ki Bagus Rangin sendiri tidak luput dari julukan itu. Sebagaimana disebutkan dalam naskah sejarah Wiralodra (Dermayu) yang mengatakan bahwa, “anggene jaya durjana // kadang wismanipun // putrane purwadinata // saking susah ribute wong Negara // waton malih ingkang warta // tiang ngeraman sampun siyagi // makumpulaken tiyang wong desa // bantarjati // anang pernake biawak jatitujuh // tiang kulincar lan panca ripis // sesek katahipun tiang // sangking pitungatus // juragane bagus kandar bagus rangin // surapersabda niki // bagus seja lan bagus sena//.
Jenis perang yang kedua adalah perang terbuka. Dalam perang terbuka ada beberapa gelar perang yang pernah diterapkan. Diantaranya adalah:
  1)      Buaya Mangap
Gelar perang yang pertama adalah gelar perang Buaya Mangap.  Gelar ini pernah digunakan di Bantarjati ketika melawan pasukan kompeni Belanda dan pasukan dari Indramayu. Disetiap janur kuning yang menuju tenda disiapkan tiga orang prajurit. Jumlah janur kuning yang menuju tenda ada dua puluh janur. Disetiap sasaknya dijaga lima puluh orang prajurit. Disekeliling tenda disiapkan parjurit inti yang bersembunyi dan akan keluar menunggu perintah komando. Jebakan bentuk buaya mangap ini dapat menghancurkan seluruh musuh.

2)      Tutup Kembu
Tutup kembu adalah wadah ikan hasil tangkapan memancing. Gelar perang tutup kembu adalah gelar perang untuk menjebak musuh, pintu masuk (penutup) adalah sungai Ciwaringin, lingkaran jebakan ada disekitar tegalan yang sekarang disebut Palebon (kebon) Tiang.

      •  Ki Bagus Serit, Ki Kuwu Sarman, Buyut Bala Ngantong dan anak buahnya berada di barisan timur menghadapi pasukan Belanda yang dipimpin oleh Kapten Mulder.
      •  Ki Bagus Rangin, Ki Kuwu Berong dan Ki Buyut Beber Layar beserta anak buahnya berada di lingkar utara menghadapi devisi pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Le Couvreur.
      •  Ki Bagus Arsitem, Ki Kuwu Raksa Penanga, Ki Buyut Salimudin berserta anak buahnya berada di lingkar selatan berperang melawan pasukan yang dipimpin Kapten Van Bent.
      • Ki Buyut Kinten, Ki Kuwu Ganisem, Ki Buyut Singunala dan pasukannya berada dipintu masuk / tutup kembu yang berada disekitar sungai Ciwaringin. Pasukan yang dihadapinya dipimpin oleh Letnan Van Steenis.

Menurut KH Zamzami Amin, gelar perang tutup kembu ini sangat efektif menghadapi lawan. Musuh masuk dalam lingkaran jebakan tutup kembu ini dan tidak ada yang berhasil keluar dengan selamat. Lokasi perang tersebut sekarang berada di sekitar Palebon Tiang, tiang artinya tempat masuknya tentara musuh. Disekitar Palebon ini berdiri suatu monument yang ditumbuhi dua buah pohon jati atau dalam bahasa Cirebon disebut Jatiro (jati loro). Jatiro atau jatira juga berarti sejatinya darah.

3)      Gelar Suluhan
Gelar perang suluhan adalah gelar perang yang dilakukan pada waktu malam hari. Gelar ini pernah dicatat oleh Ki Konjen dan Ki Siti Siwan (1896 – 1946) dalam naskah Brahmakawi Perang Jaya. Pada episode Perang Jaya Suluhan. R. Gatotkaca merupakan inisiator dari gelar perang ini. Dalam gelar perang suluhan Raden Gatotkaca diperintahkan untuk memancing senopati kurawa, yaitu Adipati Karna untuk menggunakan senjata pamungkasnya. Senjata Panah Kontawijayadanu dilepaskan Adipati Karna untuk mengakhiri perlawanan Gatotkaca. Kemenangan atas gugurnya Gatotkaca disambut gembira oleh pasukan kurawa. Namun Adipati Karna sangat sedih dengan kemenangannya, sebab keesokan harinya ketika berhadapan dengan Arjuna, yaitu musuh yang lebih penting yang harus dihadapinya, Karna tidak memiliki senjata sakti yang dapat melawan Pasopati. Pasopati adalah senjata milik Arjuna. Didalam lakon jaya tandingan ini senopati karna tewas ditangan Arjuna.
Petikan adegan perang diatas yang menggunakan gelar perang jaya suluhan, juga digunakan oleh para pejuang untuk melawan Belanda. Pada awal Januari 1818 Residen Servatius menugaskan Letnan Veerden berjaga di jembatan Ciwaringin untuk menahan gerakan pemberontak pimpinan Ki Bagus Serit. Pada waktu itu gelap gulita para pejuang menyalakan obor pertama di situs Pedamaran, kemudian dari arah tegalan muncul ribuan kunang-kunang. Kunang-kunang ini terlihat oleh pasukan oleh pasukan kolonial pimpinan Letnan Veerden seperti titik-titik api. Mereka menduga itu adalah segerombolan pasukan pemberontak yang akan menyerang. Letnan Veerden memerintahkan pasukannya untuk menembak dengan meriam sebanyak 4 kali setelah dentuman meriam itu disusul dengan tembakan, dalam keadaan panik pasukan kompeni terus menembakkan peluru sampai habis. Ketika peluru mereka habis dari arah selatan datang pasukan pejuang yang menyerang mereka dari arah belakang, pasukan kompeni berhamburan lari menuju arah utara, ke arah timur dan barat. Kebetulan tempat itu banyak ditumbuhi pohon tebu. Kemudian para pejuang yang berada di arah tempat pelarian kompeni membakar kebun tebu itu. Tidak ada satupun pasukan kompeni yang selamat dari jebakan para pejuang Cirebon. 
Kejadian pertempuran di Pedamaran ini masih dikenang oleh keluarga besar Martasinga, Ciwaringin, dan penduduk sekitar desa Kedongdong. Tempat penyalaan obor pertama disebut sekaran dan  diabadikan menjadi situs Pedamaran. Para pejuang Cirebon seperti Ki Bagus Rangin dan lain-lainnya sangat menguasai medan perang dan strategi perang yang dipelajarinya dari literatur Perang Parit (Khandaq) Prakarsa Sulman Al Farisi seorang sahabat Nabi Muhammad. Selain itu juga para pemimpin perjuangan di Cirebon juga mempelajari strategi perang yang digunakan dalam Perang Jaya (Bharatayudha). Ki Konjen dan Ki Gedog dan tokoh dalang-dalang lainnya adalah seniman yang aktif mensosialisasikan propaganda anti kolonialisme. Pemerintah kolonial juga pernah memberlakukan larangan para dalang untuk melakokan episode Bharatayudha atau lakon Perang Jaya


[1] Naskah Babad Dermayu (Wiralodra) yang ditulis pada tahun 1913. Naskah tersebut ditransliterasi oleh R. Syarief Rohani Kusumawija tahun 1957 dan R. Syarief Zaenal Asyikin Tirtawijaya 1977.

JEJAK PERJALANAN TOPENG DAN WAYANG WONG CIREBONAN Part 4



  Makna Filosofi Tari Topeng

Topeng Kelana
Makna filosofi tari topeng merupakan bentuk kesenian wayang kulit, berikan dan ronggeng. Menurut suluks The Mystical Poetry Of Javanese Muslims (41 suluks / lor 7378) wayang merupakan cerminan dari syareat “pawayanganira suha pribadi anenggu je paesan sarengat” sementara makna filosofi borongan atau dalam terminology kesenian Cirebon sering disebut barikan, merupakan cermin dari ajaran Thoriqoh  (tarekat) “borongan galak ambuburoni // anenggu je paesan tarekot”. Adapun topeng merupakan cermin dari ajaran hakekat “topeng angleger sedheng mangsaning bedug // denya mung // paesan hakekat kang sebenere // sinawung ripta adnin patopengan//”, dan ronggeng merupakan cermin dari ajaran ma’rifat “gamelan ronggeng ngumplung ing wengi // ronggeng paes wis ngadi warna // pepek pengayon – ayone // denya sida anenggu // paesaning ma’rifat sejati//.

 Adapun menurut naskah Nyai Mutasiyah yang diedisi oleh Salana makna dari lima wanda topeng tersebut merupakan proses pertumbuhan manusia dari sejak dia lahir kedunia hingga dewasa, berikut tahapan dari proses pertumbuhan itu:
1.      Panji   gambaran dari bayi yang baru lahir, bersih suci tanpa dosa.
2.      Pamindo atau samba gambaran dari masa anak-anak yang penuh dengan canda ria.
3.      Rumyang atau parumiyangan adalah gambaran dari masa peralihan (miyang / transisi)
4.      Tumenggung gambaran dari sepak terjang orang yang sudah dewasa.
5.      Kelana atau Ruwana gambaran dari orang yang sudah mencapai puncak kemapanan secara fisik.
Sedangkan menurut perkembangan spiritual urutan makna tari topeng justru sebaliknya dimulai dari kelana, tumenggung, rumyang, pemindo dan panji. Pemaknaan secara spiritual ini merujuk pada ajaran tawasuf Cirebon yang dikutip dari kitab Babon Petarekatan yang ditulis oleh Pangeran Muhammad Arifuddin Kusuma Bratawirdja, adapun rinciannya adalah sebagai berikut :
  1. Ruwana atau kelana merupakan gambaran dari manusia yang belum mengenal agama. Dia tidak ada bedanya dengan binatang atau manusia yang hidup di hutan. Yang dianut adalah hukum rimba sebab secara etimologi kata Ruwana berasal dari kata Rohwana, roh berarti “darah” atau “karakter” wana artinya “hutan”.
    Topeng Tumenggung
  2. Tumenggung merupakan gambaran dari manusia yang sudah mengenal aturan atau syariat.Secara fisik sudah sempurna tetapi secara sprititual baru memasuki babak baru pemahaman mengenai hukum Allah, tetapi baru mengenal kulitnya.    
    Topeng Rumyang
  3. Rumyang merupakan gambaran dari manusia yang sedang mendalami esensi dari ajaran syariat yaitu sedang mencoba memahaminya lewat jalan yang lebih baik khusus yang dikenal dengan ajaran thoriqoh atau tarekat. Tahapan ini mulai memasuki maqom martabat insan.
    Topeng Samba atau Pemindo
  4.  Samba atau pemindo merupakan gambaran dari insan yang sudah menemukan esensi dari arti kehidupan yang hakiki sehingga sudah mencapai kedudukan martabat insan kamil. 
    Topeng Panji
  5. Panji berarti “Mapan Ning Kang Siji” sudah mantap dalam melakukan pendekatan dengan yang Maha Suci sehingga apa yang dilakukannya hanya atas yang dikehendaki oleh Allah. Manusia seperti ini adalah manusia yang sudah sempurna “Hablum Minallah” sehingga disebut insan kamil mukamil, karena sudah ma’rifat dengan Allah Swt.