Friday, September 23, 2016

JEJAK PERJALANAN TOPENG DAN WAYANG WONG CIREBONAN Part 1



JEJAK PERJALANAN TOPENG
DAN WAYANG WONG CIREBONAN

 

I.         Pendahuluan
Dalam bahasa Cirebon wayang wong berarti wayang orang atau wayang yang diperankan oleh manusia untuk membawakan lakon tertentu. Sedangkan Cirebonan memiliki pengertian adalah sesuatu, orang, barang, seni, budaya, ritual atau aspek-aspek yang khas mengenai Cirebon. Jadi wayang wong Cirebonan memiliki pengertian bahwa wayang wong yang berasal dari tradisi orang Cirebon.
Wayang wong Cirebonan memiliki karakter yang unik jika dibandingkan dengan wayang orang (sebutan yang lazim digunakan di jawa) dari daerah lainnya di pulau jawa. Kalau di Yogyakarta dan Surakarta wayang orang merupakan bentuk pengembangan langsung dari wayang kulit purwa, sedangkan di Cirebon merupakan pengembangan dari tari Topeng Babakan, sehingga tidak aneh apabila wayang wong Cirebon mengenakan kedok untuk memunculkan karakter tokohnya (bandingkan dengan wayang orang dari Yogyakarta dan Surakarta yang umumnya menggunakan tata rias wajah).
Pada masa lampau  pagelaran tari topeng selalu disertakan dalam pementasan wayang kulit. Malam untuk pertunjukan wayang kulit dan siang untuk tari topeng. Sesuai dengan apa yang di tuturkan oleh ki Kandeg. Sebagai hasil kreativitas tari topeng yang bersifat karakter type yang dikembangkan lewat lakon dalam bentuk wayang wong, maka musik pengiringnya atau gamelan wayang wong Cirebonan adalah gamelan Prawa seperti halnya dengan topeng Cirebon (makalah Apresiasi Wayang Cirebon). Sedangkan tari topeng Babakan nya disebut topeng cilik (topeng kecil). Adapun konotasi dari makna topeng gede dan topeng cilik tidak mengacu pada ukuran topengnya atau kedoknya tetapi lebih mengacu pada jumlah kedoknya. Topeng cilik jumlah kedok intinya da 5 wanda yaitu sesuai dengan urutan tariannya ; Panji, Pemindo (samba), Rumyang, Tumenggung dan Ruwana (kelana), sehingga ada yang menyebutnya sebagai kedok panca wanda.
Sedangkan untuk jumlah topeng besar jumlah topengnya sesuai dengan kebutuhan, yang diantaranya harus memuat tokoh putri, satria, sanggan, bodor, denawa dan binatang. Menurut Ki Sujanapriya (murid ki Kandeg) jumlah topeng gede tersebut ada 40 buah, tetapi yang berhasil beliau identifikasikan hanya hanya 35 buah (karakter). Ke 40 buah kedok tersebut merupakan cikal bakal dari menyebarnya perkembangan wayang wong tersebut. Kedok tersebut selalu berpindah-pindah dari satu penari ke penari lainnya sehingga kedok tersebut dikenal dengan nama kedok “Si Glinding” maksudnya adalah kedok / topeng yang selalu berpindah-pindah.
Pada masa ki Kandeg, jumlah kedok  yang diciptakan oleh ki Gumer tahun 1800an itu (kedok si glinding) sudah mulai berkurang, karena banyak yang rusak atau hilang dan ki Kandeg sendiri sudah mulai jarang menggunakannya. Pak Kandeg dan murid-muridnya berinisiatif membuat sendiri kedok tersebut. Jumlah kedok yang berhasil dibuat oleh Pak Kandeg dan murid-muridnya berjumlah 60 buah.
Menurut pak Kandeg tidak semua rombongan topeng Cirebon mampu mengembangkan dirinya sebagai group wayang wong, karena untuk mendirikan kelompok wayang wong dibutuhkan investasi yang cukup besar. Ada beberapa kelompok wayang wong yang pernah berjaya pada masa itu selain dari group wayang wong milik pak Kandeg yang ada di desa Suraneggala Lor Kecamatan kapetakan. Adapun kelompok-kelompok tersebut berasal dari desa Gegesik pimpinan Ki Dalang Wituk (Wita), Kebon Blimbing, Paltuding Desa Kedawung, dan lain-lain.
Menurut Ki Kandeg, pendiri dari wayang wong cirebonan adalah Ki Konjen atau Ki Suracampu, kakeknya sendiri yang hidup pada awal abad XIX. Prakarsa Ki Konjen ini mendapat perhatian serius dari Sultan Cirebon sehingga rombongan wayang wongnya sering diminta tampil di Keraton Kasepuhan. Bahkan atas jasa-jasanya tersebut Ki Suracampu diberi gelar kebangsawanan dengan nama Ki Ngabehi Kartawiguna. Generasi Ki Konjen ini diperkuat oleh Ki Kempung dan Ki Siwinyar yang juga dikenal sebagai dalang wayang golek cepak dan dalang wayang kulit. Generasi berikutnya adalah generasi ayahnya yang bernama Ki Darmarum yang dibantu oleh Ki Kawentar, penari topeng terkemuka, ayah dari dua maestro penari topeng Cirebon asal Palimanan,yaitu Ibu Suji dan Ibu Dasi. Adapun generasi ki Kandeg sendiri di Dukung oleh ki Bodong,ki Karwita, ki Kamol dan nyi Arwati.
Berbeda dengan yang disampaikan Ki Kandeg Padmijawinata, Ki Dalang Kurnadi, Ngabehi dari Kraton Kacirebonan mengatakan bahwa wayang wong berasal dari keraton kemudian menyebar ke kalangan masyarakat umum. Menurutnya jauh sebelum kelompok wayang wong Ki Kandeg berdiri, di Kraton Cirebon sudah ada kelompok wayang wong Cirebonan yang dipelopori oleh Ratu Ratna, istri Pangeran Syamsudin dari Kraton Kanoman. Bahkan menurut beliau (Ki dalang Kurnadi) kelompok wayang yang dipimpin oleh Ki Dalang Surma, ayahnya, sudah berdiri sejak tahun 1950 sebelum kelompok wayang wong dari desa Suranenggala Lor berdiri. Ketika Ki Kandeg mendirikan kelompok wayang wong, Ki Dalang dari blok Cantilan Kedawung inipun diminta untuk membantunya.
Kelompok wayang wong pimpinan Ki Dalang Surma ini bermarkas di Bondet, waktu itu belum populer, group kesenian menggunakan nama kelompok atau nama sanggar. Para seniman yang terlibat dalam kelompok wayang wong sudah banyak yang meninggal dunia dan yang masih hidup pun rata-rata sudah berusia lanjut. Adapun nama-nama personelnya adalah :
1.         Ki Dalang Gondol   :    sebagai dalang yang bertindak menjadi wakil dari Ki Dalang Surma. Kalau Dalangnya Ki Surma beliau terkadang dipercaya memerankan tokoh Baladewa atau tokoh Sanggan lainnya. Beliau adalah anak Ki Dalang Kamur (adik Ki Surma) jadi masih keponakannya sendiri. Beliau tinggal di Kerucuk Sukasari
2.         Ki Lenta                   :    Tinggal di Pejaten Cicalung Kota Cirebon. Beliau adalah seorang bodor. Tokoh wayang yang diperankannya adalah semar atau gareng, terkadang juga bertindak sebagai penambuh gamelan atau panjak.
3.         Ki Kadani                :    Anak dari Ki Lenta bertindak sebagai panjak terkadang dipercaya memerankan tokoh sanggan bahkan ia pun kerap dipercaya sebagai dalang wayang kulit.
4.         Ki Maktub                :    Berperan sebagai sencaki dan bisa bertindak sebagai penambuh gamelan. Tinggal di sukasari.
5.         Ki Ceblok                 :    Menantu Ki Dalang Jaswadi tinggal di Pejaten Cicalung Kota Cirebon. Selain sebagai penambuh gamelan ia pun sering berperan sebagai Bagong.
6.         Ki Kalim                  :    cucu dari Ki Dalang Jaswadi, bertindak sebagai penambuh gamelan dan berperan sebagai tokoh punawakawan Cungkring. Tinggal di penggung dan dikenal juga sebagai dalang wayang kulit.
7.         Nyi Tisna                  :    Memerankan tokoh Kresna atau jenis Satria Wanda ladak lainnya. Beliau tinggal di desa Mayung.
8.         Ki Warcita                :    Beliau anak dari Nyi Trisna dan tinggal di desa Setupatok / Banjar. Tokoh yang sering diperankannya adalah Bhima.
9.         Nyi Rumila               :    berasal dari Blok Paltuding desa Kedawung dan menetap di Sigendeng Jl. Dr. Cipto Mangunkusumo Kota Cirebon. Selain memerankan tokoh Rodea beliaupun seorang penari topeng.
10.     Nyi Marong              :    Beliau pun seorang penari topeng tokoh yang sering diperankannya adalah tokoh sanggan.
11.     Ki Jaya                     :    Anak dari Ki Dalang Surma beliau adalah seorang dalang topeng / penari topeng. Ia adalah pemain serba bisa mulai dari memerankan tokoh satria, sanggan, denawa, binatang, bodor dan juga bisa menabuh gamelan. Sampai sekarang beliau tinggal di desa Kertasura Kapetakan (meninggal dunia bulan April 2006).
12.     Ki Satar                    :    berasal dari desa Gegesik, beliau adalah pemeran tokoh pendeta kontroversial, yaitu Penembahan Sokalima.
Kelompok kesenian wayang wong Ki Dalang Surma ini sangat populer pada tahun 1955. Selain di berbagai acara ritual tahunan seperti Lelumban atau Nadran di Bandengan, Mundu, Gebang, Citemu, Eretan dan Selametan Prapatan Paltuding di Kedawung. Strategi marketing yang populer pada masa itu adalah melakukan Bebarang atau ngamen di berbagai pelosok daerah. Paket yang ditawarkannya pun cukup akomodatif, mulai dari pertunjukan topeng Babakan (panca wanda) 1 jam atau pertunjukan wayang wong paket 3 jam siang hari, terkadang juga mendapat order untuk menampilkan paket tari topeng siang hari dan malam harinya untuk wayang wong.
Selain kelompok wayang wong yang ada di Bondet tersebut, Ki Dalang Kurnadi pun masih ingat bahwa di Blok Gambuan Jamblang ada juga group kesenian wayang wong yang dipimpin oleh Ki Dalang Cita Janapriya. Kelompok ini didukung oleh para dalang wayang kulit dan dalang topeng sebagai pemainnya. Mereka adalah Ki Dalang Suwarta, Ki Dalang Abyor, Ki Dalang Wari, Ki Dalang Akir, Ki Dalang Nasma, Nyi Dalang Tarul, Ki Dalang Atma, Ki Dalang Asma, Ki Dalang Mubyar, Ki Dalang Sandrut, Ki Dalang Bulus, Ki Dalang Kadiya, Nyi Marong, dan Ki Dalang Arma. Menurut ingatan dari Ki Dalang Kurnadi, kelompok wayang wong dari Jamblang ini pernah berjaya pada jaman Belanda akhir ( sekitar tahun 1940 -1950). Waktu itu beliau diajak oleh Ki Dalang Arma pamannya dari desa Kalideres.
Kiprah terakhir dari adik maestro ukir kayu Ki Kamad ini dalam pentas wayang wong adalah bergabung dengan sanggar wayang wong kraton kacerbonan tahun 1975. Waktu itu Ki Dalang Kurnadi bertindak sebagai Dalangnya atau tukang Nrektek, para pemainnya kebanyakan dari kalangan wargi Kraton Cirebon, mereka diantaranya adalah :
1.         P. Panji Prawirakusuma  :    yang berperan sebagai satria alus (wanda alep) peran khusus sering dimainkan adalah prabu Arjuna Sasrabahu.
2.         Ratu Arum Dewi            :    Putri dari Sultan Amir Natadiningrat. Beliau memerankan tokoh kresna atau satria wanda ladak lainnya.
3.         Ratu Cahya Sumirat        :    Putri dari Sultan Amir Natadiningrat, yang sering memerankan tokoh Gatotkaca.
4.         Ratu Ade                        :    Adik dari Pangeran Agus Joni dari Keraton Kanoman, membawakan peran Arjuna.
5.         Ratu Popi                        :    Putri Pangeran Yusuf Dendabrata yang merupakan Sri Panggung atau anak wayang utama dari group ini, memerankan tokoh Arjuna.
6.         Ratu Beda                       :    Putri dari Pangeran Ibrahim yang membawakan peran ponggawa.
7.         Elang Heri Komarahadi  :    pada waktu itu masih sangat belia, namun sudah diberi kepercayaan menjadi pemeran Sokasrana.

Rombongan Kraton Kacirebonan ini prestasinya cukup membanggakan baik di wilayah cirebonnya sendiri maupun ke luar Cirebon sering tampil seperti di Taman Mini Indonesia Indah dan Gedung Kesenian di Bandung. Rupanya kelompok kesenian wayang wong Kraton Kacerbonan ini adalah yang terakhir bertahan sebab sesudahnya tidak terdengar lagi berita-berita mengenai wayang wong Cirebonan.
Sejak Ki Konjen atau Ki Suracampu atau kalau menurut ki Jana dari Bedulan, Ki Gumer yang pada generasi terakhir kelompok wayang wong dari Kraton Kacirebonan telah memberikan kontribusi yang besar bagai identitas kebudayaan Cirebon, kalau melihat latar belakang pemainnya yang berasal dari berbagai daerah dipelosok Cirebon serta memiliki disiplin keahlian yang berbeda-beda maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Wayang Wong Cirebonan telah digarap secara profesional oleh ahli-ahli dibidangnya sehingga sangatlah pantas apabila pernah berjaya di pentas kesenian nasional.
Walaupun telah dinyatakan terancam punah pada tahun 1985 pada Pekan Wayang Cirebon di pasar Seni Ancol, upaya untuk merekonstruksi dan merevitalisasikannya belum begitu terlambat. Masih ada seniman yang tersisa yang begitu bersemangat ketika diminta menceritakan kehebatan masa lalu wayang wong Cirebon. Mereka tidak segan-segan berbicara lantang sambil berdiri bahkan sambil mempraktekan beberapa gerakan tariannya, penulis merasa terharu dengan pemandangan ini, karena tidak bisa berbuat apa-apa tetapi masih sedikit beruntung sebab masih diberi kesempatan untuk melihat detik-detik terakhir dari para legenda yang tersisa ini bercerita tentang wayang wong Cirebonan. Sebentar lagi mereka akan pergi maka lengkaplah sudah kepunahan wayang wong cirebonan yang luput dari perhatian pemerintah Cirebon. Mungkin ini pemandangan yang sudah terlalu biasa “wallahu a’lam bishawab”.
BERSAMBUNG...

No comments:

Post a Comment