A. Pengembangan dari Tari Topeng
Apabila
kita mendengar kata “topeng” tentu kita akan teringat dengan sesuatu yang
dipakai untuk menutup muka. Namun tidak demikian dengan orang-orang Cirebon.
Kebanyakan masyarakat yang tinggal di “Kota Wali” ini akan mengaitkan kata
topeng dengan sebuah tarian. Tarian yang dikenal memiliki 5 karakter tahapan
perjalanan kehidupan manusia. Sedangkan untuk topeng yang dikenakan menutupi
wajah memiliki istilah sendiri yaitu “kedok”.
Kemudian
bagaimana dengan berokan, burok, wewe
gombel atau memedi kelong, garuda
mina, garuda yaksa dan totem-totem lainnya apa bisa disebut kedok? Ki
Sujana Bedulan (begitu orang-orang memberikan panggilan) berpendapat bahwa
jenis-jenis tadi tidak termasuk kedalam sebutan kedok. Sebab selain tidak bisa
dikenakan dimuka juga tidak termasuk kedalam rangkaian pertunjukan topeng cilik
maupun topeng gede. Meskipun ukuran
totem-totem tadi termasuk besar dan cara pembuatannya mirip dengan cara membuat
kedok.
Ki
Sujana Bedulan mewarisi langsung ilmu membuat kedoknya dari Ki Kandeg, memberikan
batasan kecuali kedok manuk jatayu dan kedok naga, walaupun berukuran besar
tetapi karena digunakan dalam pertunjukan wayang wong maka disebut kedok.
Lain
hanya dengan ki Daimin pengrajin kedok dari Kalianyar yang menjadi penerus Ki
Sadriya. Beliau memasukkan berokan kedalam golongan kedok, sebab berokan juga
digunakan dalam pagelaran topeng lakon “Jaka
Bluwo”. Sewaktu Raden Inu Kertapati mencari Dewi Candrakirana, ia sempat
menyembunyikan identitasnya dengan mengenakan kedok berokan. Sungguh menarik
menyikapi perbedaan argumen yang disampaikan para ahli pembuat kedok ini yang
memiliki literatur berbeda-beda sesuai dengan daerah asalnya.
Kita
akan kembali ke masalah yang erat kaitannya dengan wayang wong. Pengaruh topeng
begitu kuat dalam wayang wong baik dalam sisi gerakan, penampilan maupun warna
musiknya. Penulis akan lebih menyoroti dari sisi busana yang dikenakan karena
bidang inilah yang menjadi garapan penulis.
“Busana
wayang wong berasal dari busana tari topeng yang telah dikembangkan, hanya saja
pada wayang tidak memakai kerodong
dan dilengkapi dengan ombyak trate,
gelang bahu serta gelang sigar
penjalin”. Untuk busana bagian bawah atau dodot masih mengganakan pakaian
yang digunakan tari topeng hanya saja dilengkapi dengan beber
(sabuk) dan
ombyok beber atau diwayang kulit dikenal dengan sebutan badong. Untuk
wayang putra menggenakan kain dodotan
diatas lutut dan dilengkapi dengan menggunakan sontog (celana panjang sampai ke betis). Sedangkan bagi tokoh
wayang putri menggenakan kain lancaran. Itulah gambaran yang
diberikan oleh Ki Sujana Bedulan mengenai busana wayang wong Cirebonan yang
membuktikan masih dominannya pengaruh busana tari topeng pada wayang wong
cirebonan.
Menyikapi
begitu ketatnya warna busana topeng pada busana wayang wong Cirebonan Ki Dalang
Kurnadi memiliki komentar yang cukup menarik. Beliau menyadari keterbatasan
kemampuan financial dan bahan baku yang tersedia pada saat itu menjadi alasan
utama yang menghambat kreatifitas untuk memenuhi kebutuhan properti pada busana
wayang wong cirebonan.
Andai
saja kejayaan wayang wong Cirebon masih berlanjut hingga saat ini, pasti
performannya akan lebih menarik lagi, sesalnya. Dalang yang wafat dalam usia 75
tahun itu menyatakan bahwa sandiwara atau masres
lah yang menjadi penyebab beralihnya
selera penonton. Pada waktu itu masres
dianggap tontonan alternatif yang menyuguhkan materi pertunjukan yang atraktif,
mulai dari kostum yang dikenakan, latar belakang panggung dan gaya teaterikal
yang dipandang lebih menarik.
B.
Pengaruh dari Wayang Kulit
Kehadiran
wayang wong ke pentas seni budaya Cirebon tidak lepas dari kontribusi dan
peranan para dalang wayang kulit. Banyak dalang wayang kulit yang berprofesi
rangkap pada masa kejayaan wayang wong, ada yang bertindak sebagai pemain,
penambuh gamelan, jantur (sutradara), panata kostum, dan peran yang tidak bisa
digantikan oleh orang lain yaitu sebagai tukang
trektek (sebutan untuk dalang wayang wong). Wayang kulit sangat kental
pengaruhnya dalam wayang wong terutama dari pengambilan cerita dan referensi
busana. Pada penggunaan bentuk mahkota atau hiasan kepala wayang kulit
merupakan rujukan utama untuk pengambilan bentuknya. Unsur-unsur mahkota atau
hiasan kepala yang menggunakan materi dasar dari bahan baku kulit dikerjakan
oleh para penatah wayang kulit. Assesori pendukung pada busana wayang wong
seperti jamang, gelang bahu, gelang
kelangrang, sumping praba, beber dan unsur-unsur lainnya yang terbuat dari
kulit digarap oleh Ki Saryut, Ki Hasan, Ki Kadisa dan Ki Talam yang juga
dikenal sebagai penatah dan penyungging wayang kulit. Nama –nama diatas sangat
populer pada masa keemasan wayang wong. Karya-karya seniman asal Karangsari
inipun masih bisa disaksikan dan menjadi koleksi keren para pencinta wayang.
Selain seniman dari Karangsari tadi seniman lainnya yang dikenal sebagai
pembuat properti wayang wong adalah Ki Empek dari Bongas, Ki Karmina dari
Slangit dan juga Ki Sujana Priya dari Bedulan.
Bentuk
mahkota asli topongannya menggunakan rajutan
dari bahan rambut untuk melapisi kartonnya. Sama seperti teknik membuat sobra atau tekes. Teknik sunggingan pada assosorisnya pun menggunakan teknik sungging papagan (gradasi dua warna
kontras dipertemukan menjadi satu kemudian diberi paler / tawur) dalam istilah tata sungging wayang cecek disebut tawur.
Bentuk mahkota inilah yang secara sepintas menjadi perbedaan yang jelas antara
busana tari topeng dan busana wayang wong. Bentuk mahkota atau hiasan kepala
diperindah lagi dengan memberikan warna pamor yang disungging dengan cat prada
(brom) dan dipercantik dengan menambah trolop-trolop
(payet) yang berwarna warni.
Untuk
model praba (amben) juga masih
menggunakan tata sungging wayang kulit sebagai rujukannya. Ada 4 jenis praba yang digunakan untuk
properti wayang wong. Ke empat jenis tersebut dibedakan berdasarkan
pemakaiannya, ada praba rajaputri, praba satria, praba sanggan, dan praba
denawa. Untuk praba rajaputri dan praba satria jenis tatahnnya adalah tatahan mringin (lembut / alus), sedangkan untuk
ponggawa dan denawa memakai jenis tatahan padang
(jelas / besar). Ornament yang dipakai untuk praba adalah jenis kembang sungsang atau kembang muribang (bimoribang / wangaribang /
wari). Namun dalam aplikasinya bunga tersebut diberi improvisasi. Ada yang
berbentuk tumpul, ada yang berbentuk lancip (ciri khas dari Praba Ki Sunata /
Cilamaya), ada yang diberi variasi-variasi dengan diberi kembang rambutan (ciri khas dari praba ki Ardhi,ayah ki Sunata) dan
lain-lain.
C.
Pengaruh Wayang Cepak
Wayang cepak atau
wayang menak menurut istilah orang jawa, merupakan jenis pertunjukan yang hanya
ditampilkan dalam event-event khusus. Di wilayah-wilayah tertentu di Cirebon,
ada yang masyarakatnya tabu untuk menanggap wayang kulit, maka wayang cepaklah
pilihannya. Di tempat-tempat yang dikeramatkan atau di kuburan-kuburan para Gegeden (sesepuh desa) wayang cepak
menjadi suguhan utama. Wayang cepak merupakan media untuk mengajarkan Islam dan
penyampaian sejarah leluhur suatu desa / daerah di era golden age Cirebon. Wayang
cepak memiliki bentuk tiga dimensi dan stilasi wanda (wajah) yang paling dekat dengan manusia. Sangatlah beralasan
apabila wayang wong mengambil cermin pada wayang cepak dalam pembuatan karakter
(wanda) dan tata busananya. Wayang
papak (sebagaian orang menyebutnya) memiliki jumlah tokoh yang beragam, ada
yang berasal dari tokoh wayang kulit, cerita menak dan tokoh wayang cepaknya
sendiri. Wayang yang dinamakan berdasarkan tokoh penemunya itu memiliki wanda
khas, yang tidak ditemukan dalam karakter kedok tari topeng. Wanda-wanda satria alep / wanda lenyap (wanda ndeluk, istilah wayang kulitnya, wanda satria ladak / wanda lenyap (wanda langak istilah wayang kulitnya), sanggan atau ponggawa
serta denawa dan wanara terdapat didalamnya. Sangat beralasan kalau
pengembangan tari topeng ke wayang wong tidak lepas dari campur tangan wayang
cepak / papak. Keterlibatan dalam wayang cepak pun cukup eksis pada awal
perintisan berdirinya wayang kulit.
Pada sejumlah kedok
wayang wong ada beberapa tokoh yang diberi sunggingan yang sangat berbeda
dengan wayang kulit. Walaupun tokoh tersebut memiliki identitas sama, misalnya
tokoh pandawa yang disungging dengan warna hitam pada wayang kulit diberi warna
putih. Gatotkaca dan kresna yang berwarna hitam pada wayang kulit dirubah
menjadi berwarna abu-abu. Begitu pula dengan tokoh Bhima warnanya diganti
dengan warna dadon (merah jambu) atau
surya sumirat (orange). Contoh-contoh warna alternatif tadi merupakan
alternatif dari kedok tari topeng yang terinspirasi dari wayang cepak.
Pada pilihan kain untuk
dodot atau senjang ataupun kain lancar wayang wong tidak menggunakan terminology
sunggingan atau motif yang dikenakan wayang kulit. Penulis tidak menemukan
khasanah motif, patran paksi, gangeng
kinyut, gringsing wayang, kembang bledog, patran danas, oncoman yang biasa
digunakan pada tokoh satria juga tidak melihat jenis ornament yang lazim
digunakan sanggan atau denawan seperti semanggen,
menyan kobar, minjoan, kembang kapas yang dominan digunakan oleh ponggawa
dan denawa. Wayang wong menggunakan motif busana yang lebih beragam sebagaimana
wayang cepak yang menggunakan busana alternatif penggunaan motif batik yang
lebih luas. Motif-motif yang mendominasi pada busana wayang wong adalah motif
kain batik seperti patran kangkung, sawung
galing, sunyaragen, singa payung, mega mendung, panji semirang, sawat
penganten, kawung kentang, kawung ece, liris, dan banyak lagi pilihannya.
No comments:
Post a Comment