Saturday, September 24, 2016

JEJAK PERJALANAN TOPENG DAN WAYANG WONG CIREBONAN Part 2




A.    Pengembangan dari Tari Topeng
Apabila kita mendengar kata “topeng” tentu kita akan teringat dengan sesuatu yang dipakai untuk menutup muka. Namun tidak demikian dengan orang-orang Cirebon. Kebanyakan masyarakat yang tinggal di “Kota Wali” ini akan mengaitkan kata topeng dengan sebuah tarian. Tarian yang dikenal memiliki 5 karakter tahapan perjalanan kehidupan manusia. Sedangkan untuk topeng yang dikenakan menutupi wajah memiliki istilah sendiri yaitu “kedok”.
Kemudian bagaimana dengan berokan, burok, wewe gombel atau memedi kelong, garuda mina, garuda yaksa dan totem-totem lainnya apa bisa disebut kedok? Ki Sujana Bedulan (begitu orang-orang memberikan panggilan) berpendapat bahwa jenis-jenis tadi tidak termasuk kedalam sebutan kedok. Sebab selain tidak bisa dikenakan dimuka juga tidak termasuk kedalam rangkaian pertunjukan topeng cilik maupun topeng gede. Meskipun ukuran totem-totem tadi termasuk besar dan cara pembuatannya mirip dengan cara membuat kedok.
Ki Sujana Bedulan mewarisi langsung ilmu membuat kedoknya dari Ki Kandeg, memberikan batasan kecuali kedok manuk jatayu dan kedok naga, walaupun berukuran besar tetapi karena digunakan dalam pertunjukan wayang wong maka disebut kedok.
Lain hanya dengan ki Daimin pengrajin kedok dari Kalianyar yang menjadi penerus Ki Sadriya. Beliau memasukkan berokan kedalam golongan kedok, sebab berokan juga digunakan dalam pagelaran topeng lakon “Jaka Bluwo”. Sewaktu Raden Inu Kertapati mencari Dewi Candrakirana, ia sempat menyembunyikan identitasnya dengan mengenakan kedok berokan. Sungguh menarik menyikapi perbedaan argumen yang disampaikan para ahli pembuat kedok ini yang memiliki literatur berbeda-beda sesuai dengan daerah asalnya.
Kita akan kembali ke masalah yang erat kaitannya dengan wayang wong. Pengaruh topeng begitu kuat dalam wayang wong baik dalam sisi gerakan, penampilan maupun warna musiknya. Penulis akan lebih menyoroti dari sisi busana yang dikenakan karena bidang inilah yang menjadi garapan penulis.
“Busana wayang wong berasal dari busana tari topeng yang telah dikembangkan, hanya saja pada wayang tidak memakai kerodong dan dilengkapi dengan ombyak trate, gelang bahu serta gelang sigar penjalin”. Untuk busana bagian bawah atau dodot masih mengganakan pakaian yang digunakan tari topeng hanya saja dilengkapi dengan beber
 (sabuk) dan ombyok beber atau diwayang kulit dikenal dengan sebutan badong. Untuk wayang putra menggenakan kain dodotan diatas lutut dan dilengkapi dengan menggunakan sontog (celana panjang sampai ke betis). Sedangkan bagi tokoh wayang putri menggenakan kain lancaran. Itulah gambaran yang diberikan oleh Ki Sujana Bedulan mengenai busana wayang wong Cirebonan yang membuktikan masih dominannya pengaruh busana tari topeng pada wayang wong cirebonan.
Menyikapi begitu ketatnya warna busana topeng pada busana wayang wong Cirebonan Ki Dalang Kurnadi memiliki komentar yang cukup menarik. Beliau menyadari keterbatasan kemampuan financial dan bahan baku yang tersedia pada saat itu menjadi alasan utama yang menghambat kreatifitas untuk memenuhi kebutuhan properti pada busana wayang wong cirebonan.
Andai saja kejayaan wayang wong Cirebon masih berlanjut hingga saat ini, pasti performannya akan lebih menarik lagi, sesalnya. Dalang yang wafat dalam usia 75 tahun itu menyatakan bahwa sandiwara atau masres lah  yang menjadi penyebab beralihnya selera penonton. Pada waktu itu masres dianggap tontonan alternatif yang menyuguhkan materi pertunjukan yang atraktif, mulai dari kostum yang dikenakan, latar belakang panggung dan gaya teaterikal yang dipandang lebih menarik.

B.     Pengaruh dari Wayang Kulit
Kehadiran wayang wong ke pentas seni budaya Cirebon tidak lepas dari kontribusi dan peranan para dalang wayang kulit. Banyak dalang wayang kulit yang berprofesi rangkap pada masa kejayaan wayang wong, ada yang bertindak sebagai pemain, penambuh gamelan, jantur (sutradara), panata kostum, dan peran yang tidak bisa digantikan oleh orang lain yaitu sebagai tukang trektek (sebutan untuk dalang wayang wong). Wayang kulit sangat kental pengaruhnya dalam wayang wong terutama dari pengambilan cerita dan referensi busana. Pada penggunaan bentuk mahkota atau hiasan kepala wayang kulit merupakan rujukan utama untuk pengambilan bentuknya. Unsur-unsur mahkota atau hiasan kepala yang menggunakan materi dasar dari bahan baku kulit dikerjakan oleh para penatah wayang kulit. Assesori pendukung pada busana wayang wong seperti jamang, gelang bahu, gelang kelangrang, sumping praba, beber dan unsur-unsur lainnya yang terbuat dari kulit digarap oleh Ki Saryut, Ki Hasan, Ki Kadisa dan Ki Talam yang juga dikenal sebagai penatah dan penyungging wayang kulit. Nama –nama diatas sangat populer pada masa keemasan wayang wong. Karya-karya seniman asal Karangsari inipun masih bisa disaksikan dan menjadi koleksi keren para pencinta wayang. Selain seniman dari Karangsari tadi seniman lainnya yang dikenal sebagai pembuat properti wayang wong adalah Ki Empek dari Bongas, Ki Karmina dari Slangit dan juga Ki Sujana Priya dari Bedulan.
Bentuk mahkota asli topongannya menggunakan rajutan  dari bahan rambut untuk melapisi kartonnya. Sama seperti teknik membuat sobra atau tekes. Teknik sunggingan pada assosorisnya pun menggunakan teknik sungging papagan (gradasi dua warna kontras dipertemukan menjadi satu kemudian diberi paler / tawur) dalam istilah tata sungging wayang cecek disebut tawur. Bentuk mahkota inilah yang secara sepintas menjadi perbedaan yang jelas antara busana tari topeng dan busana wayang wong. Bentuk mahkota atau hiasan kepala diperindah lagi dengan memberikan warna pamor yang disungging dengan cat prada (brom) dan dipercantik dengan menambah trolop-trolop (payet) yang berwarna warni.
Untuk model praba (amben) juga masih menggunakan tata sungging wayang kulit sebagai rujukannya.  Ada 4 jenis praba yang digunakan untuk properti wayang wong. Ke empat jenis tersebut dibedakan berdasarkan pemakaiannya, ada praba rajaputri, praba satria, praba sanggan, dan praba denawa. Untuk praba rajaputri dan praba satria jenis tatahnnya adalah tatahan mringin (lembut / alus), sedangkan untuk ponggawa dan denawa memakai jenis tatahan padang (jelas / besar). Ornament yang dipakai untuk praba adalah jenis kembang sungsang atau kembang muribang (bimoribang / wangaribang / wari). Namun dalam aplikasinya bunga tersebut diberi improvisasi. Ada yang berbentuk tumpul, ada yang berbentuk lancip (ciri khas dari Praba Ki Sunata / Cilamaya), ada yang diberi variasi-variasi dengan diberi kembang rambutan (ciri khas dari praba ki Ardhi,ayah ki Sunata) dan lain-lain.

C.     Pengaruh Wayang Cepak
Wayang cepak atau wayang menak menurut istilah orang jawa, merupakan jenis pertunjukan yang hanya ditampilkan dalam event-event khusus. Di wilayah-wilayah tertentu di Cirebon, ada yang masyarakatnya tabu untuk menanggap wayang kulit, maka wayang cepaklah pilihannya. Di tempat-tempat yang dikeramatkan atau di kuburan-kuburan para Gegeden (sesepuh desa) wayang cepak menjadi suguhan utama. Wayang cepak merupakan media untuk mengajarkan Islam dan penyampaian sejarah leluhur suatu desa / daerah di era golden age Cirebon. Wayang cepak memiliki bentuk tiga dimensi dan stilasi wanda (wajah) yang paling dekat dengan manusia. Sangatlah beralasan apabila wayang wong mengambil cermin pada wayang cepak dalam pembuatan karakter (wanda) dan tata busananya. Wayang papak (sebagaian orang menyebutnya) memiliki jumlah tokoh yang beragam, ada yang berasal dari tokoh wayang kulit, cerita menak dan tokoh wayang cepaknya sendiri. Wayang yang dinamakan berdasarkan tokoh penemunya itu memiliki wanda khas, yang tidak ditemukan dalam karakter kedok tari topeng. Wanda-wanda satria alep / wanda lenyap (wanda ndeluk, istilah wayang kulitnya, wanda satria ladak / wanda lenyap (wanda langak istilah wayang kulitnya), sanggan atau ponggawa serta denawa dan wanara terdapat didalamnya. Sangat beralasan kalau pengembangan tari topeng ke wayang wong tidak lepas dari campur tangan wayang cepak / papak. Keterlibatan dalam wayang cepak pun cukup eksis pada awal perintisan berdirinya wayang kulit.
Pada sejumlah kedok wayang wong ada beberapa tokoh yang diberi sunggingan yang sangat berbeda dengan wayang kulit. Walaupun tokoh tersebut memiliki identitas sama, misalnya tokoh pandawa yang disungging dengan warna hitam pada wayang kulit diberi warna putih. Gatotkaca dan kresna yang berwarna hitam pada wayang kulit dirubah menjadi berwarna abu-abu. Begitu pula dengan tokoh Bhima warnanya diganti dengan warna dadon  (merah jambu) atau surya sumirat (orange). Contoh-contoh warna alternatif tadi merupakan alternatif dari kedok tari topeng yang terinspirasi dari wayang cepak.
Pada pilihan kain untuk dodot atau senjang ataupun kain lancar wayang wong tidak menggunakan terminology sunggingan atau motif yang dikenakan wayang kulit. Penulis tidak menemukan khasanah motif, patran paksi, gangeng kinyut, gringsing wayang, kembang bledog, patran danas, oncoman yang biasa digunakan pada tokoh satria juga tidak melihat jenis ornament yang lazim digunakan sanggan atau denawan seperti semanggen, menyan kobar, minjoan, kembang kapas yang dominan digunakan oleh ponggawa dan denawa. Wayang wong menggunakan motif busana yang lebih beragam sebagaimana wayang cepak yang menggunakan busana alternatif penggunaan motif batik yang lebih luas. Motif-motif yang mendominasi pada busana wayang wong adalah motif kain batik seperti patran kangkung, sawung galing, sunyaragen, singa payung, mega mendung, panji semirang, sawat penganten, kawung kentang, kawung ece, liris, dan banyak lagi pilihannya.

No comments:

Post a Comment