Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah
dan Berdirinya Nagari Caruban
Pangeran Cakrabuana atau Mbah Kuwu Carbon terlahir dengan nama Pangeran Walangsungsanng. Ayah
Pangeran Cakrabuana bernama Pangeran Jaya Dewata atau Raden Pamanah Rasa.
Setelah bertahta di Kerajaan Sunda Padjajaran, terkenal dengan nama Prabu Siliwangi. Ibu Pangeran Cakrabuana
bernama Ratu Subanglarang, terkenal juga dengan nama Nyi Larang Tapa atau
Kencana Larang, yang dibina oleh seorang wali bernama Syekh Hasanuddin atau
terkenal dengan nama Syekh Kuro.
Pangeran Walangsungsang lahir pada tahun ±
1423 dan wafat pada tahun 1529 (Sunardjo, 1983, 172). Pangeran Walangsungsang
kemudian berguru pada pendeta agama Budha, yang bernama Sanghyang Danuwarsih
(Ki Ageng Danuwarsih) kemudian menikah dengan putri sang pendeta yang bernama
Nyi Endang Geulis. Dari pernikahannya dikaruniai seorang putri bernama Ratu
Pakungwati. Kemudian setelah tamat belajar di padepokan yang berada di wilayah
Priangan Timur ini, Pangeran Walangsungsang melanjutkan perjalanan ke wilayah
utara menuju negeri Singhapura untuk menjumpai kakeknya yang menjadi Mangkubumi
Singhapura dan Syah Bandar di Muara Jati.
Di wilayah pesisir timur utara Jawa Barat ini
Pangeran Walangsungsang bersama adiknya Nyi Rarasantang berguru kepada seorang
ulama agama Islam berasal dari Baghdad. Di Giri Amparan Jati ini Pangeran
Walangsungsang dan adiknya berguru kepada Syeikh Idhofi Mahdi atau lebih
dikenal dengan nama Syekh Nurjati. Dari Syekh Nurjati ini Pangeran
Walangsungsang memperoleh gelar Samadullah. Setelah dianggap tamat oleh gurunya
Pangeran Walangsungsang dianjurkan untuk membuka hutan di kebon pesisir. Di
wilayah kebon pesisir ini sudah ada penguasanya bernama Ki Danusela, Ki
Danusela adalah adik dari Ki Ageng Danuwarsih, mertuanya. Ki Danusela terkenal
juga dengan sebutan Ki Gedeng Alang-Alang, Ki Danusela mempunyai seorang putri
yang bernama Ratna Riris. Istri Ki Danusela bernama Nyi Arumsari yang berasal
dari Cirebon Girang. Kemudian Nyi Ratna Riris ini kemudian dinikahi juga oleh
Pangeran Walangsungsang. Dari pernikannya dikaruniai seorang putra bernama
Pangeran Carbon.
Kedatangan Pangeran Walangsungsang mempercepat proses pengembangan di
wilayah kebon pesisir ini. Perkembangan baru tersebut dengan cepat di huni oleh
para pendatang yang kemudian menetap di sini.penduduk kebon pesisir ini terdiri
dari campuran warga yang berasal dari etnis dan agama yang berbeda-beda.
Kemudian secara aklamasi . Ki Gedeng Alang-Alang ditunjuk sebagai kuwu pertama
di kebon pesisir ini. Gelar yang dipakai oleh Ki Danusela ini adalah Ki Kuwu.
Pangeran Walangsungsang kemudian diangkat Pangraksabumi dengan gelar Ki
Cakrabumi. Setelah sekian lama tinggal di kebon pesisir ini Ki Cakrabumi
beserta adiknya disarankan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Ki Cakrabumi
dan Nyi Rara Santang mentaati apa yang diperintahkan Syekh Nurjati gurunya.
Setelah menunaikan ibadah haji adiknya menetap di jazirah Arab. Ki Cakrabumi
sendiri kemudian kembali ke Cirebon. Ki Cakrabumi mendapat nama haji dari
syekhnya, yaitu Haji Abdul Iman. Ketika tinggal di Mekkah Ki Cakrabumi tinggal
di rumah Syeikh Bayanillah, saudaranya Syeikh Nurjati, Ki Cakrabumi sempat
belajar kepada Syeikh Abu Yazid.
Setelah berada di kota
Mekah selama tiga bulan Pengeran Cakrabuana kembali ke tanah jawa, namun
terlebih dahulu singgah ke Champa. Di Negeri Champa Pangeran Cakrabuana berguru
kepada Syeikh Maulana Jatisuwara. CPCN memberitakan bahwa Pengeran Cakrabuana
belajar Syareat Rosul kepada Syeikh Maulana Jatisuwara atau Syeikh Maulana
Ibrahim Akbar. Dalam naskah Serat Carub Kandha Syeikh Maulana Jatisuwara adalah
putra dari Syeikh Maulana Suta Samud yang tinggal diwilayah pesisir Champa,
dulu berada di Wilayah atas angin (Dataran Tinggi) Champa, kemudian di usir
oleh Raja Champa karena Raja Champa kalah wibawa oleh Syeikh Maulana Jatiswara.
Di Negeri Champa juga Pangeran Cakrabuana bertemu dengan keluarga ibunya, sebab
pada waktu ibunya berusia 14 tahun pernah tinggal di Champa bersama bibinya
Nyai Rara Rudra. Nyai Rara Rudra bersuamikan Ma Huan ( Dampu Awang). Ma Huan
pernah tinggal di Singapura sampai memiliki seorang putri yang bernama Nyai
Acih Putih, kemudian Nyai Acih Putih dinikahi oleh Prabu Siliwangi. Pernikahan
Prabu Siliwangi dan Nyai Acih Putih dikaruniahi
seorang putri yang diberi nama Nyai Rara
Bedaya. Kemudian Nyai Rara Bedaya dibawa ke Champa oleh Ma Huan dan Nyai Rara
Rudra. Rupanya posisi Ma Huan (Dampu Awang) sebagai konsul dagang pemerintahan
Dinasti Ming sangat penting, sehingga ketika pemerintahan China memerintahkan
pindah tugas ke Champa mereka harus kembali ke Champa. Prof. Wang mengamati
bahwa Champa dan Malaka menduduki tempat yang sangat penting dalam jalinan
hubungan sino – Asia Tenggara. Champa dan Malaka juga merupakan pangkalan
paling penting di Asia Tenggara yang dipakai Armada Cheng Hwa (Tan Ta Sen;
2010; 243).
Kunjungan Pangeran
Cakra Buana ke Champa tidak hanya bisa dipandang sebagai usaha memperdalam
agama Islam dan Reuni keluarga saja, tetapi juga memiliki bobot politik yang
bernilai strategis bagi perkembangan kerajaan Singapura selanjutnya. Alur
perjalanan Pangeran Cakrabuana sejak berangkat haji maupun setelah
kepulangannya ke tanah air selalu mengikuti alur strategis jalur perdagangan
laut timur – barat yang selalu dipakai oleh armada Cheng Hwa. Perjalanan haji
Pangeran Cakrabuana semakin memperkokoh penyebarluasan agama Islam dan juga
misi perdagangan Singapura.
Pangeran Cakrabuana
tinggal cukup lama di Champa, dia menamatkan semua ilmu yang dianjurkan oleh
Syeikh Maulana Jatisuwara. Sampai akhirnya dijadikan menantu oleh Syeikh
Maulana Jatisuwara, Pangeran Cakrabuana dinikahkan dengan Nyai Ratna Rasajati.
Dengan putri gurunya itu Pangeran Cakrabuana dikaruniahi 7 Orang Putri, yaitu :
1. Nyai
Lara Sejati
2. Nyai
Jatimerta
3. Nyai
Jemaras
4. Nyai
Mertasinga
5. Nyai
Champa
6. Nyai
Lara Melasih
7. Nyai
Laras Konda
Kemudian Pangeran
Cakrabuana berserta keluarganya yang dibawa dari Champa diboyong ke tanah Jawa.
Sebelum sampai ke Jawa singgah dulu ke Malaka kemudian meneruskan perjalanan ke
Pasai. Di Pasai Pangeran Cakrabuana berkunjung menemui Maulana Makdar Ibrahim,
kebetulan Maulana Makdar Ibrahim memiliki seorang putri yang masih bayi, bayi
perempuan itu bernama Syarifah Mutmainah. Sang bayi sedang sakit panas sehingga
selalu menangis tanpa henti. Maulana Makdar Ibrahim meminta tolong kepada
Pangeran Cakrabuana untuk mengobatinya. Pangeran Cakrabuana menggendong bayi
itu, atas pertolongan Allah sang bayi itu sembuh dan berhenti menangis.
Akhirnya bayi perempuan itu di adopsi oleh Pangeran Cakrabuana dan dibawa ke
Cirebon. Setelah dewasa bayi Syarifah Mutmainah itu dikenal dengan nama Nyimas
Gandasari yang sangat membantu dalam penyebaran agama Islam.
Pengalaman ke luar
negeri Pangeran Cakrabuana sangat bermanfaat bagi penataan Cirebon dikemudian
hari. Sekembalinya dari berhaji Pangeran Cakrabuana berkumpul kembali dengan
keluarga di Lemah Wungkuk atau Pedukuhan Caruban. Kemudian Pangeran Cakrabuana
bersama warga padukuhan Caruban membangun tempat ibadah yang berupa musholah
dan disebut Tajug Jala Graha. “Jala” berarti laut dan “graha” berarti rumah,
terjemahan bebasnya adalah rumah ibadah dipinggir laut.
Tidak berapa lama
kemudian Ki Gedeng Alang-alang Wafat, Ki Gedeng Alang-alang adalah warga Lemah
Wungkuk pertama yang dikubur dengan menggunakan Syariat Islam. Kemudian
Pangeran Cakrabuana di daulat oleh warga Lemah Wungkuk untuk menjadi Ki Kuwu
Caruban Ke 2 menggantikan mertuanya.
Sebagai Kuwu Caruban
kedua Pangeran Cakrabuana memiliki peluang yang lebih besar untuk mengembangkan
wilayah Caruban. Pengembagan wilayah sekaligus menyebarkan agama Islam. Adapun
langkah-langkah yang dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana adalah; pertama,
membuka lahan baru untuk pemukiman penduduk dan ladang pertanian pedukuhan.
Pedukuhan yang dibuka oleh Pangeran Cakrabuan pada periode awal berdasarkan
catatan babad atau sumber historiografi tradisional adalah; Padukuhan Trusmi,
padukuhan Ciledug, padukuhan Junti, padukuhan Jungjang, Padukuhan Nusaherang
dan Bayalangu.
Adapun padukuhan yang
dibuka oleh putra-putra Pangeran Cakrabuana atas perintah Pangeran Cakrabuana
sendiri adalah ; padukuhan Cirebon Girang statusnya ditingkatkan dari sebuah
kabuyutan menjadi Pakuwon, usaha ini dilakukan oleh Pangeran Carbon. Padukuhan
Jemaras dibuka oleh Nyai Ageng Jemaras, Padukuhan Jatimerta oleh Nyai Jatimerta.
-
Mengajak para Gegeden yang sudah lebih
dulu membuka pemukiman untuk masuk agama Islam, antara lain adalah Ki Gede
Gamel, Ki Gede Megu, dan Ki Gede Palimanan.
-
Melakukan pembinaan dan bimbingan agama
Islam kepada penduduk di wilayah kerajaan Singapura, wilayah Japura dan
Indraprahasta yang sudah bergabung dengan keraton Singapura yang masih dipimpin
kakeknya.
Pada sekitar tahun 1445
Ki Ageng Tapa raja Keraton Singapura meninggal dunia. Seharusnya sebagai cucu
dari Ki Ageng Tapa Pangeran Cakrabuana berhak menggantikan kedudukan sebagai
raja Singapura. Namun peluang itu tidak diambilnya. Harta warisan peninggalan
kakeknya digunakan untuk mendirikan istana Pakungwati dan membentuk angkatan
bersenjata untuk melindungi wilayah di padukuhan Caruban. Peristiwa ini dicatat
oleh CPCN, berikut kutipannya “kakinira rumuhun dumadi ratu singapura angemasi
// pangeran cakrabuana tan sumilih kalangguhan ika // tatapiyan manhkana ika ya
angaliliri rajabrana tumili amangun pakungwati kedhatwon irika kalawitan ikang
eng gawe wadyabala // (setelah beberapa tahun lamanya kakanya yang dahulu
menjadi ratu singapura meninggal, pangeran cakrabuana tidak menggantikan
kedudukan itu, namun demikian dia mewarisi kekayaannya, selanjutnya ia
mendirikan istana pakungwati, pada waktu itu pula ia mulai membangun angkatan
bersenjata) (acha; 1986; 164-165).
Alun alun kasepuhan dan masjid agung sang
ciptarasa kasepuhan cirebon tahun 1935 (poto : Mukroni)
Pangeran Cakrabuana
adalah orang yang visioner, dia tahu bahwa pada saat itu singapura sudah harus
dikembangkan, istana yang dibangun kakeknya sudah tidak mungkin lagi
dipertahankan untuk melayani perkembangan Cirebon yang makin pesat.
Perkembangan pelabuhan juga sudah saatnya diperluas, Pangeran Cakrabuana mulai
membangun pelabuhan Caruban. Pelabuhan Caruban terletak diantara sungai gangga
disebelah selatan dan sungai kedungpane disebelah utara. Diantara kedua sungai
besar itu ada dua kanal yang dibagun untuk masuknya perahu ke pusat kota. Kanal
yang mengalir menuju bagian depan kraton Pakungwati yang disebut kali Sipadu
dan Kanal Sukalilah disebelah utara kanal sipadu.
Dukungan dari kuwu-kuwu
yang ada di wilayah pedalaman Cirebon juga makin kuat kepada Pangeran
Cakrabuana. Para kuwu yang sudah dilengkapi pasukan Badak[13] dan
pasukan Baksa[14]
siap mendukung kebijakan apapun yang dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana. Jumlah
Pakuwuhan yang ada pada masa Pangeran Cakrabuana memang belum ada data yang pasti dari manuskrip
yang ada. Namun tentunya jumlah pakuwuhan di Cirebon semakin meningkat pada
saat itu, seiring meningkatnya jumlah cacah pada waktu itu. Kesatuan penduduk
terkecil pada masa itu disebut Somah ( kepala keluarga). Kemudian dari satu
somah berkembang menjadi sebuah kebuyutan, beberapa kabuyutan membentuk dusun
yang dipimpin oleh Gegeden. Dari beberapa Gegeden dipilihlah Kuwu untuk
memimpin Pakuwuhan atau desa.
Perubahan suksesi
kepempinan dan bentuk organisasi masyarakat yang ada di wilayah Cirebon dilaporkan
oleh utusan kepada pemerintah Pajajaran. Kemungkinan utusan yang dikirim dari
Cirebon melaporkan kepada perwakilan pemerintahan Rajagaluh yang ada di desa
Balerante[15].
Dari Balerante melaporkan kepada Adipati Cakraningrat. Kemudian dari kerajaan
rajagaluh (kerajaan Bawahan pajajaran) melaporkan kepada Maharaja Prabu
Dewatawisesa.
Prabu Dewatawisesa atau
dikenal dengan nama Prabu Siliwangi menerima kabar dari Cirebon dengan
sukacita, sebab yang menggantikan mertuanya menjadi pimpinan di wilayah bekas kerajaan
Singapura adalah anaknya sendiri. Selama ini Pangeran Cakrabuana selalu
menyembunyikan identitasnya. Prabu Siliwangi juga menerima perubahan nama dari
Singapura menjadi Caruban atau Cirebon. Kemudian sang Maharaja mengutus
Tumenggung Jagabayan dan Mantri Pepitu ( tujuh orang menteri) untuk menyematkan
gegelan petanda kaprabon ( tanda
pelantikan penguasa caruban). Pangeran Cakrabuana dilantik menjadi tumenggung
Caruban menggantikan posisi kakeknya yang telah wafat. Perubahan dari keraton
singapura menjadi ketumenggungan Cirebon juga telah masuk menjadi pertimbangan
Prabu Siliwangi. Pangeran Cakrabuana dinobatkan menjadi Tumenggung Sri Mangana.
Prabu Siliwangi selalu
memantau Cirebon, sebab Katumenggungan Caruban adalah salah satu pelabuhan
penting bagi pemasaran komoditi diwilayah pedalaman. Terutama di wilayah
priangan timur. Wilayah priyangan timur yang memiliki hasil bumi yang cukup
bagus adalah sukapura (Tasikmalaya), Kabuyutan Galuh[16]
(Ciamis) , Limbangan (Garut) dan kerajaan di sekitar wilayah Majalengka yang
menjadi bawahan kerajaan Pajajaran. Kerajaan tersebut adalah Rajagaluh dan
Kerajaan Budha Talaga.
Kawasan Lemah Wungkuk
dan areal dibangunnya Kraton Pakungwati dipersiapkan oleh Pangeran Cakrabuana
menjadi pusat kota bagi Katumenggungan Caruban. Jalan-jalan dibangun untuk
mempermudah akses masuk di kota ini. Keharmonisan hubungan antara penduduk lama
dan pendatang baru selalu dijaga. Kasus pertikaian antara orang-orang
pekalongan dengan imigran dari arab juga pernah terjadi disini. Pangeran Cakrabuana
dapat menyelesaikan dengan sabar. Keluarga imigran dari arab yang dimaksud
adalah keluarga Panjunan. Masyarakat pekalongan menolak ajaran baru (Islam)
yang disampaikan dengan cara yang tidak mereka sukai. Pangeran Cakrabuana
menasehati mereka untuk bersabar, tunggulah nanti akan dating orang merupakan
bagian dari kalian yang akan mengenalkan Islam dengan cara-cara yang kalian
suka. Kepada keluarga Panjunan juga Pangeran Cakrabuana sering berdiskusi agar
mereka melakukan pendekatan dengan pendekatan budaya setempat.
Selain menata kota
Pangeran Cakrabuana juga mendidik putra-putrinya untuk menjadi pemimpin masa
depan. Pangeran Caruban yang sudah menjadi Kuwu Cirebon Girang dipersiapkan
untuk menjadi Panglima Perang. Ratu Pakungwati juga dilatih oleh Keprajuritan
dan tentu saja diajarkan agama Islam. Anak-anak yang lain dikirim ke berbagai
daerah untuk menata pedukuhana dan juga sebagai juru dakwah, sementara adkinya
Nyi Mas Syarifah Muda’im mempersiapkan putranya Syarif Hidayatullah untuk
belajar pada guru-guru ternama yang ada di jazirah arab.
Di Negara Mekah Syarif
Hidayatullah belajar pada Syeikh Tajuddin Al Kubro, CPCN memberitakan demikian.
Mungkin yang dimaksud oleh CPCN adalag Syeikh Najmuddin Al Kubro. Syeikh
Najmuddin Al Kubro terlahir dengan nama Abu Al Jannab Achmad Bin Umair yang
mendapat julukan At-Tammat Al Kubro dan kemudian dikenal dengan sebutan
Najmuddin Al Kubro (Schimmel, 2000; 323) Syeikh Najmuddin Al Kubro wafat pada
tahun 1221 Masehi. Jadi 2 abad sebelum Syarief Hidayatullah lahir. Jadi
pertemuan Syarief Hidayatullah dengan Syeikh Najmuddin Al Kubro sangat tidak
mungkin, namun tidak menutup kemungkinan bahwa Syarief Hidayatullah belajar
tentang Kubrowiyah dari murid-murid Syeikh Najmuddin Al Kubro. Namun sayangnya
tidak ada teks-teks dari manuskrip Cirebon yang menjelaskan siapa murid Syeikh
Najmuddin Al Kubro yang mengajarkan tarekat kubrowiyah kepada Syarief
Hidayatullah.
Begitu pula dalam CPCN
dan naskah babad mertasinga menjelaskan bahwa Syarief Hidyatullah belajar
kepada Syeikh Athaillah As Syadzilli. Syeikh Athaillah As Syadzilli nama
kecilnya adalah Tajudin Ahmad bin Muhammad Bin Athaillah Al Iskandari, dia
adalah murid Abu Al-Abbas Al Mursi yang wafat pada tahun 686 H atau 1287 Masehi.
Abu Al Abbas Al-Mursi ini adalah Khalifah Tarekat Syadziliyah yang menggantikan
gurunya Abu Al- Hasan As Syadzilli. Kemudian setelah itu digantikan oleh Ibnu
Athoillah (Schimmel, 2000; 318). Jadi walaupun Syarief Hidayatullah tidak
bertemu langsung dengan kedua gurunya tersebut, masih mungkin mempelajari
Tarekat Kubrowiyah atau Sadziliyah lewat mursyid sesudahnya atau lewat murid
dari kedua mursyid besar itu. Hampir 4 tahun Syarief Hidayatullah tinggal di Mekah untuk mendalami
kedua tarekat itu. Namun hal yang paling memungkinkan adalah 2 tahun tinggal di
Mekah untuk mendalami Tarekat Kubrowiyah dan 2 tahun tinggal di Iskandariyag
Mesir untuk mendalami tarekat Sadziliyah, sebab tarekat Sadziliyah ini popular
di Mesir sesuai dengan tempat kelahiran Syeikh Ibn Athoillah As Sadzilli.
Apalagi Syarief Hidayatullah sendiri berasal dari Mesir walaupin dilahirkan di
Mekah. Andaikan terjadai pertemuan fisik antara Syarief Hidayatullah dengan
gurunya yaitu Syeikh Ibn Athoillah As Sadzilli, peluang terbesarnya terjadi di
Mesir, tidak seperti diberitakan oleh manuskrip local maupun tulisan R. H.
Unang Sunardjo[17].
Setelah selesai
mendalami ajaran tarekat Sadziliyah di Mesir Syarief Hidayatullah pergi ke
Bagdad untuk memperdalam agama Islam ke Guru-guru yang Mashur disana. Siapa
Guru-guru Syarief Hidayatullah di Bagdad tidak ada penjelasan yang lengkap dari
sumber-sumber lokal di Cirebon. Kemudian perjalanan dari Bagdad dilanjutkan
kembali untuk pulang kembali ke kampung halamannya. Syarief Hidayatullah mendengar kabar bahwa
ayahnya telah wafat , dia diminta pulang ileh keluarganya untuk melanjutkan
tahta yang diwariskan ayahnya. Syarie Hidayatullah menolak untuk menjadi raja,
dia meminta ijin kepada Ibu dan pamannya untuk berdakwah menyebarkan Agama
Islam di Negeri Ibunya di Tatar Sunda. Syarief Hidayatullah menyerahkan
tahtanya kepada adiknya Syarif Nurullah.
Kemudian Syarief
Hidayatullah berangkat menuju pulau Jawa dengan menumpang perahu dagang atab
menuju pelayaran Gujarat, India. Kemungkinan besar di Gujarat Syarief
Hidayatullah menemui kerabat-kerabat ayahnya disana. Saying sekali tidak ada
keterangan yang menjelaskan aktifitas Syarief Hidayatullah di Gujarat. Dari
Gujarat perjalanan Syarief Hidayatullah dilanjutkan ke Malaka. Di Malaka Syarief Hidayatullah
bertemu dengan kerabat ayahnya yaitu Syeikh Maulana Ishak. Syeikh Maulana Ishak
adalah ulama yang pernah berdakwah di Blambangan, Jawa Timur. Di
Blambangan Syeikh Maulana Ishak memiliki
seorang istri yang merupakan pitri Raja Blambangan.
Kemudian dari Malaka
perjalanan dilanjutkan ke Pasai untuk menemui kerabat ayahnya juga yang mernama
Maulana Makdar Ibrahim. Maulana Makdar Ibrahim adalah putra dari Maulana Abdul
Gafur atau Maulana Malik Ibrahim Bin Barkat Zaenul Alim Bin Jamaluddin.
Sementara silsilah Syarief Hidayatullah adalah Bin Syarif Abdullah Bin Ali
Nurul Alim bin Jamaluddin. Jadi Syarieg Hidayatullah masih terhitung sepupu
dengan Maulana Makdar Ibrahim. Alur perjalanan Syarief Hidayatullah menuju
Cirebon hamper mirip dengan alur perjalanan Pangeran Cakrabuana. Hanya Syarief
Hidayatullah tidak singgah di Champa. Memang Malaka dan Champa merupakan jalur
yang sangat penting bagi hubungan Sino – Asia Tenggara. Posisi Malaka semakin
meningkat sebagai pusat perdagangan entreport regional terpenting di Asia
Tenggara setelah Cheng Hwa mendirikan pangkalan regional disana (Tan Ta Sen;
2010 ; 248).
Dari Pasai perjalanan
Syarief Hidayatullah dilanjutkan menuju Banten. Di Banten Syarief Hidayatullah
menemukan banyak penduduk yang sudah beragama Islam. Keislaman masyarakat
Banten merupakan upaya dari Sunan Ampeldenta yang pernah tinggal beberapa lama
di Banten. CPCN memberitakan bahwa
Syarief Hidayatullah langsung ke Surabaya untuk menemui Sunan Ampeldenta,
sementara dalam manuskrip yang lain seperti Babad Mertasinga Syarief
Hidayatullah mampir dulu ke Pelabuhan Muarajati untuk menemui Uwaknya pangeran
Cakrabuana. Menurut naskah serat Carub Kandha, Syarief Hidayatullah dari Banten
langsung ke Cirebon. Pertemuan dengan tokoh-tokoh di Jawa atas rekomendasi dari
Pangeran Cakrabuana.
Pendaratan Syarief
Hidayatullah di Muarajati disambut sukacita oleh Pangeran Cakrabuana. Pangeran
Cakrabuana sampai melakukan pesta penyambutan khusus. Walaupun Pangeran
Cakrabuana tidak pernah melihat wajah keponakannya itu, namun dia sudah dapat
membayangkan seperti apa wajah Syarief Hidayatullah. Mirip ibunya atau ayahnya,
ini yang dijadikan patokan oleh Pangeran Cakrabuana. Menurut sumber dari
Keraton Keprabonan, dulu ibunya sempat ditinggali pusaka keris Ki Jimat Tunggul
Manik[18] sebagai
tanda pengenal jika Syarief Hidayatullah pulang ke Cirebon.
Pada waktu Syarief
Hidayatullah berada di Cirebon kemungkinan Syeikh Nurjati Sidah Wafat. Syarief
Hidayatullah diperintahkan untuk menghidupkan kembali cahaya Islam di
Pesambangan Jati yang sempat redup sepeninggal Syeikh Nurjati, namun Syarief Hidayatullah
tidak mengambil tempat di Bukit Amparan Jari sebab tempat itu sudah dijadikan
kuburan Syeikh Nurjati. Syarief Hidayatullah membangun pesantren disebelah
baratnya yaitu di Bukit yang banyak ditumbui pohon sembung. Masyarakat
menyebutnya dengan bukit sembung. Kegiatan pesantren di Bukit Sembung kian hari
kian ramai, siang malam banyak didatangi para santri. Kegiatan pasar
Pesambangan juga semakin ramai, kapal-kapal asing banyak yang bersandar
dipelabuhan Muarajati. Sepeninggal Ki Ageng Tapa kemungkinan jabatan sebagai
Syah Bandar atau juru labuhan ditangani langsung oleh Tumenggung Sri Mangana
sendiri, sebagai mana kakeknya dulu yang juga merangkap sebagai juru labuhan
dan Ratu Singapura. Sebelum Syarief Hidayatullah dating, jabatan kewalian di bukit
Nurjati juga dirangkap oleh Tumenggung Sri Mangana. Keterangan ini diperoleh
dari Sejarah Cirebon Kawedar (SCK). SCK memberitakan bahwa sebelum Syeikh
Nurjati wafat, Pangeran Cakrabuana diberi gelar Sunan Ranggapaku – Gelar Sunan
Ranggapaku diberikan sebelum Syeikh Nurjati wafat. Sementara di naskah-naskah
yang lain disebutkan bahwa Syeikh Nurjati pernah memberikan gelar pada Pangeran
Cakrabuana dengan gelar Ki Somadullah. Gelar Somadullah ini diberikan sebelum
diperintahkan untuk membuka luwung ghoib, Luwung Ghoib adalah nama hutan
sebelum dialih fungsikan menjadi Pedukuhan Kebon Pesisir atau Lemah Wungkuk.
Siang dan malam pondok
pesantren Syarief Hidayatullah tidak
pernah sepi, kalau malam pondok pesantren itu diberi penerangan lampu obor yang
jumlahnya banyak sekali, sehingga cahaya kerlap-kerlip lampunya terlihat
dari kejauhan. Sehingga masyarakat
Cirebon pada waktu itu menjulukinya pesantren Nurgiri Cipta Rengga. Walaupun
Syarief Hidayatullah sudah memperoleh restu dari uwaknya Tumenggung Sri Manggana
untuk menyebarkan agama Islam menggantikan Syeikh Nurjati, namun Syarief
Hidayatullah tetap menjalin silaturahmi dengan wali dan ulama yang lebih
senior. Pertama Syarief Hidayatullah menemui Syeikh Kuro di Karawang, namun
Syeikh Kuro sudah wafat. Kedudukan Syeikh Kuro digantikan oleh Sunan Bentong (
Bah Thong), Sunan Bentong menyambut gembira pertemuan dengan Syarief
Hidayatullah. Saat itu pesantren di Karawang sudah tidak seramai dulu pada masa
Syeikh Kuri. Putri Syeikh Kuri yang bernama Siaw Ban Chi dinikahi oleh Bhre
Kertabhumi Raja Majapahit. Sementara Sunan Bentong lebih suka berdakwah
keliling sambil berdagang. Sunan Bentong selain dikenal sebagai wali, dia
dikenal juga sebagai pemasok kebutuhan beras terbesar dari wilayah sunda ke
Jawa Timur.
Selain bersilaturahmi
dengan Syeikh Bentong, Syarief Hidayatullah juga pergi ke Banten. Di Banten ini
dia ditemani oleh Uwaknya yang lebih mengenal seluk beluk Banten, karena masa
kecil Tumenggung Sri Manggana dan ibunya Syarief Hidayatullah tinggal di Banten.
Keduanya sempat berjiarah ke makan Nyai Subang Keranjang nenek Syarief
Hidayatullah. Kemudian Syarief Hidayatullah dan Tumenggung Sri Manggana
bersilaturahmi kepada Adipati Kawunganten. Kebetulan Adipati Kawunganten ini
memiliku adik perempuan yang sangat cantik, kemudian Tumenggung Sri Manggana
meminta kepada Adipati Kawunganten untuk dinikahkan dengan Syarief
Hidayatullah. Adipati Kawunganten dan adiknya sangat gembira menerima pinangan
Syarief Hidayatullah ini, pernikahan pun dilaksanakan. Pernikahan Syarief
Hidayatullah dan Ratu Kawungaten ini terjadi pada tahun 1475 M. Pernikahan Syarief Hidayatullah dengan Ratu Kawungaten
menurunkan 2 orang anak. Yang pertama adalah Ratu Ayu Winaon yang lahir sekitar
tahun 1477 M, dan anak kedua adalah Pangeran Sabakingkin yang lahir sekitar
tahun 1478 M.
Di sela-sela kesibukan
mengurus pesantren di Pesambangan Jati, Syarief Hidayatullah selalu
menyempatkan diri untuk bersilaturahmi dan meminta dukungan Wali-wali yang
lebih senior. Kunjungan selanjutnya dilakukan untuk meminta restu dari Syeikh
Madekur yang tinggal disekitar Bukit Cupang, Bukit Cupang terletak di
perbatasan Rajagaluh. Syeikh Madekur menjelaskan tentang seluruh potensi yang
ada di Pulau Jawa. Dalam cerita Babad diceritakan bahwa Syeikh Madekur adalah seorang
wali yang bias berjalan diatas awan dan menembus bumi.
Sebenarnya banyak
sekali wali-wali sepuh yang dikunjungi Syarief Hidayatullah, namun yang dicatat
oleh sumber historiografi tradisional hanya tokoh-tokoh tertentu saja. Wali
yang terakhir dikunjungi adalah Sunan Ampeldenta di Surabaya. Selain kabar yang
pernah diperoleh Syarief Hidayatullah waktu di Banten, Uwaknya sendiri juga
merekomendasikan Syarief Hidayatullah untuk ke Surabaya, begitu juga setiap
wali yang dikunjungi Syarief Hidayatullah, selalu menyarankan kepada Syarief
Hidayatullah agar meminta berkah kepada Sunan Ampeldenta. Di Surabaya Syarief
Hidayatullah telahh di tunggu oleh Sunan Ampeldenta dan wali-wali yang lainnya
seperti Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat serta santri-santri yang
lainnya. Sunan Ampeldenta masih terhitung kakek Syarief Hidayatullah sendiri
dari jalur ayahnya, sementara Sunan Giri adalah Putra Maulana Ishak. Syarief
Hidayatullah sempat berguru kepada Maulana Ishak, adapun Sunan Bonang dan Sunan
Drajat adalah Putra Sunan Ampeldenta. Jadi mereka semua adalah kerabat Syarief
Hidayatullah. Sunan Ampeldenta banyak memberikan wejangan kepada Syarief
Hidayatullah. Wali keturunan Champa itu juga memberkati Syarief Hidayatullah
dan memerintahkan untuk membantu Tumenggung Sri Mangana uwaknya dari pihak ibu.
Sunan Ampeldenta juga memberikan garis batas wilayah dakwah Syarief
Hidayatullah. Batas dari sebelah timur adalah sungai Cipamali sampai ke barat.
Sementara batas wilayah barat adalah batas wilayah Kerajaan Sunda Pajajaran,
sebab wilayah tersebut dinyatakan oleh Sunan Ampeldenta adalah wilayah
“Minangka Warisan Saking Ibu” atau wilayah warisan dari Ibunya Syarief
Hidayatullah.
Sebelum pulang Syarief
Hidayatullah disuruh membawa dua orang murid Sunan Ampel yaitu Raden Jaka Taruna,
mantan anggota angkatan laut kerajaan Majapahit dan Pangeran Surya seorang
satria dari Sampang, Madura. Menurut naskah Serat Carub Kandha kedua orang itu
disuruh melanjutkan berguru kepada Syarief Hidayatullah. Raden Jaka Taruna
diberi tempat dipinggiran pantai Cirebon, sepanjang garis pantai Bungko,
sementara Pangeran Surya ditempatkan di Desa Kemlaka Gede. Di Kemlaka Gede,
Pangeran Surya diberi tugas untuk membantu Raden Mas Zakaria ( Ki Muntala Rasa)
atau Ki Gede Kemlaka. Kalau menurut cerita tutur tinular di desa Kemlaka,
Pangeran Surya atau Pangeran Kejoran tinggal di Kemlaka sekitar tahun 1527 M,
yaitu setelah pulang dari penaklukan Sunda Kelapa.
Pesantren Gunung
Sembung makin ramai saja setelah masiknya Raden Jaka Taruna dan Pangeran Surya,
kemudian datanglah Adipati Keling. Adipati Keling berasal dari India, adipati
keling bersama 98 orang pasukannya adalah pengawal khusus raja Keling, mereka
juga memiliki keahlian temur di lautan. Adipati Keling dan 98 pasukannya diutus
untuk menghadap kepada Syarief Hidayatullah. Setelah masuk agama Islam mereka
berjanji akan mengabdi pada Syarief Hidayatullah sampai Hari Kiyamat[19].
Pada tahun 1440 M,
Syarief Hidayatullah punya keinginan untuk bersilaturahmi ke negeri Champa. Di
Negeri Champa banyak sekali ulama-ulama penyebar agama Islam yang masih
memiliki kekerabatan dengan ayahnya. Syarief Hidayatullah pergi menjumpai
guru-guru utama yang ada di Champa. Keberangkatan Syarief Hidayatullah ke
Champa bisa juga atas saran dari Uwaknya Pangeran Cakrabuana. Pangeran
Cakrabuana ketika dahulu mampir ke Champa atas sara gurunya Syeikh Kuro yang
dulu pernah bermukim di Champa.
Kepergian Syarief
Hidayatullah ke Champa memiliki banyak arti, Syarief Hidayatullah ke Champa
tidak hanya dapat dimaknai sebagai silaturahmi keluarga dan pendalaman ilmu
agama Islam saja, tetapi juga memiliki manfaat lain yang tidak kalah
pentingnya. Manfaat pertama adalah jaringan perdagangan Islam, para ulama dan
pedagang besar yang ada di negeri Champa saling bahu membahu dalam membangun
ikatan persaudaraan Islam, mereka tidak melihat asal-usul Negara masing-masing.
Manfaat kedua adalah memperkuat jaringan penyebaran agama Islam melalui jazirah
arab; Gujarat; Malaka; Jawa; Champa dan China.
Menurut Serat Carub
Kandha dan Carub Kandha Carang Seket, ulama-ulama keturunan Rosulullah yang
berdakwa di Champa adalah Syeikh Ibrahim Samarkondi ( As-Samarkhan), Syeikh
Duta Samud, Syeikh Syamsu Tamres, dan Syeikh Abdul Shomad. Namun ilama yang
dicatat Babad Mertasinga yang bertemu dengan Syarief Hidayatullah hanya Syeikh
Mustaqim. Syeikh Mustaqim inilah yang banyak memberikan wejangan kepada Syarief
Hidayatullah, tentang hakikat kehidupan.
Dari Champa Syarief
Hidayatullah pergi menuju negeri Tar-tar, negeri ini terletak di daratan China.
Legenda Syarief Hidayatullah ke negeri Tar-tar sangat terkenal di Cirebon. Di
negeri Tar-tar Syarief Hidayatullah sampai memiliki murid yang jumlahnya sangat
banyak. Keilmuan Syarief Hidayatullah sampai mengundang rasa penasaran raja
Tar-tar. Kemudian Raja Tar-tar menguji Syarief Hidayatullah dengan sebuah
teka-teki. Putrid Kaisar disuruh memakai baju hamil, kemudian dalam baju
hamilnya diisi dengan bokor dari kuningan sehingga Oeng Tien ( nama putri sang
kaisar) seperti hamil betulan.
Syarief Hidayatullah
disuruh menebak apakah Oeng Tien betul-betul hamil atau sedang terkena
penyakit. Syarief Hidayatullah kemudian mengatakan bahwa Oeng Tien hamil
betulan, Kaisar tertawa dan mencemooh Syarief Hidayatullah. Kemudian Syarief
Hidayatullah diusir dari negeri Tar-tar. Syarief Hidayatullah kembali ke
Cirebon, sementara itu ketika Oeng Tien handak melepaskan baju hamil dan
bokornya dia sangat terkejut sebab bokor kuningannya telah hilang dan Oeng Tien
benar-benar hamil[20].
Kisah ini menjadi cerita idola
masyarakat Cirebon dan hamper ditulis dibanyak cerita vavad, kecuali CPCN.
Naskah yang menceritakan kisah Syarief Hidayatullah di negeri Tar-tar adalah
Naskah Sejarah Cirebon (NSC) dan Naskah Babad Tanah Sunda (NBTS). Ketenaran
kisah ini sampai dijadikan landasan asal-usul berdirinya kota kuningan,
sementara bokornya dijadikan lambang kota.
Kedatangan Syarief
Hidayatullah ke Negeri China, menjadi topik yang menarik bagi para penulis babad
pada masa itu, namun CPCN tidak pernah mencatat terjadinya kunjungan dakwah
Syarief Hidayatullah ke negeri China itu. CPCN justru menulis tentang peristiwa
kedatangan Laksamana Cheng Hwa, bahkan pendirian mercusuar oleh Panglima Besar
Wang Heng Ping dan Laksamana Cheng Hwa di atas puncak bukit Amparan Jati
ditulis dengan jelas. Peristiwa kedatangan Cheng Hwa dan pendirian mercusuar
dengan keberadaan Syarief Hidayatullah di Cirebon hanya berjarak 55 tahun.
Sudah barangtentu kiprah Cheng Hwa yang mashur itu dapat menginspirasi Syarief
Hidayatullah untuk mengunjungi Negeri China. Apalagi Syarief Hidayatullah dari
kecil dididik di lingkungan keluarga muslim terpelajar pasti sudah mendengar
tentang hadits Rosulullah yang mengatakan bahwa “tuntutlah ilmu sampai kenegeri
China”.
Walaupun kunjungan
Syarief Hidayatullah ke negeri China itu hanya di catat dalam naskah babad yang
usianya tidak lebih dari 200 tahun[21].
Namun peristiwa kunjungan Syarief Hidayatullah ke Negeri China yang terjadi
sekitar tahun 1440 diyakini oleh masyarakat cirebon, bahkan kuburan putri Oeng
Tien Nio di Astana Nurgiri Ciptarengga sangat dihormati oleh orang-orang
Cirebon baik yang beragama Islam maupun yang non muslim. Khusus untuk peziarah
non muslim dibuatkan tempat untuk persembahyangan mirip seperti di Klenteng.
Menurut CPCN Syarief
Hidayatullah menikah dengan Oeng Tien yang meninggal pada tahun 1488, mempunyai
seorang putra yang meninggal ketika dilahirkan di Luragung (Kuningan, Jawa
Barat). Putra Oeng Tien diberi nama Pangeran Kemuning. Kemudian Oeng Tien
mengadopsi putra Ki Gedeng Luragung. Dikemudian hari putra angkat Oeng Tien ini
diangkat menjadi Adipati Kuningan dengan gelar Pangeran Adipati Kemuning.
Uit Cheribon’s
Geshiedenis yang ditulis oleh seorang ahli arsip Belanda Dr. E.C. Godee
Molsbergen juga memberitakan tentang keberadaan Oeng Tien ini. “Een vierde, ren chineesche prienses, die
volgens de legende in een steenen prauw ove zee zou zijn gekomen, wordt
herdacht in den grooten steen in prouwvorm te tjimandoeng” ( wanita keempat,
seorang putri raja Tiongkok, yang menurut sebuah legenda datang melalui laut
dengan menunpang sebuah kapal batu besar berbentuk sebuah perahu di Tjimandung)
(Satibi; 2009 ; 2).
Memang tidak mudah
menghubungkan data-data yang bersumber dari karya Historiografi pada masa lalu,
apalagi dengan keterbatasan sumber-sumber sejarah yang dibutuhkan untuk
membuktikan benar tidaknya kunjungan Syarief Hidayatullah ke neger Tar-tar atau
ke daratan China. Maka dibutuhkan penelitian yang lebih serius dengan sumber
daya waktu yang cukup. Namun ada baiknya kita melihat hasil penelitian dari Dr.
Tan Ta Sen yang dikemas dalam bentuk desertasi di Jurusan Sejarah Universitas
Indonesia yang diterbitkan pada tahun 2010. Dia mengatakan bahwa, “Cheng Ho
memberi kontribusi secara langsung pada perluasan dan hubungan Dinasty Ming
China dengan dunia Islam. Pandangan ini bisa dibuktikan dengan fakta bahwa
banyak dari negara-negara pribumi yang dikunjungi misi Ming ke Asia Tenggara,
India, Timur Tengah dan Afrika Timur adalah negara-negara Islam; dan sejak saat
itu negara-negara ini mengirim utusan-utusannya ke istana Ming secara teratur.
Negara-negara tersebut mencakup Champa, Malaka, Aru, Samudra Pasai, Aceh, Jawa,
Cochin, Calicut, Bengal, Brunei, Maldives, Hormoz (Iran), Dhofar (Oman), Aden
(Yaman), Mekah dan Mogadishu (Somalia) (Tan Ta Sen ; 2010; 241, 242)
Kedatangan Syarief
Hidayatullah ke daratan China bisa jadi sebagai utusan dari Katumenggungan
Caruban. Pangeran Cakrabuana mengutus Syarief Hidayatullah untuk menghadap
penguasa dinasty Ming. Syarief Hidayatullah di utus untuk menjalankan misi
diplomasi dari Pangeran Cakrabuana dan menjelaskan perubahan nama Singapura
menjadi Caruban. Bisa juga diartikan bahwa kunjungan Syarief Hidayatullah ke
China adalah untuk memnita dukungan atau pengakuan atas perubahan besar yang
akan terjadi di Cirebon, dengan kata lain kedatangan Syarief Hidayatullah ke
China dapat diartikan sebagai kunjungan balasan dari yang pernah dilakukan
Cheng Hwa sebelumnya pada masa pemerintahan Ki Ageng Tapa.
Peristiwa-peristiwa
yang terjadi setelah kunjungan Syarief Hidayatullah ke China semakin menguatkan
posisi Cirebon sebagai sebuah negara Islam yang berdaulat. Peristiwa ini
merupakan politik besar luar negeri Cirebon yang memanfaatkan misa besar armada
pelayaran Cheng Hwa.
Pada tahun 1479 M
Pangeran Cakrabuana menyerahkan jabatan Tumenggung Caruban kepada Syarief
Hidayatullah. Peristiwa peralihan kekuasaan ini tentu saja dilaporkan kepada
Maharaja Pajajaran di Pakuan. Tidak ada catatan apakah ada “gegelan pathanda
kaprabon” (penyematan tanda jabatan) atau tidak, yang jelas di alun-alun Astana
Nurgiri Ciptarengga “Mande Pajajaran”
masih utuh sampai sekarang. Mande pajajaran atau bale pajajaran adalah salah
satu “petanda keprabon” Syarief Hidayatullah walaupun tidak ada catatan siapa
yang membawa “mande pajajaran” itu, tetapi mande pajajaran adalah salah satu
bentuk bukti persetujuan Maharaja Pajajaran kepada Syarief Hidayatullah.
Setelah mendapat amanah
dari Uwaknya Tumenggung Sri Mangana, Syarief Hidayatullah segera menyusun
strategi untuk menjalankan roda pemerintahan ketumenggungan Caruban. Pangeran
Cakrabuana atau Tumenggung yang sudah mantan tetap dibutuhkan tenaganya sebagai
penasehat Syarief Hidayatullah. Penguasaan Pangeran Cakrabuana terhadap sistem
keamanan dan wilayah teritorial tatar sunda juga tetap dibutuhkan, sehingga
Pangeran Cakrabuana merangkap tugas sebagai Manggalayudha.
Syarief Hidayatullah
juga tetap intensive melakukan hubungan bilateral dengan kerajaan Demak, bahkan
ketika terjadi perang saudara antara Demak dengan negaa-negara kecil pecahan
Demak Syarief Hidayatullah juga membantu Demak. Di Demak inilah para wali
setanah Jawa berkumpul, dengan Demak
pula Syarief Hidayatullah membentuk aliansi untuk menjaga keamanan
pantai utara dari perompak-perompak yang mengganggu jalur perdagangan.
Pada tahun 1482 Masehi
atas dukungan dari Uwaknya Syarief Hidayatullah dinobatkan menjadi Raja
Caruban, sebelum dilantik Syarief Hidayatullah dinikahkan dengan Putrinya yang
bernama Ratu Dalem Pakungwati. Syarief Hidayatullah dinobatkan oleh Pangeran
Cakrabuana dengan gelar Sunan Jati
Purbawisesa, kemudian disaat yang bersamaan Syarief Hidayatullah dilantik
oleh Sunan Ampendenta ( Ketua Dewan Walisanga) sebagai Sunan Carbon Sinarat Sunda Penetep Penatagama Auliya Allahu
Kholifaturosulillah.
Pengukuhan sepihak
Syarief Hidayatullah sebagai Raja Caruban, tentu saja memancing reaksi
Pajajaran, apalagi dukungan walisanga yang menyebabkan lahirnya Demak dan
merosotnya kerajaan Majapahit. Prabu Siliwangi segera mengirimkan ekspedisi
khusus yang dipimpin oleh Tumenggung Jagabayan. Tumenggung Jagabayan
diperintahkan untuk mencari tahu alasan Syarief Hidayatullah menghentikan
pengiriman upeti kepada Pajajaran. Di Kraton Pakungwati kedatangan Tumenggung
Jabayan disambut sebagai saudara oleh Pangeran Cakrabuana. Syarief Hidayatullah
kemudian menjelaskan tentang perbedaan yang mendasar tentang konsep Islam dn
konsep undang-undang kenegaraan yang telah banyak diselewengkan oleh Pajajaran.
Menurut Syarief Hidayatullah pembayaran upeti yang dikumpulkan dari rakyat
kecil sangat memberatkan, Syarief Hidayatullah memiliki konsep yang berbeda
untuk mensejahterakan rakyat, kalangan yang mampu justru harus bisa membantu
rakyat kecil yang lemah. Konsep ini disebut konsep zakat. Tumenggung Jabayan
mendapatkan hidayah hingga memeluk agama Islam.
Kegagalan ekspedisi
pertama untuk menindak Cirebon membuat Prabu Siliwangi makin penasaran.
Segeralah dikirim ekspedisi kedua yang dipimpin langsung oleh kakak dari
Tumenggung Jabayan, yaitu Tumenggung Jagasatru. Pada ekspedisi kedua ini adik
bungsu dari Pangeran Cakrabuana turut serta, Rakean Santang atau Pangeran Raja
Segara diharapkan oleh ayahnya agar bisa membujuk kakak dan keponakannya untuk
tetap berintegrasi dengan Pajajaran. Namun ekspesidi ini berakhir seperti
ekspedisi pertama.
Kehadiran tumenggung
Jagasatru justru semakin memperkuat posisi Cirebon, apalagi dengan dukungan
Rakean Santang ( Pangeran Raja Segara). Rakean Santang selanjutnya ditempatkan
sebagai Juru Dakwah di wilayah Priangan Timur bagian selatan. Kehadiran Rakean
Santang kian menguatkan dukungan rakyat Priangan Timur kepada Cirebon,
sebelumnya dakwah Islam di Priangan Timur dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana
sendiri.
Pengiriman ekspedisi
khusus ke Cirebon memiliki makna yang sangat penting bagi Cirebon dan Pajajaran
sendiri. Bagi Cirebon peristiwa itu dapat dimaknai sebagai berikut :
1. Untuk
melakukan interospeksi seberapa solid kekuatan yang dimilki Cirebon pada saat
itu.
2. Untuk
merapatkan barisan bahwa ancaman terhadap eksistensi Cirebon bisa datang kapan
saja dan dari mana saja.
3. Memperkuat
aliansi perdagangan dan keamanan antara Cirebon – Demak – Malaka – Champa dan
China.
4. Memperkuat
sistem keamanan regional antara kerajaan-kerajaan yang berada di kawasan
regional sino – Asia Tenggara. Biar bagaimanapun peranana China sebagai negara
super power pada masa itu menjadi stabilisator di kawasan regional Champa –
Malaka dan Laut Jawa menjadi sangat penting. Terutama untuk mencegah masuknya
bangsa eropa ke wilayah regional tersebut.
Sementara bagi
Pajajaran sendiri pengiriman ekspedisi ke Cirebon dapat bermakna sebagai
berikut:
1. Setelah
dua kali pengiriman ekspedisi ke Cirebon gagal, Prabu Siliwangi menjadi semakin
yakin cucunya sudah akan mampu membangun emperium disebelah timur Pajajaran. Sebuah
negara yang sempat dibinanya sendiri. Sebenarnya Prabu Siliwangi masih
mempunyai kekuatan untuk menyerang Cirebon kembali.
2. Membaca
peta aliansi hubungan Malaka – Demak – Cirebon – Champa dan China, yang dengan
dibangun empirium perdagangan Islam, sambil mencari kesempatan untuk mencari
sekutu baru dikawan itu. Ketika Malaka jatuh ketangan Portugis, Prabu Siliwangi
langsung mengirim Pangeran Surawisesa untuk membuka kerjasama dengan Alfonso de
Albuquerque. Peristiwa itu terjadi persis 1 tahun setelah kejatuhan Malaka,
yaitu pada tahun 1512 Masehi.
TAMAT
Dirangkum dari Tulisan Bpk. Rafan S. Hasyim
“Jejak-jejak
Cheng Hwa di Keratuan Singhapura”
“Serat Carub
Kandha”
“Dinamika Jabatan
Kuwu Dari Masa Ke Masa”
“Sungai-Sungai Bersejarah Di Cirebon”
[13]
Pasukan Badak adalah Pasukan yang dibentuk oleh Kuwu. Pasukan tersebut dibentuk
atas saran dari Pangeran Cakrabuana. Pasukan Badak personelnya diambil dari
para pemilik Sikep (Tanah garapan) tugas dari pasukan Badak adalah melindungi
keutuhan Wilayah Pakuwuhan. Tetapi apabila Negara membutuhkan mereka siap
sedia, semboyan pasukan Badak adalah “Sedumuk Batuk, Senyari Bumi, Sun Labuhi
Nadyan Tumetese Pudira Kang Pungkasan” (setinggi Bukit, Sejengkal Tanah, saya
pertahankan sampai tetes darah yang penghabisan)
[14]
Pasukan Baksa adalah pasukan Babak Yaksa, pasukan baksa ini dulu digunakan
untuk membabat hutan untuk pemukiman warga, kemudian pasukan baksa ini ditarik
untuk melindungi negara.
[15] Balerante
adalah nama desa dikecamatan palimanan yang digunakan unruk serah terima upeti
dari Cirebon ke Pajajaran.
[16]
Sejak Ibu Kota kerajaan Sunda Pajajaran dipindah ke Pakuan (Bogor) dari Kawali
(Ciamis) wilayah Galuh ini menjadi Kabuyutan. Di Kabuyutan Galuh hanya didiami
oleh para Ajar saha sehingga kabuyutan galuh menjadi tempat paling suci bagi
orang-orang hindu – budha pada saat itu.
[17]
Sunardjo, RH Unang ; 1983 ; 51.
[18]
Ki Jimat Tunggul Manik adalah pusaka milik Pangeran Cakrabuana yang diterima
dari prabu SIliwangi. Menurut R. Tejasubrata dalam bukunya Sejarah Cerbon
Kawedar; Pusaka yang diperlihatkan Syarief Hidayatullah kepada Pangeran
Cakrabuana adalah keris Ki Nagadawa.
[19]
Mengabdi sampai Hari Kiamat maksudnya, Adipati Keling dan keturunannya akan
melayani Syarief Hidayatullah sampai Kiamat. Sampai Saat ini yang menjaga
Kuburan Syarieg Hidayatullah dan keturunannya adalah keturunan Adipati Keling.
[20]
Dalam Kisah masyarakat Cirebon digambarkan sebagai berikut : Perjuangan Sunan
Gunung Jati pada abad kelima –belas dalam mengembangkan agama Islam di negeri
Tartar Cina dilakukan dengan cara sebagaimana kebijksanaan yang pernah ditempuh
sebagian para penyebar agama Islam terdahulu di kawasan dunia, baik Barat
maupun Timur. Namun, rintangan dan tantangan yang tidak sedikit memeriukan
pengorbanan, tetapi Islam adalah agama Allah Swt. dan Allah tetap akan
melindunginya.
Setelah Sunan Gunung Jati
mendapat restu dari ibunda Nyai Mas Syarifah Mudaim dan menyerahkan tahta
kesultanan kepada adiknya Syarif Nurullah di Mesir, beliau menyiarkan agama
Islam di negeri Tartar-Cina. Dalam penyiarannya, Sunan Gunung Jati menyamar
sebagai rakyat biasa, dan memasuki perkampungan dengan ikut membuat keramik
seperti guci dan piring. Tetapi, karena ucapan Sunan Gunung Jati seusap nyata
seidu metu perkataannya menjadi kenyataan, dengan waktu yang tidak lama
sebagian rakyat negeri Tartar menjadi percaya dan meminta pertolongannya dan
memeluk agama Islam.
Penyiaran agama Islam yang
secara tidak langsung oleh Sunan Gunung Jati di negeri Tartar, akhirnya, dapat
diketahui oleh kaisar negeri tersebut. Kaisar sendiri mengetahui bahwa sebagian
rakyatnya telah memeluk agama Islam. Dengan kejadian itu, Kaisar bermaksud
hendak mengusir Sunan Gunung Jati dari negerinya, tetapi sebelumnya Kaisar
ingin menguji dahulu sampai sejauh mana ilmu kesaktian Sunan Gunung Jati yang
dikatakan rakyatnya bahwa Sunan Gunung Jati adalah manusia sakti mandraguna.
Kaisar memerintahkan
putrinya yang bernama Nio Ong Tien supaya memasang sebuah bokor kuningan di
atas perutnya untuk mengelabui Sunan Gunung Jati sehing-ga putri tersebut
terlihat seolah-olah sedang mengandung dan dibuat sedemikian rupa agar terlihat
menderita sakit. Selanjutnya, Sunan Gunung Jati dipanggil ke istana oleh Kaisar
dan diantar menuju kaputren tempat putri Nio Ong Tien untuk mengobati putrinya
yang dikatakan sedang sakit. Setelah Sunan Gunung Jati melihat putri Nio Ong
Tien, sebagai insan hatinya terpikat jatuh cinta, begitu juga sebaliknya putri
Nio Ong Tien tertarik dengan ketampanan Sunan Gunung Jati.
Sebenarnya, Sunan Gunung
Jati mengetahui bahwa putri Nio Ong Tien itu tidaklah sakit dan tidak dalam
keadaan mengandung; juga mengetahui yang di atas perut sang putri itu adalah
sebuah bokor kuningan. Kaisar menanyakan kepada Sunan Gunung Jati,
"Kapankah putri kami ini melahirkan?" Dijawab oleh Sunan Gunung Jati,
"Insya Allah, beberapa bulan lagi". Dengan jawaban Sunan Gunung Jati
itu, Kaisar sangat gembira karena tipuannya berhasil dan apa yang dikatakan
rakyatnya bahwa Sunan Gunung Jati itu sakti temyata tidak benar.
Sambil mengejek, Kaisar
mengatakan kepada Sunan Gunung Jati, sesung-guhnya putrinya itu tidaklah
mengandung dan untuk membuktikannya Kaisar membuka ikatan bokor kuningan pada
perut putri Nio Ong Tien. Tetapi, betapa kagetnya Sang Kaisar, dengan kehendak
Allah Swt, sirnahing goro wujuding nyata, bokor kuningan yang terkandung di
perut putrinya menjadi hilang tanpa krana dan putri Nio Ong Tien benar-benar
mengandung.
Melihat kenyataan itu,
Kaisar menjadi maiu dan bingung. Ia hendak minta tolong kepada Sunan Gunung
Jati supaya putrinya kembali seperti sediakala, rasanya tidak suka. Akhirnya,
dengan kemarahannya, Kaisar mengusir Sunan Gunung Jati dari negeri Tartar.
Adapun untuk menghilangkan kandungan putri Nio Ong Tien, Kaisar memanggil kakek
gurunya yang bernama Sam Po Taizin. Namun, kandungan putri tetap tidak pernah
hilang. Kisah di atas berlanjut pada
kisah pemikahan putri Ong Tien dengan Sunan Gunung Jati. Kisah pemikahan ini
hanya ada pada SC dan BTS yang kemudian berkembang di masyarakat—merupakan
lanjutan dari cerita di atas—sebagai berikut:
Suatu hari di daerah
Kajene, ketika Sunan Gunung Jati sedang mengajarkan agama Islam kepada Ki Gede
Luragung dan para gêgêden lainnya, tiba-tiba di daerah tersebut kedatangan
rombongan tamu agung dari negeri Cina yang mengiring seorang putri cantik yang
sedang hamil tua bernama Nio Ong Tien, putri Kaisar negeri Tartar.
Kedatangannya di daerah Kajene bermaksud menemui Sunan Gunung Jati.
Kepada Sunan Gunung Jati,
putri Nio Ong Tien meminta belas kasihan agar bokor kuningan yang terkandung
dan sudah menjadi kandungan di perutnya itu supaya dilepaskan. Juga, ia
mengatakan bahwa kedatangannya di tanah Jawa ini karena merindukan Sunan Gunung
Jati dan dirinya tidak akan kembaJi lagi ke negeri Cina melainkan akan menetap
di pedukuhan Cirebon.
Sunan Gunung Jati dengan
putri Nio Ong Tien sudah saling mencintai semenjak pertemuannya di negeri
Tartar. Maka, dengan kedatangan putri Nio Ong Tien di hadapannya yang bermaksud
minta belas kasihan, Sunan Gunung Jati segera memohon kepada Allah Swt.
Selanjutnya, Sunan Gunung Jati mengusap perut Putri Nio Ong Tien yang didahului
membaca dua kalimat syahadat, akhirnya bokor kuningan yang melekat di badan
putri Nio Ong Tien terlepas dari kandungannya dan dengan sendirinya
kandungannya kempes. Akan tetapi, bokor kuningan yang terkandung di perut Nio
Ong Tien berubah menjadi seorang bayi laki-laki berparas elok kemilau
kekuning-kuningan yang sorotan matanya memancar tajam, kelak bayi tersebut
setelah dewasa menjadi seorang pemimpin di daerah Kejene.
Melihat hal itu, Ki Gede
Luragung meminta kepada Sunan Gunung Jati dan putri Nio Ong Tien supaya bayi
yang terjelma dari bokor kuningan itu diberikan pada dirinya. Ia berjanji akan
merawatnya bagaikan anak sendiri dan mendidiknya dengan ajaran agama Islam.
Kemudian, bayi itu diberi nama Raden Kemuning dan atas persetujuan Sunan Gunung
Jati diberikan kepada Ki Gede Luragung. Selanjutnya, Sunan Gunung Jati beriring
bersama putri Nio Ong Tien bertolak ke pedukuhan Cirebon. Di pedukuhan Cirebon
itu, putri Ong Tien dinikahkan dengan Sunan Gunung Jati dengan upacara
sederhana. Setelah putri Nio Ong Tie-menjadi istri Sunan Gunung Jati, ia
berganti nama dengan gelar Nyi Mas Rara Sumanding. (Wildan; 2013; 221-223)
[21]
Naskah Babad Cirebon yang diedisi olej J.L.A Brandes ditulis tanggal 16 Maret
1877 M, ditulis oleh Murtasiyah di Cicendo, Bandung. Naskah Serat Carub Kandha
tahun 1260 H menurut Konversi Program Komputer Gregorian Converter dari Abel A.
Al Rumaih 1996 -1997 bertepatan dengan 1844 M.