Monday, October 24, 2016

Belajar dari Alam



    Musim hujan yang datang membuat banyak wilayah di Indonesia mendadak waswas. Banjir selalu mengancam seketika juga.Sudah dapat kita tebak, terjadilah banyak peristiwa banjir di berbagai tempat. Mulai dari kawasan pedesaan hingga perkotaan, Pulau Jawa maupun luar tak luput dari singgahan sang banjir. Selain itu juga banjir dan hujan yang cukup deras juga membuat di berbagai daerah terjadi bancana longsor, terutama di daerah yang berbukit dan didiami manusia.
    Banyak korban yang sangat terganggu dan menderita kerugian material dan non material yang tak sedikit. Hal ini seharusnya dapatmenyadarkan kita kembali, bahwa bencana senantiasa mengintai kita. Ada yang bilang Indonesia adalah negeri yang rawan bencana. Betul, mengingat Indonesia dilalui 2 cincin api dari sirkum mediterania maupun sirkum pasifik. Sehingga banyak terdapat gunung berapi di Indonesia yang dengan seketikadapat meningkatkan aktivitasnya. Selain itu, Indonesia juga rawan gempa tektonik akibat letak geologi Indonesia yang merupakan pertemuan tiga lempeng berbeda. Ini yang beberapa kali menyebabkan bencana Tsunami di negeri kita. Tetapi, kita tak boleh hanya bisa mengutuk dan menyalahkan hal tersebut. Ada banyak penyebab yang membuat bencana itu tiba. Gampangnya faktor Manusia dan faktor alam. 
    Mengamati bencana banjir yang banyak terjadi, kebanyakan ialah faktor manusia. Bahkan anomali cuaca juga andil manusia yang sering merusak lingkungan. Sedangkan Gunung Berapi jelaslah merupakan faktor alam. Terjadinya banjir di Jakarta atau bandung baru-baru ini misalnya ialah karena kurang adanya perencanaan tata ruang yang baik dan jelas implementasinya. Banyak kota-kota besar di Indonesia seolah abai dengan tata ruangnya sekian lama. Misalnya, kasus berubahnya peruntukkan lahan resapan menjadi perumahan dan bangunan lainnya. Kota ini berkembang seolah tanpa aturan dan kendali. Contoh mudah ialah banyaknya pemukiman dibangun di sempadan sungai-sungai,dan waduk-waduk ibukota.  Padahal seharusnya pinggiran sungai itu harus bebas bangunan sekian meter. Karena, kalau hujan deras ada kemungkinan bahwa air sungai meluap meluber ke pinggir-pinggirnya, sehingga sangat berbahaya jika didirikan bangunan/tempat tinggal di situ. Apalagi, kebiasaan buruk kebanyakan warga kita yang sudah bermukim secara illegal, juga ikut banyak membuang sampah sembarangan yang jelas membuat pendangkalan sungai serta mampatnya aliran air. Sungai yang semakin dangkal dan mengendaap itu jugalah yang digunakan oleh slum dwellers ini sebagai fondasi mendirikan rumah lebih menjorok ke sungai lagi. Maka tidak usah heran banjir seolah menjadi agenda rutin di ibukota. Ditambah lagi dengan derasnya air hujan, lengkaplah sudah.




    Hal lain juga adalah tidak adanya/kurang baiknya saluran air untuk mengalirkan/menampung air hujan. Ada yang terlalu kecil, ada yang mampat. Kebanyakan dari itu adalah karena gorong-gorong yang kurang besar dan lagi-lagi sampah yang menyumbat aliran air. Sampah ini juga merupakan problem yang amat serius ketika kita bicara banjir. Sampah ini adalah faktor manusia yang tidak peduli dan tidak memiliki kesadaran akan kebersihan.
     Kekurangan lahan hijau juga memperparah banjir yang terjadi di berbagai tempat. Lahan hijau yang minim dan berganti menjadi bangunan beton membuat air sulit untuk terserap ke tanah. Sekali lagi, pengelolaan lahan yang buruk menyebabkan semua ini. Semestinya ketika suatu kota berkembang pesat. Harus segera ada desain dan arah yang jelas ke mana dan seperti apa kota ini ke depannya. Desain itulah yang harus menjadi acuan dan konsep yang harus dipatuhi oleh siapapun yang ingin mendirikan bangunan di kota tersebut. Jadi, ada pembagian, misalnya ini zona perkantoran/ekonomi, zona pemukiman, zona hijau. Desain ini bisa diupdate seiring perubahan kondisi setempat dan berjalannya waktu. Tidak bisa lagi bikin bangunan di mana-mana. Harus sesuai dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) yang telah ada. Pengawasan dari dinas terkait harus dilakukan secara rutin, ketat dan tegas. Jangan ragu pula untuk menindak tegas segala pelanggaran yang ada. Karena kalau dibiarkan, akan semakin ngawur dan melenceng dari desain yang ada. Jadi harus jelas berapa persen lahan untuk penghijauan, berapa persen bangunan. Agar hidup warga kota ini seimbang dan menyehatkan. Kota/daerah yang teratur tentu akan memudahkan pengelolaan dan menghindarkan dari berbagai macam bencana. Ketika mendirikan bangunan pun, harus jelas apa peruntukannya kelak. Menurut saya, agar tidak terjadi lagi keamburadulan pengelolaan tanah dan tata ruang di kota, sebaiknya Dinas Tata Ruang mendesain terlebih dahulu kira-kira daya tampung kota itu, potensi pertumbuhan manusianya bebrapa waktu ke depan, dsb. Lebih baik, apabila jaringan jalan didesain dan direncanakan terlebih dahulu secara komprehensif dan disesuaikan peruntukan bangunan untuk jangka menengah dan panjang. Jadi, meskipun ada lahan kosong mungkin puluhan hektar/ lebih bukan berarti bisa seenaknya membikin bangunan yang banyak. Jalan-jalan utama yang telah didesain seberapa panjang lebar dan lokasinya oleh DCKTR/bappeko setempat harus dipatuhi. Tidak boleh mengubah ketentuan ukuran dan panjang desain jalan yang telah didesain untuk kepentingan lain seperti bangunan yang terlalu banyak/luas. Maksudnya jangan sampai jalan yang direncanakan untuk 3 jalur, menjadi hanya 2 jalur setelah pembangunan itu selesai, karena itu sudah menyalahi desain yang ada. Jadi, pengembang atau siapapun dalam rencana pendirian bangunan dan jalan baru ,misalnya, harus membicarakan dan berdiskusi dahulu dengan DCKTR/bappeda setempat. Tidak boleh ketika, sudah dapat IMB, kemudian bebas mengepras jalan/lahan yang ada. Denah dan rencana pembangunan yang telah diijinkan haruslah sesuai spek ketika pembangunan berlangsung. Jadi, ketika desain jaringan jalan utama yang diperkirakan sudah ada bayangan dan gambaran sperti apa, otomatis bangunan yang akan dibangun/investasi yang akan datang tinggal menempati spot-spot yang ada sesuai peruntukan.
     Tidak bisa lagi seorang mempunyai tanah kosong, langsung membangun semaunya dia. Dilihat dulu di mana lahan itu, dan cocoknya buat apa. Sekarang kan, masih sering ya kita saksikan pokoknya ada tanah kosong, meski sangat memaksa, mereka main sikat jadi ruko, toko, mall, apartemen, rumah dll. Mungkin prinsip mereka “Yang penting bisnis mengepul”, mesti mengakibatkan kemacetan/polusi/dan gangguan lainnya. Tata ruang ini juga memegang peranan penting ketika bencana gunung berapi terjadi. Tidak bisa semua gunung kita samakan. Gunung berapi aktif tentu lebih berbahaya bagi warga sekitarnya, ketimbang gunung yang kurang aktif/mati. Maksud saya harus ada batasan yang jelas berapa jarak minimal sebuah gunung (yang sekiranya aktif) dengan pertanian/pemukiman warga sekitar. Hal ini penting untuk keselamatan warga. Ketika pertanian/perkebunan semakin mendekati gunung berapi yang aktif misalnya, maka akan semakin dekat pula risiko kerugian kesehatan dan keselamatan warganya. Seperti Gunung Sinabung, Merapi, dll yang cukup aktif, semestinya daerah rawan bencana seperti itu lebih baik direlokasi dan dikosongkan dari aktivitas penduduk. Ini tugas pemerintah untuk memberi pengertian sekaligus alternatif pekerjaan yang lebih aman dengan mengurangi risiko kerugian warga. Jadi, kejadian pengungsian, korban tewas, terserang penyakit bisa semakin dikurangi . Yakni dengan menjauhkan pemukiman/lahan garapan yang terlampau membahayakan bagi warga. Selain itu daerah dataran tinggi seperti pegunungan/perbukitan biasanya merupakan daerah hulu dari sungai, yang harus dijaga keaslian dan kehijauannya sebagai lahan resapan. Jika banyak hutan dihilangkan/berubah fungsi tentu, potensi banjir dan longsor senantiasa menghantui warga sekitar maupun warga yang menghuni daerah hilir. Contohnya balik lagi seperti kasus banjir di Jakarta yang kompleks. Salah satu sebab dahsyatnya banjir itu adalah, rusaknya wilayah hulu di kawasan Bogor. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa Bogor adalah salah satu daerah wisata yang begitu digemari warga Jakarta dan sekitarnya. Sayangnya hal tersebut membuat lingkungan wilayah hulu seperti Puncak, dll menjadi rusak. Lahan yang semestinya hutan hijau berubah menjadi villa mewah, rumah makan dan lahan pertanian. Ya, tak heran lah, air mengalir makin kencang, karena berkurang drastisnya pepohonan yang menyangga dan menyerap air ketika hujan turun. Inilah pula yang mengakibatkan longsor. Upaya untuk mengembalikan fungsi lahan yang sesuai sudah dimulai, saya hargai pembongkaran villa-villa liar oleh Pemerintah Bogor dan pembersihan sempadan waduk di DKI, atau yang lebih hangat kasus banjir Bandang Garut (Selasa 20 September 2016) lalu  menurut Wahli Jawa Barat ada 4 indikasi penyebab, diantaranya adalah :
  1. Aliran Air dari 35 Anak Sungai Yang Semuanya Bermuara di DAS Cimanuk Hulu dari 11 Kecamatan, 6 Gunung (Mandala Giri, Papandayan, Drajat, Cikuray, Cikaracak dan Guntur)
  2.  Keberadaan Bendungan Copong Yang Memperlambat Aliran Sungai Cimanuk, Perbedaan Ketinggian Bendungan Copong dengan Wilayah Di Atasnya Yang Terkena Dampak Banjir Hanya Sekitar 6 Meter
  3. Kondisi Hutan Yang Menyusut Oleh Penebangan, Pertanian, Bisnis Wisata dan Pertambangan
  4. Alih Fungsi Lahan Resapan Air di Wilayah Perkotaan Yang Semakin Masif/Tidak Terkendali, Wilayah Perkotaan Garut Belum Memiliki RDTRK.
Meski, harus diakui upaya baik seperti ini cukup terlambat dieksekusi. Upaya seperti ini harus lebih ditingkatkan lagi kuantitasnya. Maka belajar dari peristiwa-peristiwa bencana yang melanda negeri ini, kita yang tidak menjadi korban bencana sudah sepatutnya bersyukur atas kemurahanNya. Meski begitu kejadian ini sudah semestinya membuat kita semua lebih mawas diri lagi. Apa yang telah kita perbuat, apa yang harusnya kita lakukan, apa antisipasi kelak agar tak terulang lagi. Jangan sampai peristiwa-peristiwa ini hanya menjadi kesedihan sesaat kita ketika menyaksikannya dan ketika sudah lewat kita kembali santai. Jangan lantas berpuas diri saja dengan membantu dan menyelamatkan korban pada saat sudah terjadi bencana.
Upaya penanganan dan perbaikan harus selalu dikerjakan, tidak usah menunggu korban lagi. Warga masyarakat pun sebaiknya mau sadar dan merubah perilaku buruk mereka, karena ini juga kesalahan kita bersama. Sinergi Antara pemerintah dan rakyat harus terjalin erat dan mesra. Warga juga tidak boleh hanya mengeluh dan menuntut, tetapi juga harus mau nurut dan patuh pada pemerintah, karena itu dilakukan semata-mata demi kebaikan mereka. Sebaliknya pula, pemerintah juga harus selalu bekerja keras dan total untuk keselamatan rakyatnya. Tidak usah lagi saling jegal-menjegal, tarik ulur kepentingan yang bernuansa politik. Sebaiknya wakil rakyat dan elit politik juga lebih saling melancarkan dan mempermudah pembangunan/penanganan agar tidak terjadi bencana lagi. Bukan saatnya lagi, saling menyalahkan, lempar tanggung jawab dan memanfaatkan situasi yang buruk ini. Warga sudah muak akan hal-hal semacam itu. Terakhir pelajaran penting bagi kita, tuk lebih memberi perhatian serius dan peduli dengan tata ruang dan lingkungan yang ada. Ini juga PR besar pemerintah. Karena tata ruang yang salah sangat berpotensi menimbulkan bencana ekologi.

sumber :  dari berbagai sumber
https://img.okezone.com/content/2015/02/09/338/1103455/93-wilayah-di-ibu-kota-terendam-banjir-Ujw7cDUDp7.jpg
http://indowarta.com/wp-content/uploads/2016/09/Tanah-Longsor.jpg
http://assets.kompas.com/data/photo/2016/09/22/0845049012-fot011ab44780x390.JPG
https://cdn.tmpo.co/data/2016/10/24/id_550092/550092_620.jpg
https://www.facebook.com/walhi.jabar

No comments:

Post a Comment