CIREBON SEBELUM DAN
SETELAH DATANGNYA AGAMA ISLAM
Oleh: Drs. RA. Opan Safari Hasyim,
M.Hum
A. Kehidupan Sosial
Ekonomi Masyarakat Cirebon Sebelum dan Setelah Datangnya Agama Islam
Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai kehidupan
sosial Ekonomi masyarakat Cirebon pada masa Islam, tidak ada salahnya jika kita
sedikit mengulas mengenai latar belakang kehidupan sosial ekonomi masyarakat
Cirebon pada masa Hindu dan masa transisi menjelang datangnya Islam. Bahasan
ini cukup menarik sebab kebijakan-kebijakan social ekonomi Cirebon pada masa
Islam tidak bisa dilepaskan begitu saja, karena memiliki keterkaitan yang tidak
bisa dipisahkan.
Dalam
naskah Negara Kretabhumi sargah I parwa I
disebutkan bahwa, “Sejak tahun 80 saka hingga 230 saka, sangatlah banyak
kelompok pendatang yang menumpang berbagai perahu dari negeri Bharata dan Bhenggali yang bermukim di Nusantara. Di antara mereka yang berasal
dari negeri Bharata terdapat Resi Waisnawa,
mereka mengajarkan agamanya kepada penghulu masyarakat, tempat mereka bermukim,
khususnya di Jawa Barat. Sedangkan Resi
Syaiwa banyak yang bermukim di Jawa
Timur.” Di antara penganut agama Hindu sekte pemuja Batara Wisnu tersebut
adalah Resi Sentanu Murti yang bermukim di Desa Krandon kecamatan Talun. Wilayah Kecamatan
Talun adalah daerah yang dialiri tiga hulu sungai yaitu sungai Grampak yang
mengalir dari desa Sarwadadi menuju ke desa Sampiran, kemudian sungai Suba yang
mengalir dari desa Patapan menuju Sampiran serta
yang terakhir adalah sungai Cirebon Girang yang mengalir dari desa Cirebon
Girang juga menuju ke Sampiran. Di Desa Sampiran itulah ketiga hulu sungai
tersebut bertemu menjadi satu, yang diberi nama oleh Resi Sentanu dengan nama Gangganadi.
Sungai
Gangga atau di sebut juga Silu Gangga, memberikan berkah yang cukup
besar bagi masyarakat yang hidup dari hasil bumi. Sungai Gangga mengalir dari
wilayah Cirebon Girang (Cirebon dataran tinggi) sampai ke wilayah Cirebon
Larang (Cirebon pesisir). Dari hulu hingga ke muara sungai Gangga di kampung
Kesunean panjangnya sekitar dua puluh lima kilometer (± 25 km). Sekitar radius
lima belas kilometer (± 15 km) dari hulu dibangunlah sebuah telaga untuk
menampung air dari sungai gangga yang disebut Situ Gangga. Situ Gangga dapat mengaliri sawah-sawah
petani yang berada lebih jauh dari jangkauan sungai Gangga.
Selain
berfungsi sebagai irigasi pertanian, sungai Gangga juga menjadi transportasi
utama menuju ke pedalaman. Lalu lintas utama yang menghubungkan kerajaan Indraprahasta yang didirikan oleh Resi Sentanu,
dengan kerajaan Manca menggunakan
jalur ini.
Besarnya
peran sungai Gangga dalam menopang kehidupan masyarakat Indraprahasta pada waktu itu, menjadikan sunggai ini dikeramatkan.
Setiap setahun sekali warga Cirebon pada saat itu melakukan upacara pensucian diri
di sungai Gangga. Dalam naskah yang ditulis oleh P. Wangsakerta, upacara
tersebut disebut Matirta medha atau
di sungai Gangga India sendiri disebut upacara Mahakumba. Upacara Matirta
medha ini dilaksanakan setiap Rebo Wekasan
bulan Suro (Rabu terakhir di bulan Suro). Ketika Sunan Drajat membantu syiar Islam
di Cirebon upacara ini disebut upacara Ngirab
(menghilangkan hadats yang menempel pada tubuh). Sunan Drajat tidak melarang
upacara ini, tetapi menyelipkan ajaran Islam dalam upacara Ngirab. Yaitu dengan mengawali upacara Ngirab dengan niat cara Islam dan menutupnya dengan wudlu.
Pentingnya
sungai Gangga yang berfungsi sebagai sarana pencucian diri juga diberitakan
dalam PPRBN.4.1;219/220, “Banyaknya orang yang mandi di sungai Gangga untuk
menghilangkan dosa seluruh perbuatan selama hidup, hal ini seperti yang
dilakukan di negeri Bharata yaitu
mengikuti adat kebiasaan di negeri asal maharaja Punawarman.” Sebagai maharaja
yang memerintah Tarumanegara yang merupakan kerajaan pelindung Indraprahasta,
maharaja Purnawarman menganggap penting keberadaan sungai Gangga tersebut,
sehingga pada hari kedua belas paro gelap bulan margasirah sampai dengan hari
kelima belas bulan posya tahun 332 tarikh Saka (410 M). Keberadaan sungai
Gangga perlu diperkokoh dan diperindah. Untuk kepentingan upacara tersebut, maharaja
Purnawarman memberi hadiah 500 ekor sapi, pakaian-pakaian, 20 ekor kuda dan
seekor gajah kepada raja Indraprahasta.
Setelah
maharaja Purnawarman mangkat, tahtanya dilanjutkan oleh putranya Wisnuwarman, tetapi
terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh adik maharaja Purnawarman,
Cakrawarman. Namun pemberontakan tersebut dapat ditumpas oleh raja
Indraprahasta yang bernama Wiryabanyu. Sehingga kedudukan Indraprahasta dengan
sungai Gangganya menjadi semakin penting di mata kerajaan Tarumanegara.
Berbeda
dengan di kawasan sebelah selatan Cirebon,
di bagian utara wilayah Cirebon (sekarang masuk ke dalam Kecamatan
Kapetakan), masyarakatnya sebagian besar hidup dengan mata pencaharian sebagai
nelayan. Sebelum mengalami pendangkalan,
wilayah yang menjadi bagian dari kerajaan Singaphura ini memiliki tiga aliran
sungai besar yang dapat dilalui oleh perahu-perahu sampai ke wilayah pedalaman.
Sungai-sungai tersebut adalah Kali Bondet,
Bengawan Celancang, dan Kali Kapethakan. Dari sungai Bondet,
perahu dapat masuk hingga ke daerah Cangkring.
Adapun Bengawan Celancang dapat
dilayari perahu hingga sampai ke daerah Jamblang.
Namun sungai yang bermuara di Desa Muara tersebut mengalami pendangkalan hebat,sejak perintah kolonial mengalihkan saluran dari
sungai jamlang ke Bondet. Sehingga sekarang
lebarnya hanya kurang lebih dua meter saja.Sementara
peran sungai Bondet berangsur-angsur menggantikan peran Bengawan Celangcang.sehingga
masyarakat ada yang menyebutnya dengan nama Bengawan Ciliru. Di bagian paling utara dari wilayah kerajaan Singhapura
ini mengalir sungai Kapethakan. Sungai Kapethakan dapat dilayari perahu hingga
sampai daerah Ciwaringin. Selain memiliki mata pencaharian sebagai nelayan,
warga Singhapura juga banyak yang berprofesi sebagai pedagang. Sebab Singhapura
merupakan wilayah terdepan di antara kerajaan-kerajaan kecil yang ada di
Cirebon pada masa Hindu. Singhapura
berarti gerbang keluar masuknya komoditi perdagangan dari Manca (luar negeri) ke seluruh wilayah Cirebon. Sesuai dengan nama
kerajaannya singha berarti depan,
sedangkan pura berarti kerajaan.
Singhapura adalah kerajaan yang berada di depan atau terletak di bibir pantai
utara laut Cirebon.
Kerajaan
Singhapura memiliki pusat pemerintahan di Mertasingha. Dalam Purana kata amrita[1]
berarti air kehidupan. Sebagai sebuah wilayah maritim, masyarakat Singhapura
sangat akrab dengan segala hal yang berkaitan dengan air. Di kawasan ini,
terutama di daerah Kecamatan Kapetakan banyak dibangun telaga. Telaga yang
sampai sekarang masih dapat kita saksikan adalah telaga Jabir (di Karangkendal) dan
telaga Jayasena. Berbeda dengan di wilayah lainnya, telaga di sini selain
berfungsi sebagai cadangan air minum dan mandi juga berfungsi sebagai tempat
penyimpanan air untuk upacara-upacara ritual. Upacara-upacara ritual yang
dimaksud adalah upacara Nujubulan.
Pada waktu Islam masuk ke Cirebon, telaga-telaga warisan zaman Hindu ini tetap
dipertahankan. Untuk telaga yang sudah mengalami pendangkalan diganti dengan
membangun telaga yang baru yang lebih luas. Telaga yang dibangun pada masa
Islam disebut balong dalem atau balong kraton. Pada masa
kolonialisme Belanda juga kebijakan terhadap sistem pengairan seperti ini tetap
dipertahankan. Pihak pemerintah kolonial membangun water resource dengan
nama balong negara.
Menurut
Ki Akim, sesepuh dari Desa Dukuh, masyarakat dari wilayah Kecamatan Kapetakan
sampai sekarang masih mengkeramatkan telaga tersebut. Bentuk penghormatan
masyarakat terhadap telaga itu berupa ngunjung
atau diadakan pagelaran wayang kulit siang malam, setahun sekali. Memberikan
sesajen atau suguhan pada saat-saat tertentu. Air yang diambil dari tempat
tersebut dianggap memiliki kekuatan tertentu (tuah).
Tradisi-tradisi
yang melekat dalam kehidupan sosial masyarakat di wilayah Cirebon bagian utara
ini semakin menguatkan pernyataan Pangeran Wangsakerta yang tercatat dalam teks
Negarakretabhumi sargah I, parwa I, bahwa
masyarakat di Jawa bagian kulon merupakan penganut Hindu sekte Waisnawa.
Kerajaan
Singhapura mengalami puncak kejayaan pada masa pemerintahan Ki Jumajan Jati
atau dikenal dengan Ki Ageng Tapa. Pada tahun 1401, berdasarkan catatan sejarah
yang ditulis oleh P. Arya Carbon Raja Giyanti, pelabuhan Muara Jati mendapat
kunjungan armada besar dari China yang dipimpin oleh Cheng Hwa.
Selama
berada di Pesambangan Jati, Cheng Hwa menyarankan agar pelabuhan Muara Jati
harus dilengkapi dengan Prasada Hing Tunggang
Prawata (Mercusuar). Ki Ageng Tapa
pun menyetujui usulan ini. Maka dibangunlah menara api tersebut di atas bukit
Amparan Jati. Selain melakukan alih
teknologi, di pasar Pesambangan Jati juga terjadi transaksi antara penduduk
lokal dengan pendatang dari tiongkok ini. Komoditi andalan Cirebon yang berupa
garam, terasi, kayu jati, beras tuton.[2]dan grabadan(rempah-rempah)
Ditukar dengan komoditi dari China yang berupa bahan pakaian, guci, tembikar
dan barang pecah belah lainnya.
Sejak
didirikannya menara di atas bukit amparan jati, makin ramailah kunjungan kapal
dagang asing dari mancanegara ke pelabuhan Cirebon. Siang dan malam banyak
kapal-kapal dagang yang membongkar muatannya. Namun ada juga yang sekedar
transit untuk mengisi air tawar atau singgah untuk memperbaiki kerusakan
kapalnya di galangan kapal Cirebon. Sebab pada saat itu, Cirebon juga dikenal
memiliki stok persediaan kayu jati yang memadai.
Setelah Ki Ageng Tapa wafat, Pangeran Cakrabuana tidak
mau melanjutkan menjadi raja Singhapura menggantikan kakeknya, namun beliau
membawa seluruh harta warisannya untuk membangun keraton Pakungwati. Pangeran
Cakrabuana juga tetap melanjutkan kebijakan-kebijakan yang telah dirintis
kakeknya ketika menjadi raja Singhapura. Salah satu kebijakan yang tetap
dipertahankan adalah kebijakan ekonomi yang memprioritaskan Cirebon sebagai
nagari perdagangan. Potensi pelabuhan Muara Jati tetap dijadikan gerbang utama
untuk keluar masuknya komoditi perdagangan. Beras tuton, garam, terasi, tetap
menjadi produk unggulan yang diprioritaskan. Bahkan untuk garam dan terasi
udang Cirebon sangat terkenal di wilayah kerajaan Galuh dan Sunda Pajajaran.
Garam dan terasi juga merupakan komoditi yang menjadi syarat ikatan antara
kerajaan Cirebon dengan kerajaan pelindungnya Pajajaran. Setiap tahun, Pangeran
Cakrabuana selalu mengirimkan upeti berupa garam dan terasi (angaturaken uyah
lan trasi, mring Maharaja Sakti Pajajaran Pakuan Nagari).
Selain melanjutkan kebijakan pendahulunya yang
mempertahankan pelabuhan Muara Jati sebagai golden
gate-nya komoditi pertanian dan hasil maritim Cirebon, Pangeran Cakrabuana
juga mengembangkan produk kerajinan. Produk kerajinan yang dikembangkan
Pangeran Cakrabuana adalah kerajinan anyaman bambu, rotan, serat gebang dan
gethak (gerabah). Menurut penuturan Nuryadin (alm.) kerajinan gerabah yang ada
di Desa Sitiwinangun sudah ada sebelum kerajaan Cirebon berdiri, tetapi
keberadaannya masih sangat terbatas. Produk-produk yang dihasilkannya juga
masih berupa barang-barang untuk kebutuhan rumah tangga. Bonzan Edi juga
membenarkan bahwa produksi kerajinan gerabah di Sitiwinangun ini sudah ada
sejak jaman Hindu. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya gerabah jenis buyung
(tempat mengambil air)[3]
yang menggunakan pewarna poles hitam.
Atas potensi yang dimiliki oleh penduduk Desa
Sitiwinangun tersebut, Pangeran Cakrabuana membantu memberikan masukan agar
kwalitas dan diversifikasi produk yang ada di Sitiwinangun dapat ditingkatkan.
Pengrajin-pengrajin desa tersebut cukup pandai sehingga mampu mengikuti
bimbingan yang telah diberikan oleh Pangeran Cakrabuana dengan baik. Konon
hasil gerabah yang dibuat pengrajin Desa Sitiwinangun sangat hebat sehingga
tidak pecah jika dibanting. Kemudian, dengan penuh rasa bangga, mereka
mempersembahkan karyanya kepada Buyut Kebagusan (nama populer Pangeran
Cakrabuana di Desa Sitiwinangun), tetapi alangkah kagetnya ketika gerabah yang
kwalitasnya sudah bagus tadi, kemudian dibanting oleh Ki Buyut Kebagusan hingga
pecah berkeping-keping. Dengan rasa heran para pengrajin bertanya, “Mengapa
mbah Buyut bersikap seperti itu?”. Kemudian dengan sangat bijak mbah Buyut
Kebagusan menjawab,”Kalau kwalitas gerabah yang dihasilkan sebagus ini, nanti anak
cucu kamu tidak bisa makan”. Kemudian mbah Buyut Kebagusan juga menyarankan
kepada pengrajin agar lebih kreatif lagi. Diantaranya produk baru yang dibuat
oleh pengrajin Sitiwinangun yang disesuaikan dengan perkembangan Islam pada
saat itu adalah Padasan (tempat
berwudlu). Mbesuk anak putunira bli bakal
ora bisa mangan, yen bisa ngolah tempat iki. Ki kebone, ki lemae (tegalan), lan
iki banyue (sungai). Artinya nanti anak cucu kamu tidak akan kelaparan
kalau bisa mengolah tempat ini. Ini kebunnya, ini tanahnya dan ini airnya.Maksud
dari wasiat Buyut Kebagusan ini adalah ; ini kebunya artinya,di kebun terdapat
daun-daun kering yang bisa dimanfaatkan untuk proses pembakaran dan pelapis
gerabah (sponge atau busa),supaya aman ketika dibawa.Adapun tanah yang diambil
dari tegalan,merupakan bahan utama untuk membuat gerabah.Sedangkan air adalah
bahan pendukung yang penting untuk pengolahan tanah.
Dari ilustrasi yang diceritakan secara turun temurun
oleh penduduk Sitiwinangun tersebut, ada tiga langkah yang diambil oleh Buyut
Kebagusan atau Pangeran Cakrabuana dalam rangka memberdayakan masyarakat
Sitiwinagun. Pertama, meningkatkan kwalitas dan diversifikasi produk gerabah.
Kedua, berfikir ekonomis. Ketiga, memanfaatkan potensi sumber daya alam yang
dimiliki Desa Sitiwinangun.
Pelatihan yang diberikan Pangeran Cakrabuana dalam
memeberdayakan ekonomi masyarakat Cirebon juga dilakukan di Desa Junti kebon
Kecamatan Junti Kabupaten Indramayu. Di Kecamatan Junti dulu dikenal dengan
adanya kerajinan tenun (kotrek) dari bahan
serat gebang. Serat gebang adalah bahan yang dipakai untuk membuat alat-alat
penangkap ikan, seperti jaring, sudu kuyem,
dan sejenisnya. Tenunan dari serat gebang juga dipakai untuk membuat waring atau baju. Sampai saat ini
penduduk Desa di Kecamatan Junti ini masih meyakini bbahwa pembuatan alat-alat
penangkap ikan dan klambi waring ini
(baju waring) merupakan warisan dari Mbah Kuwu Cerbon.
Pada tahun 1482 masehi Pangeran Cakrabuana menobatkan
Syeikh syarif Hidayatullah sebagai raja pertama Cirebon. Di saat yang bersamaan
juga Dewan Walisongo (Nawakamasthu)
yang dipimpin oleh Sunan Ampel Denta melantik Syeikh Syarif Hidayatullah
sebagai Sunan Carbon Sinarat Sundha.
Penobatan tersebut ditandai dengan gelar yang diberikan kepada Syeikh Syarif
Hidayatullah sebagai “Ingkang Sinuhun
Kanjeng Susuhunan Jati Purwabawisesa Panetep Penatagama Aulia Allahu Ta’ala
Kutubil Jaman, Kholifatu Rosulillahi Sholollahu Alaihi Wasalam”.(sejarah
rante kraton Kaprabonan).Dengan gelar tersebut, Syeikh Syarif Hidayatullah yang
kemudian lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati memiliki otoritas penuh
sebagai pemimpin negara dan pemimpin agama di wilayah tatar sundha (Raja Ingkang
Pinandhita).
Langkah
politik pertama yang dilaksanakan oleh Sunan Gunung Jati adalah membenahi
kebijkana ekonomi yang sangat berpengaruh terhadap dinamika politik di wilayang
tatar sunda pada saat itu. Dengan
tegas Sunan Gunung Jati menghentikan pengiriman upeti (bulu bekti) yang berupa
garam dan terasi kepada Pajajaran. Tentu saja langkah ini mendapatkan reaksi
yang sangat hebat dari Pajajaran, tetapi Sunan Gunung Jati telah
memperhitungkan dengan matang. Kesiagaan armada laut dan angkatan darat Demak
yang berada di Cirebon sudah dipersiapkan untuk mengantisipasi keadaan. Setelah
lolos dari ujian menghadapi reaksi Pajajaran, Sunan Gunung Jati memiliki
kedaulatan penuh dalam menjalankan pemerintahan. Seluruh kebijakan
pemerintahan, baik politik maupun ekonomi dijalankan dengan spirit Islam.
Aturan bulu bekti atau pajak yang telah dijalankan secara sentralistik
dihapuskan dan diganti dengan pola atur
bekti. Atur bekti adalah anjuran menyisihkan sebagian dari harta yang
dimilikinya untuk diserahkan kepada pemerintah dengan tata cara Islam dan
dilakukan dengan cara sukarela tanpa paksaan. Bentuk atur bekti kepada pemerintah bisa berupa zakat, infaq dan sodaqoh.
Sunan Gunung Jati juga mewajibkan membayar zakat, infaq dan sodaqoh kepada
seluruh anggota keluarga dan keturunannya. Wangsit
Sunan Gunung Jati agar keluarga dan keturunannya melaksankan zakat, infaq dan
sodaqoh sampai sekarang masih diingat, yaitu “ingsun titip tajug lan fakir
miskin”.
Dengan pola pembangunan yang berkesinambungan, mulai
sejak dirintis oleh Ki Ageng Tapa, Pangeran Cakrabuana sampai pada pemerintahan
Sunan Gunung Jati, Cirebon mencapai kehidupan yang makmur seperti yang
dilukiskan dalam teks Purwaka Caruban
Nagari: Ike Caruban hana ta sawijine nagari kerthhaning pribumi, ri huwus mwang
sinanggurit sapurana, tatkala nagari gung ike ng’siwi susuhunan jati
purbawisesa, yeka salatunggal sang kamasthu ing jawadwipa. (Bahwa negara
Cirebon adalah suatu negara yang penduduknya makmur seperti yang sudah
diceritakan, ketika negara itu diperintah oleh Susuhunan Jati Purbawisesa,
yaitu salah seorang wali di pulau Jawa). (Dasuki, H.A., 1978;2).
Dari masa transisi Hindu ke Islam hingga Cirebon
menjadi pusat kekuasaan Islam, pelabuhan merupakan prioritas utama dalam
perputaran roda ekonomi Cirebon. Sunan Gunung Jati mewarisi tiga pelabuhan
penting dari pendahulunya, tiga pelabuhan penting tersebut adalah pelabuhan Muara Jati (di timur komplek makam Sunan
Gunung Jati sekarang) sebagai pelabuhan besar di pesisir utara pulau Jawa Barat
saat itu, dan pelabuhan Caruban (pelabuhan Cirebon sekarang), serta pelabuhan
berukuran sedang di Japura. (Sunardjo, 1983;2). Melihat topografi dan toponimi Cirebon
saat ini kemungkinan lokasi pelabuhan Muara Jati tersebut terletak diantara dua
aliran sungai besar, yaitu sungai Bondet dan bengawan Celancang. Namun kondisi
bengawan Celancang mengalami pendangkalan hebat, sehingga lebar dari bengawan
tersebut hanya kurang dari tiga meter saja. Namun demikian, penduduk yang
tinggal di wilayah itu masih ingat bahwa dahulunya sungai tersebut berukuran
sangat lebar, sehingga bisa disinggahi perahu dan kapal-kapal kecil sampai ke
pedalaman. Nama Celancang sendiri secara etimologis berasal dari kata cangcang yang berarti tempat penambatan
perahu. Begitu pula dengan nama dusunnya sampai sekarang disebut blok pabean.
Selain dialiri dua sungai besar, pelabuhan Muara Jati ada sebuah kanal yang
disebut kali Condong. Kali Condong dapat dilayari oleh perahu-perahu kecil hingga
sampai ke pedalaman Pesambangan (sampai ke desa Babadan) kemungkinan dibuatnya
terusan ini merupakan antisipasi akibat pendangkalan bengawan Celancang. Adapun
lokasi pelabuhan Caruban sekarang, terletak di sekitar pelabuhan Cirebon
sekarang. Diantara lokasi pelabuhan Caruban ada dua sungai yang tidak memiliki
hulu (kanal), yaitu sungai Cipadu dan Sukalila. Sungai Cipadu atau kali Cipadu
kemungkinan dibangun untuk membuka akses dari Keraton Pakungwati ke pelabuhan,
sedangkan sungai Sukalila yang dalam babad Cirebon sering diceritakan,
merupakan terusan (kanal) yang sengaja dibuat agar perahu-perahu kecil bisa
masuk ke pedalaman. Dalam naskah-naskah babad, kanal Sukalila sering
diceritakan. Konon kanal tersebut telah ada sejaka jaman Sunan Gunung Jati. Nama
Sukalila juga diberikan berdasarkan toponimi dari tempat tersebut, yaitu ketika
dipotongnya rambut Syeikh Magelung Sakti dengan sukarela (suka-lillah) oleh Sunan Gunung Jati dengan menggunakan dua jari
tangan. Kehebatan Sunan Gunung Jati dalam memotong rambut Syeikh Magelung sakti
dianalogikan dengan istilah karanggetas.
Jangankan hanya memotong rambut, batu karang yang sangat keras juga akan dengan
mudah dipotong hanya dengan menggunakan dua jari tangan Sunan Gunung Jati.
Berbeda dengan cerita lisan dan naskah babad, Pangeran
Wangsakerta dalam naskah Negarakertabhumi sargah
3 parwa 1 menceritakan bahwa
Karanggetas adalah daerah yang tanahnya labil. Pedati, kereta, atau kendaraan
lainnya sering terperosok di daerah Karanggetas. Labilnya tanah di wilayah
Karanggetas terkait dengan aktifitas pelabuhan dan cuaca ketika musim hujan.
Mungkin pada abad ke-17 letak Karanggetas dengan laut tidak sejauh sekarang
sehingga ketika musim hujan dan air laut pasang (rob), airnya masuk sampai ke
daratan sehingga kondisi tanah menjadi labil.
Dibangunnya dua kanal di sekitar wilayah Caruban pada
masa Sunan Gunung Jati membuktikan telah ramainya aktifitas perekonomian
Cirebon, khususnya di wilayah pelabuhan yang menjadi main gate keluar masuknya komoditi yang ada di Cirebon dengan
komoditi luar. Adapun sungai yang bisa dilayari perahu sampai ke pedalaman di
sekitar wilayah pelabuhan Caruban adalah sungai Gangga atau sungai Kriyan dan
sungai Kedungpane. Akan tetapi, sungai Kedungpane tidak bisa dilayari terlalu
jauh.
Kondisi pelabuhan Japura merupakan pelabuhan sedang,
tidak seramai pelabuhan Caruban dan pelabuhan Muara Jati walaupun di wilayah
ini, di sekitar Kecamatan Astanajapura ada tiga sungai besar yang bisa dilayari
perahu sampai ke pedalaman. Sungai-sungai tersebut adalah sungai Kalibangka,
sungai Pengarengan, dan sungai Waru Duwur. Kemungkinan besar wilayah pelabuhan
Japura lebih dikhususkan untuk pelabuhan ikan.
Analisis ini juga didukung oleh pendapat Susanto Zuhdi
bahwa asal-usul Cirebon dapat dijelaskan dari perkembangan abad ke-15 dan ke-16
sebuah negeri Cirebon dari suatu lokalitas tertentu bernama Lemahwungkuk menuju
kota bandar yang menggerakkan aktifitas perdagangan ke luar daerah (antar pulau
dan antar benua) melalui modal pelayaran laut, Cirebon juga dapat dikenal
melalui perekembangan keagamaan yang merupakan pusat penyebaran agama Islam,
dengan tokohnya Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati. Dengan kata lain Cirebon
memenuhi syarat sebagai bandar yang berperan dalam berbagai fungsi ekonomi,
sosial, budaya dan politik. (Zuhdi, 1996;259-260).
Perekembangan pelabuhan Cirebon sebagai bandar dagang
makin populer di mancanegara. Setiap hari selalu saja didatangi oleh
kapal-kapal dagang asing yang singgah di pelabuhan Muara Jati, pelabuhan
Caruban ataupun pelabuhan Japura. Pesona pelabuhan Cirebon tidak hanya
mengundang pedagang-pedagang asing untuk berniaga di Cirebon, tetapi juga
memicu niat jahat para perompak yang mengganggu jalur perniagaan ini. Mungkin
bukan suatu kebetulan ketika kapal yang dibajak oleh bajak laut disekitar
perairan Gebang adalah kapal yang ditumpangi oleh Pangeran Gung Anom, putera
Sunan Gunung Jati yang sedang dipersiapkaan sebagai suksesor untuk melanjutkan
estapet pemerintahan Cirebon. Pangeran Gung Anom atau Pangeran Bratakelana
bertempur dengan gigih melawan para perompak ini sebelum akhirnya dibokong
dengan tombak dari belakang.
Gugurnya Pangeran Bratakelana di perairan sekitar
pelabuhan Cirebon, membuat hati Sunan Gunung Jati gundah.Peningkatan
kewaspadaan terhadap keamanan laut Cirebon tidak bisa disepelekan lagi. Ki
Ageng Bungko yang menjadi Senopati
Sarwajala[4]
Cirebon, mencoba membesarkan hati Sunan Gunung Jati. Dia berjanji akan
menumpas habis seluruh bajak laut yang telah mengganggu gerbang perekonomian
Cirebon. Inisiatif Ki Ageng Bungko didukung oleh adipati keling sebagai kepala
pasukan bhayangkara[5]
yang juga memiliki kemampuan pertempuran bahari. Pangeran Carbon sebagai
senopati Yudhanegara[6]
juga mendukung rencana ini. Akhirnya, Sunan Gunung Jati segera memerintahkan
pasukan untuk menumpas bajak laut ini dengan menyerang pangkalannya, pasukan
Carbon yang berkekuatan 2.700 orang dipimpin oleh Dipati Keling, Pangeran
Carbon (Putra Pangeran Cakrabuana, kakak sepupu Susuhunan) dan Ki Gedeng
Bungko. (Sunardjo, 1983;68-69).
Kemudian bajak laut yang beroperasi di pantai timur
Cirebon dapat ditumpas habis oleh pasukan Cirebon. Jenazah Pangeran Bratakelana
kemudian dikebumikan di Desa Mundu[7] untuk
mengenang peristiwa tersebut Pangeran Bratakelana diberi gelar Anumerta dengan sebutan Pangeran Seda Ing Lautan.
Tragedi gugurnya Pangeran Bratakelana di wilayah
perairan Gebang, menorehkan luka yang sangat mendalam di hati Sunan Gunung
Jati. Atas kejadian tersebut Sunan Gunung Jati sempat menyampaikan ipat-ipat / petatah-petitih (peringatan) kepada keturunannya,”Wis mulai sekien sira kabeh aja pada
lelayaran”. (Sudah mulai dari sekarang kamu semua jangan ada yang pergi
berlayar). Sebagian besar warga keturunan keraton sampai sekarang masih
menganggap ipat-ipat Sunan Gunung
Jati tersebut sebagai bentuk larangan untuk pergi lewat jalur laut atau bahkan
secara lebih luas diartikan sebagai bentuk kemunduran dari penguasaan negara
Cirebon terhadap wilayah perairan. Padahal ipat-ipat
atau wasiat Sunan Gunung Jati itu merupakan bentuk warning kepada warga Cirebon
agar selalu meningkatkan kewaspadaan baik di laut maupun di darat. Sebab
ancaman terhadap stabilitas perekonomian Cirebon dapat terjadi kapan saja dan
di mana saja. Atau bisa saja sebetulnya wasiat Sunan Gunung Jati masih ada
kelanjutannya atau memiliki makna bersayap (ameleoratif).
Bisa saja kalimat tersebut lengkapnya berbunyi seperti ini,”Wis
mulai sakien sira kabeh aja pada lelayaran, yen durung mampu.” Karena dalam
kondisi duka cita anak kalimat “yen
durung mampu” tidak terdengar. Yang terdengar hanya bunyi induk kalimatnya
“Wis mulai sakien sira kabeh aja pada
lelayaran.”
R.A. Unang Sunarjo sendiri berpendapat bahwa
“Peristiwa ini (gugurnya Pangeran Bratakelana) benar-benar merupakan peringatan
bagi para pemimpin laskar Cirebon untuk lebih meningkatkan kewaspadaan baik di
laut maupun di darat karena sewaktu-waktu gangguan keamanan dari bajak laut ini
kalau tidak dihancurkan tuntas akan terjadi lagi dan dapat menyerang
perahu-perahu dagang yang akan singgah di pesisir Carbon atau di pelabuhan
Muara Jati, sehingga mungkin saja akan menjadikan hambatan besar bagi ramainya
perdagangan melalui pelabuhan dan hambatan bagi kontak Cirebon dengan Demak,
Ampel dan Banten yang sudah terjalin baik sekali.” (Sunardjo, 1983;69).
Sebetulnya
penurunan kwalitas terhadap pengendalian wilayah perairan Cirebon tidak terjadi
pada masa pemerintahan Gunung Jati, walaupun pasca kematian pangeran Gung anom,
beliau sempat mengeluarkan ipat- Ipat untuk melarang menggunakan jalur laut.
Hal yang sama juga pernah terjadi sebelumnya, ketika kakak pangeran Bratakelana
gagal menjadi imam sholat jum’at.[8]
Pangeran Jayakelana langsung dihukum mati[9]
oleh suatu sidang pengadilan yang langsung dipimpin oleh sunan Gunung jati.
Setelah kejadian dihukumnya pangeran Jayakelana, Sunan gunung jati segera
membuat statement (ipat-ipat) “Wis mulai
sekien aja ana pangeran kang khotbah” banyak wargi keturunan keraton
Cirebon yang menterjemahkan wasiat tersebut secara harfiah. Maksud yang
sebenarnya dari larangan para pangeran berkhotbah terletak pada kata “
pangeran” sebab pada masa sunan gunung jati istilah pangeran memiliki makna
khusus yaitu orang-orang yang sudah memahami ilmu tauhid atau dalam bahasa
Cirebon ilmu Kepangeranan. Pada jaman kolonial dimana kerajaan Cirebon telah
kehilangan kedaulatannya, kata pangeran hanya berkonotasi pada sebuah jabatan
dalam ketata negaraan, tidak memiliki dimensi spiritual.
Jadi jika menganalogikan kejadian sebelumnya (wafatnya
pangeran Jayakelana) tidak bisa dibenarkan adanya pendapat setelah wasiat
larangan pergi melaut oleh Sunan Gunung jati, terjadi penurunan kekuatan
angkatan laut Cirebon. Sebab tidak ada alasan yang sesuai untuk membenarkan
pendapat tersebut. Jika yang digunakan landasan untuk membenarkan karena alasan
kesedihan, maka sunan gunung jati telah mempersiapkan pangeran mas muhammad
arifin untuk suksesi kepemimpinan selanjutnya. Apalagi setelah selang beberapa
lama dari kejadian tersebut Cirebon kedatangan armada kerajaan Demak yang
dipimpin oleh Maulana fadillah khan al
pasehi atau Wong agung saking pasehi. Sunan gunung jati manyambut kedatangan
menantunya dengan suka cita. Sunan gunung jati juga telah mempersiapkan
panglima-panglima perang yang tangguh untuk menghadapi armada Portugis.
Pangeran Cirebon (kakak sepupu sunan gunung jati) sebagai senopati yudhanega
(panglima perang kerajaan Cirebon) ditunjuk langsung untuk memimpin tentara
Cirebon. Adipati keling yang memiliki kemampuan di darat dan di laut sama baiknya,
juga ditunjuk untuk membantu. Dipati cangkuang juga ditunjuk untuk membantu.
Selain itu tidak ketinggalan Ki ageng bungko yang sangat ahli dalam pertempuran
laut dan menguasai karakter laut Jawa.
Pada tahun 1526 sunan gunung jati memberi perintah kepada
pasukan gabungan armada Cirebon-Demak untuk menyerang Portugis di Sunda kelapa.
Kekuatan gabungan armada Cirebon dan Demak berjumlah seribu empat ratus lima
puluh dua orang. Banyak versi dan teori yang menjelaskan tentang berlangsungnya
teknik pertempuran antara pasuka gabungan Cirebon-Demak dan pasukan gabungan
Pajajaran Portugis. Namun semua teori tersebut menghasilkan kesimpulan yang
hampir sama yaitu terusirnya portugis dari sunda kelapa. Gagalnya pasukan
Pajajaran bergabung dengan portugis akibat dihadang oleh pasukan yang dipimpin
oleh pangeran Hasanudin dan dipati kemuning. Serta jatuhnya jumlah korban yang
sangat banyak diantara kedua belah pihak. Sejak peristiwa itu Portugis tidak
berani lagi menginjakan kakinya di Kalapa, pelabuhan penting pajajaran. Dengan
demikian, perjanjian perdagangan antara kerajaan Pajajaran dengan Portugis
tidak berhasi dilaksanakan. (Sunardjo, 1983;82)
Jadi sejak jatuhnya kekuasaan pajajaran dan terusirnya
armada portugis di sunda kelapa, praktis seluruh pelabuhan yang berada di
wilayah pantai utara pulau Jawa berhasil dikuasai oleh imperium islam. Oleh
karena itu kawasan regional nusantara sudah hampir sepenuhnya dikuasai oleh
kerajaan-kerajaan islam. Keamanan di wilayah ini sudah dianggap aman dan
terkendali dari ancaman asing. Mungkin inilah alasan yang paling tepat mengapa
orientasi pembangun perekonomian lebih di fokuskan ke wilayah daratan
dibandingkan wilayah maritim. Fokus dakwah sunan gunung jati yang nantinya akan
mewarnai perubahan sosial politik dan perekonomian lebih di tingkatkan di
wilayah pedalaman. Bahkan sunan gunung jati lebih mementingkan urusan dakwah di
wilayah pedalaman bumi tatar sunda ini, dibandingkan mengurusi persoalan
negara. Sebab untuk urusan ketata negaraan Sunan gunung jati telah mendelegasikan
sepenuhnya kepada pangeran mas muhammad arifin. Namun Tuhan berkehendak lain,
pada tahun 1552 pangeran mas Muhammad arifin telah lebih dahulu pulang ke
Rahmatullah. Setelah wafat beliau lebih dikenal dengan sebutan pangeran
pasarean atau pangeran Nata ing Suwarga, gelar anumertanya.
Pada tahun 1568 sunan gunung jati wafat. Fatahillah
kemudian menggantikan kedudukan sunan gunung jati sebagai polmak raja Cirebon,
karena pangeran emas yang telah dipersiapkan meneruskan kepemimpinan di Cirebon
masih sangat muda. Fatahillah tidak lama memerintah Cirebon, hanya dalam waktu
2 tahun saja, kemudian menyusul mertua tercintanya menghadap ke haribaan yang
maha kuasa. Fahtahillah disemayamkan persis disamping sebelah timur makbarah
sunan gunung jati di bukit Nurgiri cipta rangga.Dengan waktu memerintah yang cukup singkat,tentu saja
tidak banyak langkah-langkah perubahan yang dibuat Fatahillah,baik dalam bidang
politik
maupun ekonomi.Tampaknya urgensi Sunan gunung jati
menarik fatahillah ke
Cirebon,lebih
didasarkan pada pertimbangan kesinambungan dakwah dan membina cucunya,Pangeran
Mas yang telah dipersiapkan oleh Sunan gunung jati untuk
menggantikanya.Pangeran Mas atau panembahan ratu ini adalah putra pangeran
suwarga,dipati cerbon ke 1.
Pangeran mas atau panembahan ratu[10]
ini adalah putra pangeran Suwarga Dipati Cerbon ke 1 atau disebut juga Dipati
Ratu,ibu dari pangeran mas adalah putri dari Fatahilah atau Fadilah khan yang
bernama Ratu wanawati raras . Ratu 1 lahir pada tahun 1547.
Panembahan Ratu 1 mewarisi sistem
pemerintahan dan perekonomian yang sudah baik, hasil jerit payah dari sunan
gunung jati, keamanan, terkendali, kondisi sosial politik yang kondusif serta
perkembangan ekonomi yang baik, kondisi pelabuhan juga cukup ramai. Pelabuhan
baru (pelabuhan cirebon sekarang) disamping pelabuhan lama yaitu pelabuhan
muara jati dan pelabuhan japura. Perdagangan dengan daerah pedalaman berjalan
lancar dan cirebon sendiri terkenal dengan produksi ikan asin, garam, trasi
yang di gemari penduduk pedalaman, beras dan kayu-kayuan cukup banyak (
Sunardjo, 1983;101 )
Dengan kondisi seperti tersebut di atas, sebenarnya merupakan modal dasar yang
cukup besar bagi panembahan ratu untuk mengembangkan dan meningkatkan sarana dan
prasarana perekonomian cirebon. Namun sepeninggal sunan gunung jati ada saja
masalah yang mengganggu.H al yang cukup
lama dianggap sebagai ganjalan bagi penembahan ratu adalah masalah perbatasan
dengan Banten. Senioritas sultan Banten dan semakin meningkat nya kemampuan
Banten dalam bidang militer dan perdagangan merupakan problematika yang tidak
sepele apabila tidak di tangani dengan serius.
Dari sis silsilah, jika ditarik ke
atas, Sultan Maulana Yusuf adalah cucu dari sunan Gunung Jati dan anak dari
Maulana Hasanudin. Sedangkan panembahan ratu adalah cicit dari Sunan Gunung
Jati atau cucu dari pangeran Pasarean atau anak dari pangeran dipati suwarga.
Wajar saja apabila panembahan ratu masih menaruh rasa segan dan secara etika
menaruh rasa hormat pada Sultan Maulana Yusuf. Yang lebih mendapat perhatian
tentunya adalah politik pengembanagan teritorial yang di laksanakan secara
agresif oleh Banten. Pada tahun 1579 pasukan gabungan Banten dan Cirebon
berhasil mengakhi existensi kerajaan Pajajaran dalam peta sejarah. Atas
prestasi ini Banten merasa memiliki hak yang lebih besar terhadap wilayah eks
kerajaan Pajajaran dan kerajaan-karajaan yang di bawah perlindungannya. Secara
geopolitik wilayah priyangan dan Sumedang larang merupakan bagian dari
pajajaran, namun secara geografis kedua
wilayah tersebut berbatasan langsung dengan Cirebon. Selama ini kedua wilayah
tersebut banyak mendapat pengaruh spiritual dari Cirebon.
Walaupun pada akhirnya wilayah
sumedang larang dan priangan masuk dalam perlindungan Banten, tetapi tentu saja
membutuhkan diplomasi yang cukup alot untuk menentukannya. Memamg belum
ditemukan dokumen-dokumen yang resmi terhadap sengketa perbatasan di wilayah
pedalaman ini,namun diplomasi antara banten dan cirebon terhadap kasus ini
tidak sampai menimbulkan guncangan ekonomi terhadap banten dan cirebon.
Berbeda dengan di wilayah pedalaman,
sengketa perbatasan di wilayah pesisir utara sudah di selesaikan sejak jaman
sunan gunung jati. Sebelum wafat sunan gunung jati ( 1568 ) telah memanggil
fatahillah untuk kembali ke cirebon. Tugas fatahillah sebagai Bupati sunda
kelapa atau jayakarta, digantikan oleh Tubagus Angke. Tubagus angke adalah
menantu maulanaHassnudin. Baik Panembahan Ratu
maupun maulana yusuf pun sudah
fahum akan maksud sunan gunung jati, sehingga tidak menimbulkan gejolak politik
antara cirebon dan banten, apalagi mengganggu stabilitas perdagangan. Alasan
lain yang bisa dijadikan pegangan bagi panembahan ratu maupun maulana yusuf
adalah wasiat sunan gunung jati. Baik cirebon dan banten sama-sama menghormati
pesan dari leluhurnya. Wasiat tersebut tercatat dalam naskah sejarah cirebon
akhir.
“
awit panembahan ratu ing cirebon denya nyuluri wilayah susunan,karana dingin
duk wisik, rajawali kang aseda, lah iki karawang becik, gawenan wates lah iku,
sing karawang ngulon dadi, ki mas banten amurba, sing karawang anngetan dadi,
ki mas cirebon amisesa, pusaka ning rajawali, lah iku martabati pun, panembahan
pakungwati, sumuhud dateng lenggananing banten magkana ugi panembahan surosoan
ika,tan seja anglenggananing wisik. ( setelah
panembahan ratu di cirebon melanjutkan, kekuasaan susuhunan, karena dahulu berdasarkan
pesan, Rajawali yang sudah wafat, nah karawang ini sebaiknya dijadikan tapal batas.
Yaitu dari karawang ke barat, menjadi kekuasaan banten, dari karawang ke timur
menjadi kekuasaan cirebon, pusakanya Rajawali, yah itulah kekuasan Panembahan Ratu
dipatuhi, begitu juga oleh banten, panembahan sorosowan juga tidak pernah ada
upaya untuk melanggar ).
Selain berhasil menyepakati masalah perbatasn
dengan banten, panembahan ratu juga berhasil meredam gejolak politik dalam
negeri. Ujian tersebut datang dari orang-orang yang memiliki jasa terhadap
pendirian cirebon. Gejolak pertama datang dari Adipati kuningan. Adipati
awangga yang merupakan anak angkat dari sunan gunung jati merasa sudah tidak
lagi memiliki alasan menjadi bagian dari cirebon. Adipati awangga memiliki
pasukan berkuda yang cukup tangguh. Dengan kepercayaan diri yang besar adipati
awangga merasa lebih mampu daripada panembahan ratu. Cirebon sudah di anggap
tidak memiliki otoritas sebagai guru dan orang tua. Alasan ini yang di pakai
oleh Arya kemuning ( Adipati Awangga ) yang merasa sudah tidak membutuhkan lagi
berintegrasi ke cirebon. Selain faktor kewibawaan faktor lain yang di anggap
penting adalah faktor ekonomi. Kuningan merupakan pemasok beras,
sayur-sayuran,kopi, rempah-rempah dan sarana transportasi (kuda-kuda), walaupun
tidak bisa di pungkiri juga bahwa hasil komoditi Kuningan di pasarkan lewat
pelabuhan Cirebon.
Menghadapi konflik internal seperti
ini, langkah yang di ambil Panembahan ratu cukup bijak. Perselisihan dengan
Kuningan di selesaikan dengan diplomasi. Penembahan ratu mengutus Patih Rudamada
untuk bernegosiasi dengan Adipati Awangga. Langkah diplomasi di ambil oleh
panembahan ratu untuk menghindari perang saudara, sebab jika terjadi perang
saudara, tentu saja akan mengganggu stabilitas politik dan ekonomi. Misi
diplomasi yang di bawa oleh patih Rudamada gagal, sehingga harus di selesaikan
oleh panembahan ratu. Panembahan ratu
akhirnya datang sendiri ke kuningan untuk membuat penyelesaian dengan Adipati
Awangga. Dengan diplomasi yang berujung pada duel perang tanding antara Adipati
Kuningan dan Panembahan Ratu, akhirnya kuningan dapat di tertibkan. Adipati
awangga benar-benar tulus mengakui kemampuan Panembahan Ratu dalam memimpin
Cirebon.Adipati Awangga juga benar-benar mengakui bahwa panembahan Ratu
merupakan Suluring rajawali (keturunan rajawali).
B.
Kehidupan
Agama Masyarakat Cirebon Sebelum Datangnya Islam
Dalam
naskah Babad Mertasingha yang di edisi Amman N. Wahyu, diceritakan tentang awal
pertemuan antara Syeikh Syarief Hidayatullah dengan Adipati Keling yang sedang
mengawal larungan jenazah rajanya di
tengah laut. Dalam lakon wayang kulit Purwa Cirebon juga dikenal dengan sebuah
cerita galur yang disebut lakon Sumbadra
Larung. Dalam lakon tersebut,
Sumbadra yang telah dibunuh oleh Burisrawa dilarung ke sungai menuju laut yang
dikawal oleh Gatotkaca. Dalam ritual kehidupan masyarakat nelayan di Cirebon,
juga sampai sekarang masih hidup upacara lelumban
atau pesta laut. Puncak dari upacara tersebut adalah melarung sajen menuju
tengah laut.
Upacara
larungan merupakan salah satu
rangkaian dari siklus ritual yang dilakukan oleh masyarakat pemeluk agama Hindu
sekte Waisnawa yang sudah mengalami proses metamorfosa dengan Islam. Sampai
sekarang, dalam lakon galur Sumbadra Larung, proses untuk menghantarkan
jenazah sang putri untuk menjumpai Hyang Widhi tetap dilakonkan seperti apa
adanya. Walaupun dipentaskan di tengah-tengah masyarakat Cirebon yang sudah mayoritas
Islam.
Ritual
larung sajen yang berupa sirah mahesa
atau kepala kerbau, masih tetap dilaksanakan di beberapa komunitas nelayan di
wilayah pesisir Cirebon. Namun makna filosofi dari upacara larung sajen atau larung mahesa sudah mengalami proses Islamisasi. Masyarakat nelayan
pesisir Cirebon yang mayoritas beragama Islam sudah memaknai larung sajen atau larung mahesa ini sebagai manifestasi dari
pengorbanan kepada Tuhan Yang Maha Esa (mahesa
= Maha Esa). Bahkan di kanal Condong atau yang lebih dikenal dengan
sebutan sungai Condong, puncak upacara larung
mahesa ini sudah diganti dengan doa
secara Islam.
Kuatnya
upacara larungan ini hingga dapat
bertahan hampir tujuh abad, membuktikan bahwa betapa besar komunitas penyembah
Batara Wisnu pernah hidup di Cirebon. Teks Pangeran Wangsakerta yang
menggambarkan tentang keberadaan agama Hindu sekte Waisnawa ini dapat dibuktikan dengan aktifitas sosial dan ritual
yang sudah beradaptasi dengan masyarakat Islam. Di samping ritual kematian,
pemujaan terhadap Dewa Wisnu juga ditemukan pada upacara yang terkait dengan
kelahiran. Upacara tersebut adalah upacara nuju
bulan atau memitu. Salah satu sarana yang harus dipenuhi dari upacara memitu adalah mengambil air suci yang
berasal dari sumber mata air yang berbeda. Sumber-sumber mata air tersebut bisa
dari sumur-sumur yang dikeramatkan, tuk,
pancuran, sendang, telaga dan sungai. Akan lebih baik lagi kalau air tersebut
berasal dari kali tarung atau tempat
bertemunya dua sungai.
Ritual
memitu merupakan rangkaian dari
sembilan atau sepuluh ritual persiapan menyambut kelahiran bayi. Naskah sedekah wulan atau Candraning Wong Bobot milik R.
Syarief Rohani Kusumawijaya, menjelaskan urutan-urutan ritual sebagai berikut:
a. Eka
Padmasari Martabate Alam Zat
-
Artinya, eka = satu, padma = kembang, sari =
bau harum atau rasanya.
-
Penjelasan: orang hamil
satu bulan suka meminta macam-macam, terkadang yang aneh-aneh dan punya
keinginan jalan-jalan.
-
Martabate
Alam Zat, kedudukannya masih dalam
kehendak Dzat Yang Maha Kuasa.
-
Untuk itu disarankan
bersodaqoh tumpeng dengan lauk telur yang disimpan di dalam tumpeng.
Ditunjukkan menghormati Nabi Adam. Do’a yang dibaca adalah do’a selamat.
b.
Dwi
Martana Martabate Alam Adjsam
-
Artinya, dwi = dua, martana = wadah atau tempat
-
Penjelasan: orang hamil
menginjak usia dua bulan itu ingin selalu bersama suami (long golong).
-
Martabate
Alam Adjsam, kedudukannya masih berupa keinginan dari orang tua yang
ingin memiliki anak.
-
Sodaqohnya berbentuk
tumpeng dengan lauk dipecel. Ditunjukkan untuk menghormati Nabi Yaqub. Do’a
yang dibaca adalah do’a selamat Sulaeman.
c. Tri Waladnyana atau Tri
Langgana Martabate Alam Ahadiyah
-
Artinya, tri = tiga, langgana = terang
-
Penjelasan: orang hamil
menginjak usia tiga bulan wajahnya terang bercahaya.
-
Martabate
Alam Ahadiyah, kedudukannya masih berbentuk siri
kehendak Yang Maha Kuasa.
-
Sodaqohnya nasi punar, lauknya telur dibuat dadar. Ditunjukkan
untuk menghormati Nabi Ibrahim. Do’a yang dibacakan adalah do’a arwah.
d.
Catur
Warna atau Catur Winara Rupa Martabate Alam Wahidiyah
-
Artinya, catur = empat, winara = monyet, rupa =
cantik rupanya.
-
Penjelasan: orang hamil
menginjak usia empat bulan suka banyak omong (cerewet), banyak bertingkah
seperti anak kecil, seenaknya sendiri, dan cantik rupanya.
-
Martabate
Alam Wahidiyah, kedudukannya sudah tercipta benih
roh yang akan menjadi nyawa si jabang bayi.
-
Sodaqohnya ketupat, lepet, dan teng-teng angin. Ditunjukkan untuk menghormati
Nabi Musa. Do’a yang dibacakan adalah do’a Syahid Syahadat.
e. Panca
Surapagah atau Sura Panca Puguh
Martabate Alam arwah
-
Artinya, panca = lima, sura = berani, puguh (pagah) = benar pada tempatnya.
-
Penjelasan: orang hamil
menginjak usia lima bulan punya keinginan mengenakan barang-barang yang baru
dan tidak mau diam.
-
Martabate
Alam Wahidiyah, kedudukan roh sudah berada di
tubuh janin.
-
Sodaqohnya nasi langgi lauknya ayam muda. Ditunjukkan
untuk menghormati Nabi Idris. Do’a yang dibacakan do’a thowil umur.
f.
Sad Guna Wawika Martabate Alam Mitsal
-
Artinya, sad = enam, guna = pekerjaan, wawika
= makanan
-
Penjelasan: orang hamil
menginjak usia enam perwatakannya pandai bicara dan pandai bekerja serta banyak
makan.
-
Martabate
Alam Misal, kedudukan bayi sudah memiliki roh,
jenis kelamin, dan takdir yang akan dibawanya.
-
Sodaqohnya apem merah dan apem putih. Ditunjukkan untuk menghormati Nabi Dawud. Do’a yang
dibacakan adalah do’a tolak bala.
g.
Sapta
Kukila Martabate Alam Insan Kamil
-
Artinya, sapta = tujuh, kukila = burung
-
Penjelasan: orang hamil
menginjak usia tujuh bulan sering banyak bicara dan sering ngajak bertengkar,
ada saja yang menjadi bahan menyulut pertengkaran.
-
Martabate
Alam Insan Kamil, kedudukan bayi sudah sempurna
siap untuk dilahirkan.
-
Sodaqohnya membuat
rujak untuk menebus kandungan. Ditunjukkan untuk menghormati Sayyidina Ali.
Do’a yang dibacakan adalah do’anya Nabi Muhammad (do’a rasul).
h.
Hasta
Kunjana Yen Oli Wolu Sampurna
-
Artinya, hasta = delapan, kunjana = benting (Jawa), bengkung (Sunda), stagen.
-
Penejelasan: orang
hamil menginjak usia delapan bulan berarti sudah sempurna, tinggal diupayakan
supaya mudah untuk dilahirkan.
-
Martabate
Alam Wahidiyah, kedudukannya sudah tercipta benih
roh yang akan menjadi nyawa si jabang bayi.
-
Sodaqohnya bubur lolos. Ditunjukkan untuk menghormati
Nabi Nuh.
i.
Nawa
Taksaka Lahir
-
Artinya, nawa = sembilan, taksaka = ular
-
Penjelasan: orang hamil
menjelang usia sembilan bulan perwatakannya glondang
glundung seperti ular pembawaannya gerah, panas ingin mandi atau kipasan
saja.
-
Sodaqohnya minyak wangi
dan minyak kelapa / minyak goreng. Ditunjukkan untuk menghormati para Nabi dan
para wali.
j.
Eka
Dasa atau Dasa Tirta Kunarpa
-
Artinya, eka = satu, dasa = sepuluh, tirta =
air, kunarpa = mayat / bangkai
-
Penjelasan: orang hamil
sepuluh bulan sudah menjadi kehendak Gusti Allah, si jabang bayi sudah dalam
posisi dilahirkan (ing lawang akbarullah),
posisinya kepala menghadap ke lawang
akbarullah, kaki membelakangi lawang
akbarullah. Bayi segera menuju bibir lawang,
kaki kiri naik ke bibir lawang kanan,
kaki kanan naik ke bibir lawang yang
kiri, si bayi tinggal lahir saja.
Argumen-argumen
yang mendukung bahwa aliran sekte Waisnawa
ini pernah mendominasi dalam kehidupan sosial dan ritual masyarakat Cirebon dapat
ditemukan juga dalam naskah Ruatan
yang disalin oleh Ki Dalang Marta pada tahun 1902. Naskah yang berjudul Ruatan Murwakala tersebut menceritakan
peranan Batara Wisnu dalam mengembalikan Sangkala pada fitrahnya. Mayoritas
komunitas pedalangan di Cirebon sepakat bahwa Dewa Wisnu-lah yang mengembalikan
Kala pada tempatnya. Hanya Ki Dalang Mulki saja yang tidak mengikuti pakem
tersebut. Ki Dalang Mulki lebih condong mengikuti versi pedalangan Jogja-Solo.
Pada versi pedalangan di eks kerajaan Mataram tersebut menggunakan tokoh Batara
Syiwa sebagai tokoh yang dapat memulihkan keadaan Sangkala.
Selain
Ki Dalang Mulki, pakem minoritas lainnya dalam lampahan ruatan murwakala
itu adalah Ki Dalang Suwarta dari Bongas. Menurut Ki Dalang H. Mansur, tokoh
utama yang meruwat ajaling batara kala
dalam ruatan versi Dalang Suwarta tersebut adalah Batara Brahma. Pernyataan Ki
Dalang Mansur dibenarkan oleh seorang dalang
macapat yang bernama Ki Marsita. Ki Marsita menyatakan bahwa lampahan ruatan murwakala milik Ki
Dalang Suwarta mempunyai kekhasan sendiri. Perbedaannnya terletak pada tokoh
yang menjadi dalang ruatan itu. Tokoh yang meruwatnya adalah Batara Brahma.
Sumber-sumber
tradisi keberaksaraan dan tradisi lisan dalam lampahan ruatan merupakan suatu bukti bahwa di Cirebon pada masa
sebelum datangnya Islam telah hidup suatu agama yang dijadikan pegangan hidup
masyarakat Cirebon saat itu. Peranan Batara Wisnu yang begitu dominan dalam
berbagai ritual kehidupan masyarakat Cirebon baik yang ditemukan dari
sumber-sumber tertulis, lisan maupun yang terlembaga dalam kehidupan masyarakat
merupakan suatu petunjuk bahwa Batara Wisnu pernah dipuja di wilayah ini. Di
tengah dominasi agama Hindu sekte Waisnawa,
terdapat juga kelompok sekte Syawana
(pemuja Batara Syiwa) dan sekte Brahmana (pemuja Batara Brahma). Namun
jumlah pemeluk agama Hindu sekte Syawana
dan Brahmana ini tidak sebesar sekte Waisnawa.
Dalam
naskah sejarah Cerbon, yang ditulis oleh R. Syarief Rohani Kusumawijaya, diceritakan bahwa ketika
Ki Gedeng Alang-alang wafat, Pangeran Cakrabuana menyempurnakan jenazah
mertuanya itu dengan cara-cara Islam. Ki Gedeng Alang-alang atau Ki Danusela
merupakan orang Cirebon pertama yang dikuburkan dengan memakai syari’at Islam. Penduduk
Cirebon yang yang pada saat itu banyak yang belum memeluk agama Islam merasa
aneh dengan kejadian itu. Dalam benak mereka bertanya, mengapa tidak dibakar,
di-larung atau di-setra. Penduduk Cirebon waktu itu belum ada
yang berani bertanya karena menghormati kedudukan Pangeran Cakrabuana sebagai
menantu dari Ki Kuwu Carbon pertama. Setelah jenazah dikuburkan, baru pusaranya
disiram dengan air bunga, dan membakar dupa. Setelah itu baru dibacakan talkin, tahlil dan do’a.
Setelah
selesai upacara penguburan diadakan pembacaan do’a tahlil dan kalimat thoyibah di rumah Pangeran Cakrabuana
selama tujuh malam. Peristiwa ini juga mengundang tanda tanya bagi penduduk
setempat, mengingat kebiasaan sebelumnya biasanya keluarga yang sedang berduka
itu ditinggal dan tidak biasa ditemani. Selama tujuh malam, rumah Pangeran
Cakrabuana diramaikan oleh orang-orang yang berkumpul di rumahnya. Setelah
tujuh hari berlangsung, penduduk kebon pesisir Lemahwungkuk merasakan adanya
keganjilan pada kuburan Ki Danusela memancarkan bau yang sangat harum.
Terdorong
oleh banyaknya peristiwa-peristiwa yang aneh dari prosesi pemakaman Ki
Danusela, akhirnya orang-orang Cirebon pada saat itu memberanikan untuk
bertanya. Kesempatan yang baik ini dimanfaatkan oleh Pangeran Cakrabuana untuk
menyampaikan ajaran Islam dengan tidak mengurangi rasa hormatnya terhadap
ajaran agama sebelumnya. “Apakah kalian ingin apabila mati kuburannya bisa
sewangi ini?”, pertanyaan Pangeran Cakrabuana dijawab dengan serempak, “Ya, Ki
Kuwu”. Kemudian Pangeran Cakrabuana menjelaskan bahwa, seandainya ada di antara
kalian atau kerabat kalian ada yang meninggal, kuburkanlah jasadnya. Jangan
dibakar, cukup yang dibakar itu hanya dupa. Jangan di-larung ke sungai. Cukup siramkanlah air tersebut ke pusaranya. Dan
jangan di-setra atau diasingkan ke
hutan cukup bawakanlah bunga-bunga dan dedaunan, kemudian taburkanlah di
pusaranya.
Benar
tidaknya berita yang disampaikan dalam teks naskah R. Syarief Rohani tidaklah
begitu penting. Akan tetapi, keberadaan mengenai adanya sistem kepercayaan dari
masyarakat Cirebon sebelum datangnya agama Islam. Juga diceritakan dalam sastra
lisan, khususnya dalam pagelaran wayang kulit purwa Cirebon. Dalam literatur
wayang kulit Cirebon hanya dikenal adanya dua agama, yaitu agamaning Sanghyang dan agamaning
Rasul. Yang dimaksud dengan agamaning
Sanghyang menurut Ki Dalang Wari Priyadi dalam pakem Cungkring Dadi Pendeta adalah agama sambu, agama brahma,
agama bayu, agama wisnu, agama syiwa dan agama kala.
Adapun menurut budayawan TD Sujana, agamaning Sanghyang adalah sinkretisme
antara ajaran agama animisme, Hindu dan Budha. Sedangkan agamaning Rasul adalah agama yang dibawa oleh para Rasul dari Nabi
Adam sampai Nabi Muhammad SAW.
Terkait
dengan istilah ke-sahyangan atau menurut TD Sujana disebut dengan istilah
sinkretisme agama Hindu Budha, juga disebutkan oleh Soleh Danusasmita dkk,
1986, 2, bahwa di kawasan Jawa Barat pada masa silam pernah berkembang aliran
Tantrayana (Budha). Ajarannya menampilkan campuran aliran Siwa Sidantha yang
menganggap semua dewa sebagai penjelmaan dewa Siwa dengan agama Budha Mahayana.
Sebagai contoh adalah kerajaan Talaga (Majalengka) yang berdiri abad ke-14
adalah kerajaan Budha yang menganut aliran Stawirawada.
Sebetulnya
sinkretisme yang terjalin antara agama Hindu dan Budha sudah terjalin sejak
lama. Yaitu sejak awal masuknya agama Hindu dan Budha ke Nusantara. Pembauran
antara pendatang yang berasal dari luar wilayah utara Nusantara ini beradaptasi
dengan masyarakat Nusantara yang sudah memiliki bahasa, adat istiadat dan
sistem kepercayaan sendiri. Seperti yang diberitakan dalam Kropak 408 dan Kropak 630
(Sanghyang Siksa Kandang Karesian),
“Campuran Siwaisme dan Budhisme ini masih dijalin dengan agama pribumi. Karena
ternyata unsur Hyang tetap dibedakan dengan dewata. Walaupun tempat tinggal
para dewata juga disebut kahyangan.”
Ki
Kartani, seorang sejarahwan senior Cirebon juga membenarkan tentang adanya
agama Hindu sekte Waisnawa, Syawana, Brahmana dan Kalana
pernah dianut oleh masyarakat kuno Cirebon. Khusus untuk agama Hindu sekte Kalana, Ki Kartani menjelaskan bahwa
penganut agama ini, jika meninggal, jenazahnya tidak dikubur atau dilarung
tetapi di-setra, yaitu diasingkan ke
hutan. Di sana jenazah tersebut diletakkan di bawah pohon besar dan dibiarkan
dimangsa hewan buas. Hampir mirip dengan sistem penguburan di Trunyan, Bali.
Di Desa Kemlaka blok Bebekan Kecamatan
Tengah Tani Kabupaten Cirebon ada sebuah komplek kuburan umum yang disebut
Makam Kebon Sangkro. Penamaan Kebon Sangkro terkait dengan aktifitas
penguburan mayat pada jaman sebelum Islam masuk ke wilayah ini. Menurut orang
tua dulu yang tinggal di wilayah ini, dulunya kalau ada orang yang meninggal di
sini mayatnya tidak dikubur tetapi hanya diletakkan saja di bawah pohon besar Rangdu Alas. Kemudian mayatnya ditimbun
dengan daun-daunan yang sudah kering (sangkro).
Jenis-jenis
pohon yang digunakan untuk men-setra
jenazah sekte Kalana ini adalah jenis
pohon-pohon tertentu. Pohon-pohon yang dimaksud adalah pohon yang besar dan
tinggi menjulang. Karena menurut para penganut agama kala ini, pohon tersebut
dapat menghantarkan arwah mereka menuju sang pencipta. Menurut Ki Kartani,
pohon-pohon tersebut adalah randu alas,
dangdur, serut, kepuh dan beringin.
Selain
banyaknya sekte agama Hindu dan sinkretisme antara agama Hindu dan Budha (Ke-sanghyangan), penduduk Cirebon tempo
dulu juga ada yang menganut ajaran agama Budha murni atau yang disebut agama Budhaprawa. Seperti yang tercantum dalam
bait puisi naskah Purwaka Caruban Nagari
yang ditulis oleh Pangeran Arya Carbon:
“Hana ta sira Ki Danusela ngaran ira
Ingkang gahan pakanama Ki Gedheng
Alang-alang yata Rayi nira Ki Danuwarsih
Kang Dumadi wikuning Budhaprawa
Kang tamaloh ing mandala parahyangan wetan.”
(adalah
di sana seorang bernama Ki Danusela
Yang
terkenal dengan nama Ki Gedheng
Alang-alang,
yaitu adik Ki Danuwarsih
Yang
menjadi pendeta Budhaprawa, di daerah Priyangan timur)
Budhaprawa dalam literatur
bahasa Cirebon dapat diartikan dengan agama Budha murni atau agama Budha yang
belum mengalami singkretisme dengan kepercayaan penduduk setempat. Kata prawa dalam bahasa lisan Cirebon sering
disamakan artinya dengan kata purwa.
Contohnya dalam lakon wayang srepeng[11] Lading Pangot Panurat Jagat[12]. Nama Prabu Darmakusuma disebut dengan
nama Sanghyang Budhapurwa yang berarti seseorang yang berasal dari jaman kuna yang memiliki keyakinan atau agama kuna. Budhapurwa diartikan dengan keyakinan kuna atau kepercayaan orang jaman dahulu adalah sebutan yang sangat
logis untuk dikomparasikan dengan agama Islam atau agamaning Rasul yang merupakan agama baru atau agama asing bagi
orang Cirebon pada jaman Kasunanan
(jaman Wali).
Contoh
lainnya adalah pada sebutan gamelan prawa.
Pada pagelaran wayang Cirebon, ada dua kelompok laras gamelan yang digunakan, yaitu gamelan laras pelog dan laras prawa. Untuk kelompok pedalangan yang menggunakan laras pelog, umumnya adalah kelompok
pedalangan kidulan. Sedangkan
kelompok pedalangan loran biasanya
menggunakan laras gamelan prawa.
Kelompok yang menggunakan aliran laras
prawa biasanya selalu mengangkat lakon-lakon galur atau lakon asal-usul wayang kulit yang bersumber dari kitab Mahabrata dan Ramayana. Jadi makna prawa
di sini terkait dengan kata asal-usul atau sumber. Adapun untuk kelompok
pedalangan yang menggunakan aliran laras
pelog umumnya mengetengahkan lakon-lakon anggit atau lakon-lakon yang terkait dengan kajian agama Islam.
Jadi sangatlah beralasan kalau agama Budhaprawa
yang berarti agama Budha kawitan atau
agama Budha murni yang belum mengalami sinkretisme dengan ajaran keyakinan
lainnya.
Adapun
menurut kamus Zoetmulder (1982) skt. parwa
II, 2 prose story; part (book) or the mahabharata epic.
Parwa sendiri menurut Zoetmulder adalah bagian-bagian yang terdapat dalam kitab
Mahabharata. Kitab yang ditulis oleh Resi Wiyasa tersebut terdiri dari beberapa
bagian cerita yang masing-masing bagian membuat inti cerita tertentu. Seperti adhiparwa, mosalaparwa atau swargarohanaparwa.
Mc. Donell juga memberikan pengertian tentang parwa adalah division of book.
Jadi
kalau berdasarkan makna leksikal yang ditemukan dalam beberapa kamus, parwa atau parvan diartikan sebagai bagian. Sehingga kata Budhaparwa dalam teks yang terdapat dalam naskah Purwaka Caruban Nagari dapat diartikan
sebagai bagian atau kelompok tertentu dalam agama Budha atau bagian dari sekte
agama Budha.
Ajaran
agama Budhaprawa inilah yang sempat
dipelajari oleh Pangeran Cakrabuana dari Ki Gedheng Danuwarsih putra seorang
pendeta Budha yang mumpuni dari gunung Dieng, yaitu Ki Gedheng Danusetra.
Nilai-nilai ajaran agama Budha dan Hindu sangat dipahami oleh Pangeran
Cakrabuana sebelum direkomendasikan oleh Ki Gedheng Danuwarsih untuk belajar
agama Islam kepada Syeikh Nurjati di bukit amparan Jati.(bersambung)
C.
Organisasi
Masyarakat dan Sistem Pemerintahan
Wus mandeg ta sira teguh alang-alang dukuh kang
mangko sinebut Caruban tumuli, mapan janmapada sukheng pasambangan desa keh
mara ngkene pantaraning pra dol tinuku
(akhirnya berdirilah dukuh teguh alang-alang yang kelak kemudian menjadi
Caruban. Banyak orang dari Dukuh Pesambangan yang datang ke situ, diantaranya
para pedagang). (Dasuki, HA, 1978; 15:61). Menurut Purwaka Caruban Nagari, pada awalnya Cirebon yang dirintis oleh
Pangeran Cakrabuana merupakan sebuah pedukuhan kecil yang terletak di bibir
pesisir teluk Cirebon yang disebut Dukuh Tegal Alang-alang. Pedukuhan tersebut
dipimpin oleh Ki Gedheng Alang-alang. Ki Gedheng Alang-alang orangnya sangat
terbuka dan bersikap ramah kepada siapa saja. Sehingga lama-kelamaan pedukuhan
tersebut dihuni oleh banyak pendatang yang berasal dari suku, agama, budaya dan
bahasa yang berbeda.
Setelah
jumlah penduduknya makin bertambah dan berkembang, Pedukuhan Tegal Alang-alang
berubah menjadi sebuah desa. Rakyat membutuhkan seorang pemimpin, maka dengan
kesepakatan dari seluruh penduduk desa, ditunjuklah Ki Gedheng Alang-alang
sebagai pemimpinnya. Model pemerintahan desa pada saat itu berbentuk pekuwon (pakuwuhan) sesuai bentuk pemerintahan yang telah diatur oleh
kerajaan pusatnya, yaitu kerajaan Pakuwan Pajajaran.
Hal
ini sesuai dengan pendapat Ki Kartani bahwa, ”Kepala daerah bawahan bukan lagi
disebut Ki Gede tapi diganti dengan sebutan Ki Kuwu sesuai dengan peningkatan
status administratif Pakuwuhan. Situasi demikian terus
berlanjut dan semakin marak lagi pada jaman pemerintahan Panembahan Ratu Awal.”
Ki
Gedheng Alang-alang menjadi kuwu pertama dari Pakuwan Caruban Larang. Sedangkan
yang bertindak sebagai wakilnya adalah Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana
bergelar Ki Cakrabumi karena menjabat sebagai Pangraksabumi atau wakil kuwu yang diberi tugas khusus mengurusi
masalah pertanian atau pengairan.
Setelah
Ki Gedheng Alang-alang sebagai Kuwu Cerbon pertama wafat (1447), penduduk
Cerbon pada waktu itu secara aklamasi mendaulat Pangeran Cakrabuana untuk
menggantikan mertuanya. Akhirnya, Pangeran Cakrabuana diangkat oleh rakyat
Caruban Larang menjadi Kuwu Carbon kedua. Pada waktu berdirinya Pakuwan Cirebon
hingga terjadinya suksesi dari Kuwu Cerbon pertama ke Kuwu Cerbon kedua, tidak
diberitahukan adanya pelantikan. Naskah Purwaka
Caruban Nagari sendiri tidak memberitakan adanya pelantikan tersebut. Hanya
dalam naskah tersebut dijelaskan bahwa daerah Caruban pada masa itu merupakan
bagian dari kekuasaan Bupati Galuh yang bernama Pangeran Jayaningrat. Sedangkan
yang menjadi patihnya adalah patih Arya Kiban.
Selain
mengembangkan Pakuwan Carbon Larang, Pangeran Cakrabuana juga mengajak kepada
para pendatang yang bermukim di wilayah Carbon lainnya untuk mengembangkan
wilayahnya menjadi pemukiman yang ramai. Pangeran Cakrabuana juga memerintahkan
kepada anaknya yang bernama Pangeran Carbon untuk mengembangkan wilayah
pemukiman kakeknya di Carbon Girang. Wilayah Carbon Girang ini kemudian dikenal
dengan sebutan Pakuwan Carbon Girang dengan Pangeran Carbon bertindak sebagai
kuwunya. Pengembangan wilayah Carbon sebagai pemukiman dilakukan oleh Pangeran
Cakrabuana dengan cara di-totor
dengan golok dan dibakar dengan api. Untuk daerah-daerah yang sudah berkembang
menjadi pemukiman Pangeran Cakrabuana juga mengangkat salah satu diantara
mereka untuk menjadi pemimpin di daerahnya. Status pemimpinnya ditentukan oleh
jumlah cacah yang berkembang pada saat itu. Jumlah cacah yang terkecil dalam
suatu susunan masyarakat Cirebon pada saat itu adalah somah yaitu satu kepala keluarga. Kemudian setelah berkembang
menjadi beberapa somah dipimpin oleh
seorang Ki Buyut yang menjadi kepala
dari Kabuyutan. Dalam satu kibuyutan atau kabuyutan
setelah berkembang menjadi jumlah cacah yang cukup banyak ditambah dengan
jumlah pendatang yang masuk dan bermukim di wilayah tersebut. Kemudian diangkatlah
seorang Gegedhen yang menjadi
pemimpin di wilayah pedusunan tersebut
Seorang
gegedhen atau ki gedhe atau ki gedheng dapat
saja ditentukan menjadi kepala Pakuwan
(Kepala Desa) tetapi bisa juga dipilih lewat voting oleh rakyatnya menjadi
seorang kuwu. Semuanya tergantung
kesepakatan.
Pada
tahun 1449 M, Ki Ageng tapa wafat, Pangeran Cakrabuana tidak melanjutkan kedudukan
kakeknya menjadi Raja Singhapura tetapi mewarisi semua harta peninggalan
kakeknya. Kemudian Pangeran Cakrabuana dengan modal yang dimilikinya membangun
kraton Pakungwati, membangun bala tentara dan seluruh kebutuhan lainnya yang
terkait dengan sarana dan prasarana untuk mendirikan sebuah nagari (negara). Pajajaran menyambut
baik berita perekembangan di wilayah pesisir Cirebon. Kemudian diutuslah
Tumenggung Jagabaya beserta empat puluh orang pengawalnya untuk membawa tandha keprabon yang isinya menyatakan
bahwa Cirebon statusnya diangkat dari sebuah Pakuwan menjadi Ketumenggungan.
Pangeran Cakrabuana sendiri diangkat menjadi tumenggung Carbon bergelar Tumenggung Sri Mangana. “Raja Sunda manungsung suka riniking krama,
matangnya Pangeran Cakrabuana, kinanaken ka twangga dumadi tumenggung Carbon,
sang prabhu motus tumenggung jagabaya lawan kawula bulanira, nikang duta sang
prabhu amawa patanda kaprabon lawan anarikmana kacakrawartyan mandala, Pangeran
Cakrabuana Sinungan Pasenggahan Sri Mangana.”
Menurut
Ki Kartani tandha keprabon yang
diberikan maharaja Sunda dalam pelantikan yang diwakili oleh tumenggung
Jagabaya tersebut terdiri dari:
-
Mandhe
jajar atau bale pajajran
-
Keris
kyai jimat tunggul manih
-
Lampit
(tikar yang terbuat dari anyaman pandan atau rotan)
-
Kandaga
(kotak tempat menyimpan arsip)
-
Songsong
(payung kebesaran)
Upacara
penyematan tandha keprabon atau geglan tandha keprabon yang dilakukan kepada Pangeran Cakrabuana
sebagai Tumenggung Carbon. Kemudian dijadikan tradisi untuk melantik para Kuwu yang
menjadi bawahan Tumenggung Carbon. Kuwu-kuwu yang dilantik oleh Pangeran
Cakrabuana diharuskan membangun bale
mangu (bangunan untuk menyambut para pembesar Carbon berbentuk lunjuk), bale raman (bangunan untuk melakukan upacara selamatan atau
menerima sesepuh desa), bale desa (bangunan
untuk menjalankan pemerintahan desa), dan bale
lebu (bangunan untuk mengurusi urusan-urusan khusus).
Instruksi
Pangeran Cakrabuana kepada para kuwu-kuwu di wilayah Cirebon untuk melayani
rakyatnya sesuai dengan bidangnya masing-masing merupakan kepanjangan tangan
dari sistem yang diberlakukan di Istana Pajajaran yang membagi urusan
kenegaraan sesuai dengan departemennya masing-masing. Bentuk istana Pajajaran yang
dalam naskah-naskah di Cirebon diceritakan berupa bangunan istana-istana yang
berjajar, yang kemudian disebut istana Shri
Bhima Punta Narayana Madhura Suradipati merupakan perwujudan dari Istana
yang dibangun dengan memiliki fungsi pelayanan masing-masing. Sebab hakekatnya
desain suatu tata ruang tertentu pasti memiliki fungsi tertentu.
Selain
memiliki ruang pelayanan publik yang sudah dirancang sedemikian rupa. Dalam
sistem pemerintahan desa atau pakuwon
juga diatur struktur pemerintahan desa sebagai berikut:
1. Ki
Buyut (penasehat kuwu/penanggung
jawab spiritual)
2. Ki
Kuwu (kepala pakuwon/pemerintahan
desa)
3. Ki Kliwon (wakil Ki Kuwu)
4. Ki
Carik /Jertulis (penanggung jawab administrasi)
5. Ki
Raksabumi (selaku penanggung jawab
olah bumi yang menyangkut bidang pertanian dan pengairan)
6. Ki
Juragan Pulisi/Mandor Pulisi atau Lelugu Desa (penanggung
jawab bidang ketertidan dan keamanan)
7. Ki
Mayor (selaku pembantu Reksabumi)
8. Ki
Bahu (selaku pembantu umum)
9. Ki
Capgawe (pembantu Ki Juragan
Pulisi)
10. Ki
Bekel (selaku penanggung jawab blok)
11. Ki
Lebe (selaku penanggung jawab bidang
agama, menyangkut sarana peribadatan, perkawinan, perceraian, talak, rujuk,
kelahiran dan kematian)
12. Ki
Kemit (penjaga atau pesuruh desa)
(Kartani,
1997:3)
Secara
tradisi, para kuwu yang dipilih
memiliki masa jabatan delapan tahun. Sesudah itu dapat dipilih lagi apabila
masih dipercaya oleh rakyatnya. Pada masa pemerintahan Pangeran Cakrabuana
sebagai Tumenggung Carbon, kuwu yang memasuki masa pemerintahan lima tahun
berjalan wajib melakukan upacara pulun-pulun
atau kulun-kulun, “upacara gegelan tandha keprabon atau kulun-kulun wajib dilaksanakan oleh kuwu
terpilih setelah lima tahun kodra
(hari pilihan) dan tidak ada masalah.” (Kartani, 2010:1)
Upacara
kulun-kulun atau penyematan tandha pelantikan (gegalan tandha keprabon) ditingkat desa merupakan ujian integritas
dan kapabilitas seorang kuwu di hadapan pimpinan dan rakyatnya. Seorang kuwu di
sebuah desa akan mempertaruhkan seluruh hidup dan harta bendanya demi
melaksanakan amanat yang diembannya. Seorang kuwu yang telah berhasil
melaksanakan upacara kulun-kulun akan
dihormati oleh rakyatnya sampai pensiun. Karena dianggap telah melaksanakan
amanat mbah kuwu Carbon atau Pangeran
Cakrabuana. Sampai meninggal dunia pun, kuwu yang telah melaksanakan upacara
tersebut akan mendapatkan tempat terhormat. Pada zaman Pangeran Cakrabuana,
Sunan Gunung Jati hingga Panembahan Ratu awal, kuwu-kuwu tersebut disemayamkan di
komplek Gegedhen Astana Nurgiri
Ciptarengga.
Sampai
sekarang, upacara kulun-kulun masih
tetap dilaksanakan di desa-desa yang masuk wilayah Kecamatan Suranenggala.
Upacara kulun-kulun menghabiskan biaya
ratusan juta rupiah. Semua biaya ditanggung sendiri oleh kuwu yang
bersangkutan. Kebanggaan karena telah melaksanakan amanat mbah kuwu Carbon masih bisa dirasakan oleh kuwu yang bersangkutan
sampai saat ini. Selain bermanfaat mengetahui batas-batas wilayah desanya dan
para pemilik sawah garapan dengan jelas. Kuwu yang telah melaksanakan kulun-kulun akan memiliki gengsi
spiritual yang lebih di mata rakyatnya walaupun oleh pemerintahan daerah
sekarang hanya dianggap cuma sekedar upacara adat saja. Kalau meninggal
duniapun para kuwu ini sudah tidak bisa dikuburkan di komplek Nurgiri Ciptarengga lagi, sebab komplek
tersebut sudah penuh. Kuwu-kuwu yang yang telah melaksanakan kulun-kulun akan dikuburkan di komplek
kuburan Pangeran Dipati Waringin yang juga masih dikeramatkan oleh masyarakat
desa Suranenggala.
Sejak
jaman awal berdirinya kerajaan Islam hingga memasuki masa kolonial, hubungan
kerja antara pimpinan dan bawahan terbina dengan baik. Hubungan tersebut tidak
hanya dilandasi oleh kebutuhan politis semata, tetapi juga menyangkut
aspek-aspek lain yang bersifat spiritual. Pimpinan tidak hanya menjadi panutan
dalam hal pemerintahan saja tetapi juga terkait dengan kehidupan keagamaan.
Pimpinan (raja) adalah umaro sekaligus ulama. Para kuwu di desa-desa menganggap
Pangeran Cakrabuana sebagai guru panutan hidup. Begitu pula terhadap Sunan
Gunung Jati sampai kepada anak cucunya. Sehingga kedekatan hubungan antara
pimpinan dengan yang dipimpin terjalin sampai ke liang kubur.
Sangat
beralasan kalau pada suatu hari, pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati,
beliau sempat mengeluh kepada warga Desa Jati Anom, yang telah mencuri jasad Ki
Gede Jati Anom di komplek kuburan para gegedhen
di Astana Nurgiri Ciptarengga. Alasan
warga Jati Anom adalah karena jarak antara Astana Gunung Sembung dangan Desa
Jati Anom sangat jauh. Sehingga mereka melakukan perbuatan itu, tanpa seizin
Sunan Gunung Jati. Keluhan Sunan Gunung Jati kepada warga Jati Anom, Kecamatan
Susukan sangat beralasan bukan hanya karena mereka telah melakukan perbuatan
melanggar syariat Islam, tetapi juga secara politis mereduksi integritas
politis kewibawaan kerajaan Cirebon. Dengan nada kecewa Sunan Gunung Jati
berkata kepada warga Jati Anom, “Apapun bentuknya, perbuatan mencuri adalah
tindakan tercela, saya khawatir kebiasaan ini akan menurun kepada anak cucu
kalian.”(bersambung)
[1] Amirta atau tirta amerta sari adalah air
kehidupan yang diperebutkan oleh para Dewa dan kaum Denawa. Perebutan air ini dimenangkan oleh para Dewa. Sehingga
dalam mithologi Hindu, para Dewa Jawata Sangyang ini “wenang lara luputing pati”. Bisa merasakan sakit dan tidak bisa mati. Selain bermakna
air kehidupan, amrita atau amerta juga berarti pusat kota / ibu
kota.
[2] Beras tuton: beras yang
ditumbuk dengan menggunakan alat yang berupa lesung dan alat tumbuk alu atau mosala.
[3] Tehnik pewarna poles
hitam adalah teknik primitif yang menggunakan sisa-sisa dari pembakaran jerami,
kemudian dioleskan ke gerabah dengan cara diberi asap.
[6] Senopati Yudhanegara
adalah kepala pasukan angkatan bersenjata mungkin semacam panglima angkatan
bersenjata.
[7] Menurut mitos nelayan di
Kecamatan Kapetakan sebelum jenazah Pangeran Bratakelana ditemukan oleh Syeikh
Mudarim (Ki Lobama) atau Ki Gede Mundu di pesisir Mundu, Jenazah sang Pangeran
terdampar di perairan Ujung Krangkeng. Namun oleh nelayan Krangkeng, jenazah
tersebut dibawa kembali ke tengah laut, bukannya diurus sebagaimana mestinya. Perbuatan
nelayan di Ujung Krangkeng tersebut dianggap tercela, sehingga daratan yang ada
di Krangkeng mengalami abrasi, semakin berkurangnya daratan akibat abarasi ini
dipercaya oleh nelayan-nelayan di Kecamatan Kapetakan sebagai sebuah kutukan
akibat tidak memperlakukan jenazah seorang Syeikh arab (begitu sebutan para
nelayan Kapetakan terhadap pangeran Bratakelana) dengan baik.
[8] R.Teja
Subrata dalam naskah sejarah Cirebon kawedar menjelaskan proses gagalnya pangeran
jaya kelana menjadi imam sholat jum’at, karena ketika melakukan sujud pangeran
Jayakelana tidak bangun-bangun sampai tiga hari. Hal ini oleh sebagian besar
ulama Cirebon dianggap sebagai penodaan syariat. Dalam naskah lain peristiwa
ini sering disebut dengan pangeran Jayakelana gagal berkhotbah.
[9] Vonis hukuman mati tersebut kemudian diganti dengan
hukuman denda yang berupa uang dinar milik P. Jayakelana seberat tubuhnya.
Pertimbangan pengurangan hukuman tersebut karena mengingat pangeran jayakelana
adalah calon pengganti raja. Setelah membagikan kekayaannya kepada fakir
miskin, kemudian pangeran Jayakelana diasingkan sampai meninggal dunia. Atas
kecintaannya kepada Allah, pangeran Jayakelana diberi gelar Anumerta P.Seda Ing
Birahi.
[10] Dalam naskah sejarah
cirebon akhir yang di salin Dil muhamad achmad, istilah panembahan Ratu di
sebut dengan panembahan Pakungdyah.
[11] Lakon srepeng adalah lakon yang memadukan lakon galur (pakem), lakon anggit (kreasi) dan
lakon babad.
[12] Lakon Lading Pangot Panurat
Jagat berasal dari sastra tulis naskah Klayan.
Dalang wari Priyadi melakonkan kembali cerita tersebut dengan judul Darmakusuma Nyalar.
No comments:
Post a Comment