Musim hujan yang datang membuat
banyak wilayah di Indonesia mendadak waswas. Banjir selalu mengancam seketika
juga.Sudah dapat kita tebak, terjadilah banyak peristiwa banjir di berbagai
tempat. Mulai dari kawasan pedesaan hingga perkotaan, Pulau Jawa maupun luar
tak luput dari singgahan sang banjir. Selain itu juga banjir dan hujan yang
cukup deras juga membuat di berbagai daerah terjadi bancana longsor, terutama
di daerah yang berbukit dan didiami manusia.
Banyak korban yang sangat
terganggu dan menderita kerugian material dan non material yang tak sedikit.
Hal ini seharusnya dapatmenyadarkan kita kembali, bahwa bencana senantiasa
mengintai kita. Ada yang bilang Indonesia adalah negeri yang rawan bencana.
Betul, mengingat Indonesia dilalui 2 cincin api dari sirkum mediterania maupun
sirkum pasifik. Sehingga banyak terdapat gunung berapi di Indonesia yang dengan
seketikadapat meningkatkan aktivitasnya. Selain itu, Indonesia juga rawan gempa
tektonik akibat letak geologi Indonesia yang merupakan pertemuan tiga lempeng
berbeda. Ini yang beberapa kali menyebabkan bencana Tsunami di negeri kita.
Tetapi, kita tak boleh hanya bisa mengutuk dan menyalahkan hal tersebut. Ada
banyak penyebab yang membuat bencana itu tiba. Gampangnya faktor Manusia dan
faktor alam.
Mengamati bencana banjir yang
banyak terjadi, kebanyakan ialah faktor manusia. Bahkan anomali cuaca juga
andil manusia yang sering merusak lingkungan. Sedangkan Gunung Berapi jelaslah
merupakan faktor alam. Terjadinya banjir di Jakarta atau bandung baru-baru ini
misalnya ialah karena kurang adanya perencanaan tata ruang yang baik dan jelas
implementasinya. Banyak kota-kota besar di Indonesia seolah abai dengan tata
ruangnya sekian lama. Misalnya, kasus berubahnya peruntukkan lahan resapan
menjadi perumahan dan bangunan lainnya. Kota ini berkembang seolah tanpa aturan
dan kendali. Contoh mudah ialah banyaknya pemukiman dibangun di sempadan
sungai-sungai,dan waduk-waduk ibukota. Padahal
seharusnya pinggiran sungai itu harus bebas bangunan sekian meter. Karena,
kalau hujan deras ada kemungkinan bahwa air sungai meluap meluber ke
pinggir-pinggirnya, sehingga sangat berbahaya jika didirikan bangunan/tempat
tinggal di situ. Apalagi, kebiasaan buruk kebanyakan warga kita yang sudah
bermukim secara illegal, juga ikut banyak membuang sampah sembarangan yang
jelas membuat pendangkalan sungai serta mampatnya aliran air. Sungai yang
semakin dangkal dan mengendaap itu jugalah yang digunakan oleh slum dwellers
ini sebagai fondasi mendirikan rumah lebih menjorok ke sungai lagi. Maka tidak
usah heran banjir seolah menjadi agenda rutin di ibukota. Ditambah lagi dengan
derasnya air hujan, lengkaplah sudah.
Hal lain juga adalah tidak
adanya/kurang baiknya saluran air untuk mengalirkan/menampung air hujan. Ada
yang terlalu kecil, ada yang mampat. Kebanyakan dari itu adalah karena gorong-gorong
yang kurang besar dan lagi-lagi sampah yang menyumbat aliran air. Sampah ini
juga merupakan problem yang amat serius ketika kita bicara banjir. Sampah ini
adalah faktor manusia yang tidak peduli dan tidak memiliki kesadaran akan
kebersihan.
Kekurangan lahan hijau juga
memperparah banjir yang terjadi di berbagai tempat. Lahan hijau yang minim dan
berganti menjadi bangunan beton membuat air sulit untuk terserap ke tanah.
Sekali lagi, pengelolaan lahan yang buruk menyebabkan semua ini. Semestinya
ketika suatu kota berkembang pesat. Harus segera ada desain dan arah yang jelas
ke mana dan seperti apa kota ini ke depannya. Desain itulah yang harus menjadi
acuan dan konsep yang harus dipatuhi oleh siapapun yang ingin mendirikan
bangunan di kota tersebut. Jadi, ada pembagian, misalnya ini zona
perkantoran/ekonomi, zona pemukiman, zona hijau. Desain ini bisa diupdate seiring
perubahan kondisi setempat dan berjalannya waktu. Tidak bisa lagi bikin
bangunan di mana-mana. Harus sesuai dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah)
yang telah ada. Pengawasan dari dinas terkait harus dilakukan secara rutin,
ketat dan tegas. Jangan ragu pula untuk menindak tegas segala pelanggaran yang
ada. Karena kalau dibiarkan, akan semakin ngawur dan melenceng dari desain yang
ada. Jadi harus jelas berapa persen lahan untuk penghijauan, berapa persen
bangunan. Agar hidup warga kota ini seimbang dan menyehatkan. Kota/daerah yang
teratur tentu akan memudahkan pengelolaan dan menghindarkan dari berbagai macam
bencana. Ketika mendirikan bangunan pun, harus jelas apa peruntukannya kelak.
Menurut saya, agar tidak terjadi lagi keamburadulan pengelolaan tanah dan tata
ruang di kota, sebaiknya Dinas Tata Ruang mendesain terlebih dahulu kira-kira
daya tampung kota itu, potensi pertumbuhan manusianya bebrapa waktu ke depan,
dsb. Lebih baik, apabila jaringan jalan didesain dan direncanakan terlebih
dahulu secara komprehensif dan disesuaikan peruntukan bangunan untuk jangka
menengah dan panjang. Jadi, meskipun ada lahan kosong mungkin puluhan hektar/
lebih bukan berarti bisa seenaknya membikin bangunan yang banyak. Jalan-jalan
utama yang telah didesain seberapa panjang lebar dan lokasinya oleh
DCKTR/bappeko setempat harus dipatuhi. Tidak boleh mengubah ketentuan ukuran
dan panjang desain jalan yang telah didesain untuk kepentingan lain seperti
bangunan yang terlalu banyak/luas. Maksudnya jangan sampai jalan yang
direncanakan untuk 3 jalur, menjadi hanya 2 jalur setelah pembangunan itu
selesai, karena itu sudah menyalahi desain yang ada. Jadi, pengembang atau siapapun
dalam rencana pendirian bangunan dan jalan baru ,misalnya, harus membicarakan
dan berdiskusi dahulu dengan DCKTR/bappeda setempat. Tidak boleh ketika, sudah
dapat IMB, kemudian bebas mengepras jalan/lahan yang ada. Denah dan rencana
pembangunan yang telah diijinkan haruslah sesuai spek ketika pembangunan
berlangsung. Jadi, ketika desain jaringan jalan utama yang diperkirakan sudah ada
bayangan dan gambaran sperti apa, otomatis bangunan yang akan
dibangun/investasi yang akan datang tinggal menempati spot-spot yang ada sesuai
peruntukan.
Tidak bisa lagi seorang mempunyai
tanah kosong, langsung membangun semaunya dia. Dilihat dulu di mana lahan itu,
dan cocoknya buat apa. Sekarang kan, masih sering ya kita saksikan pokoknya ada
tanah kosong, meski sangat memaksa, mereka main sikat jadi ruko, toko, mall,
apartemen, rumah dll. Mungkin prinsip mereka “Yang penting bisnis mengepul”,
mesti mengakibatkan kemacetan/polusi/dan gangguan lainnya. Tata ruang ini juga
memegang peranan penting ketika bencana gunung berapi terjadi. Tidak bisa semua
gunung kita samakan. Gunung berapi aktif tentu lebih berbahaya bagi warga
sekitarnya, ketimbang gunung yang kurang aktif/mati. Maksud saya harus ada
batasan yang jelas berapa jarak minimal sebuah gunung (yang sekiranya aktif)
dengan pertanian/pemukiman warga sekitar. Hal ini penting untuk keselamatan
warga. Ketika pertanian/perkebunan semakin mendekati gunung berapi yang aktif
misalnya, maka akan semakin dekat pula risiko kerugian kesehatan dan
keselamatan warganya. Seperti Gunung Sinabung, Merapi, dll yang cukup aktif,
semestinya daerah rawan bencana seperti itu lebih baik direlokasi dan
dikosongkan dari aktivitas penduduk. Ini tugas pemerintah untuk memberi
pengertian sekaligus alternatif pekerjaan yang lebih aman dengan mengurangi
risiko kerugian warga. Jadi, kejadian pengungsian, korban tewas, terserang
penyakit bisa semakin dikurangi . Yakni dengan menjauhkan pemukiman/lahan
garapan yang terlampau membahayakan bagi warga. Selain itu daerah dataran
tinggi seperti pegunungan/perbukitan biasanya merupakan daerah hulu dari
sungai, yang harus dijaga keaslian dan kehijauannya sebagai lahan resapan. Jika
banyak hutan dihilangkan/berubah fungsi tentu, potensi banjir dan longsor
senantiasa menghantui warga sekitar maupun warga yang menghuni daerah hilir.
Contohnya balik lagi seperti kasus banjir di Jakarta yang kompleks. Salah satu
sebab dahsyatnya banjir itu adalah, rusaknya wilayah hulu di kawasan Bogor.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa Bogor adalah salah satu daerah wisata yang
begitu digemari warga Jakarta dan sekitarnya. Sayangnya hal tersebut membuat
lingkungan wilayah hulu seperti Puncak, dll menjadi rusak. Lahan yang
semestinya hutan hijau berubah menjadi villa mewah, rumah makan dan lahan
pertanian. Ya, tak heran lah, air mengalir makin kencang, karena berkurang
drastisnya pepohonan yang menyangga dan menyerap air ketika hujan turun. Inilah
pula yang mengakibatkan longsor. Upaya untuk mengembalikan fungsi lahan yang
sesuai sudah dimulai, saya hargai pembongkaran villa-villa liar oleh Pemerintah
Bogor dan pembersihan sempadan waduk di DKI, atau yang lebih hangat kasus
banjir Bandang Garut (Selasa 20 September 2016) lalu menurut Wahli Jawa Barat
ada 4 indikasi penyebab, diantaranya adalah :
- Aliran Air dari 35 Anak Sungai Yang Semuanya Bermuara di DAS Cimanuk Hulu dari 11 Kecamatan, 6 Gunung (Mandala Giri, Papandayan, Drajat, Cikuray, Cikaracak dan Guntur)
- Keberadaan Bendungan Copong Yang Memperlambat Aliran Sungai Cimanuk, Perbedaan Ketinggian Bendungan Copong dengan Wilayah Di Atasnya Yang Terkena Dampak Banjir Hanya Sekitar 6 Meter
- Kondisi Hutan Yang Menyusut Oleh Penebangan, Pertanian, Bisnis Wisata dan Pertambangan
- Alih Fungsi Lahan Resapan Air di Wilayah Perkotaan Yang Semakin Masif/Tidak Terkendali, Wilayah Perkotaan Garut Belum Memiliki RDTRK.
Meski, harus diakui upaya baik
seperti ini cukup terlambat dieksekusi. Upaya seperti ini harus lebih
ditingkatkan lagi kuantitasnya. Maka belajar dari peristiwa-peristiwa bencana
yang melanda negeri ini, kita yang tidak menjadi korban bencana sudah
sepatutnya bersyukur atas kemurahanNya. Meski begitu kejadian ini sudah semestinya
membuat kita semua lebih mawas diri lagi. Apa yang telah kita perbuat, apa yang
harusnya kita lakukan, apa antisipasi kelak agar tak terulang lagi. Jangan
sampai peristiwa-peristiwa ini hanya menjadi kesedihan sesaat kita ketika
menyaksikannya dan ketika sudah lewat kita kembali santai. Jangan lantas
berpuas diri saja dengan membantu dan menyelamatkan korban pada saat sudah
terjadi bencana.
Upaya penanganan dan perbaikan
harus selalu dikerjakan, tidak usah menunggu korban lagi. Warga masyarakat pun
sebaiknya mau sadar dan merubah perilaku buruk mereka, karena ini juga
kesalahan kita bersama. Sinergi Antara pemerintah dan rakyat harus terjalin
erat dan mesra. Warga juga tidak boleh hanya mengeluh dan menuntut, tetapi juga
harus mau nurut dan patuh pada pemerintah, karena itu dilakukan semata-mata
demi kebaikan mereka. Sebaliknya pula, pemerintah juga harus selalu bekerja
keras dan total untuk keselamatan rakyatnya. Tidak usah lagi saling
jegal-menjegal, tarik ulur kepentingan yang bernuansa politik. Sebaiknya wakil
rakyat dan elit politik juga lebih saling melancarkan dan mempermudah
pembangunan/penanganan agar tidak terjadi bencana lagi. Bukan saatnya lagi,
saling menyalahkan, lempar tanggung jawab dan memanfaatkan situasi yang buruk
ini. Warga sudah muak akan hal-hal semacam itu. Terakhir pelajaran penting bagi
kita, tuk lebih memberi perhatian serius dan peduli dengan tata ruang dan
lingkungan yang ada. Ini juga PR besar pemerintah. Karena tata ruang yang salah
sangat berpotensi menimbulkan bencana ekologi.
sumber : dari berbagai sumber
https://img.okezone.com/content/2015/02/09/338/1103455/93-wilayah-di-ibu-kota-terendam-banjir-Ujw7cDUDp7.jpg
http://indowarta.com/wp-content/uploads/2016/09/Tanah-Longsor.jpg
http://assets.kompas.com/data/photo/2016/09/22/0845049012-fot011ab44780x390.JPG
https://cdn.tmpo.co/data/2016/10/24/id_550092/550092_620.jpg
https://www.facebook.com/walhi.jabar
https://img.okezone.com/content/2015/02/09/338/1103455/93-wilayah-di-ibu-kota-terendam-banjir-Ujw7cDUDp7.jpg
http://indowarta.com/wp-content/uploads/2016/09/Tanah-Longsor.jpg
http://assets.kompas.com/data/photo/2016/09/22/0845049012-fot011ab44780x390.JPG
https://cdn.tmpo.co/data/2016/10/24/id_550092/550092_620.jpg
https://www.facebook.com/walhi.jabar
No comments:
Post a Comment