Tuesday, June 6, 2017

Cirebon Sebelum dan Setelah Datangnya Agama Islam




 CIREBON SEBELUM DAN SETELAH DATANGNYA AGAMA ISLAM


Oleh: Drs. RA. Opan Safari Hasyim, M.Hum
 

A.      Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Cirebon Sebelum dan Setelah Datangnya Agama Islam
Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai kehidupan sosial Ekonomi masyarakat Cirebon pada masa Islam, tidak ada salahnya jika kita sedikit mengulas mengenai latar belakang kehidupan sosial ekonomi masyarakat Cirebon pada masa Hindu dan masa transisi menjelang datangnya Islam. Bahasan ini cukup menarik sebab kebijakan-kebijakan social ekonomi Cirebon pada masa Islam tidak bisa dilepaskan begitu saja, karena memiliki keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan.
Dalam naskah Negara Kretabhumi sargah I parwa I disebutkan bahwa, “Sejak tahun 80 saka hingga 230 saka, sangatlah banyak kelompok pendatang yang menumpang berbagai perahu dari negeri Bharata dan Bhenggali yang bermukim di Nusantara. Di antara mereka yang berasal dari negeri Bharata terdapat Resi Waisnawa, mereka mengajarkan agamanya kepada penghulu masyarakat, tempat mereka bermukim, khususnya di Jawa Barat. Sedangkan Resi Syaiwa banyak yang bermukim di Jawa Timur.” Di antara penganut agama Hindu sekte pemuja Batara Wisnu tersebut adalah Resi Sentanu Murti yang bermukim di Desa Krandon kecamatan Talun. Wilayah Kecamatan Talun adalah daerah yang dialiri tiga hulu sungai yaitu sungai Grampak yang mengalir dari desa Sarwadadi menuju ke desa Sampiran, kemudian sungai Suba yang mengalir dari desa Patapan menuju Sampiran serta yang terakhir adalah sungai Cirebon Girang yang mengalir dari desa Cirebon Girang juga menuju ke Sampiran. Di Desa Sampiran itulah ketiga hulu sungai tersebut bertemu menjadi satu, yang diberi nama oleh Resi Sentanu dengan nama Gangganadi.
Sungai Gangga atau di sebut juga Silu Gangga, memberikan berkah yang cukup besar bagi masyarakat yang hidup dari hasil bumi. Sungai Gangga mengalir dari wilayah Cirebon Girang (Cirebon dataran tinggi) sampai ke wilayah Cirebon Larang (Cirebon pesisir). Dari hulu hingga ke muara sungai Gangga di kampung Kesunean panjangnya sekitar dua puluh lima kilometer (± 25 km). Sekitar radius lima belas kilometer (± 15 km) dari hulu dibangunlah sebuah telaga untuk menampung air dari sungai gangga yang disebut Situ  Gangga. Situ Gangga dapat mengaliri sawah-sawah petani yang berada lebih jauh dari jangkauan sungai Gangga.
Selain berfungsi sebagai irigasi pertanian, sungai Gangga juga menjadi transportasi utama menuju ke pedalaman. Lalu lintas utama yang menghubungkan kerajaan Indraprahasta yang didirikan oleh Resi Sentanu, dengan kerajaan Manca menggunakan jalur ini.
Besarnya peran sungai Gangga dalam menopang kehidupan masyarakat Indraprahasta pada waktu itu, menjadikan sunggai ini dikeramatkan. Setiap setahun sekali warga Cirebon pada saat itu melakukan upacara pensucian diri di sungai Gangga. Dalam naskah yang ditulis oleh P. Wangsakerta, upacara tersebut disebut Matirta medha atau di sungai Gangga India sendiri disebut upacara Mahakumba. Upacara Matirta medha ini dilaksanakan setiap Rebo Wekasan bulan Suro (Rabu terakhir di bulan Suro). Ketika Sunan Drajat membantu syiar Islam di Cirebon upacara ini disebut upacara Ngirab (menghilangkan hadats yang menempel pada tubuh). Sunan Drajat tidak melarang upacara ini, tetapi menyelipkan ajaran Islam dalam upacara Ngirab. Yaitu dengan mengawali upacara Ngirab dengan niat cara Islam dan menutupnya dengan wudlu.
Pentingnya sungai Gangga yang berfungsi sebagai sarana pencucian diri juga diberitakan dalam PPRBN.4.1;219/220, “Banyaknya orang yang mandi di sungai Gangga untuk menghilangkan dosa seluruh perbuatan selama hidup, hal ini seperti yang dilakukan di negeri Bharata yaitu mengikuti adat kebiasaan di negeri asal maharaja Punawarman.” Sebagai maharaja yang memerintah Tarumanegara yang merupakan kerajaan pelindung Indraprahasta, maharaja Purnawarman menganggap penting keberadaan sungai Gangga tersebut, sehingga pada hari kedua belas paro gelap bulan margasirah sampai dengan hari kelima belas bulan posya tahun 332 tarikh Saka (410 M). Keberadaan sungai Gangga perlu diperkokoh dan diperindah. Untuk kepentingan upacara tersebut, maharaja Purnawarman memberi hadiah 500 ekor sapi, pakaian-pakaian, 20 ekor kuda dan seekor gajah kepada raja Indraprahasta.
Setelah maharaja Purnawarman mangkat, tahtanya dilanjutkan oleh putranya Wisnuwarman, tetapi terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh adik maharaja Purnawarman, Cakrawarman. Namun pemberontakan tersebut dapat ditumpas oleh raja Indraprahasta yang bernama Wiryabanyu. Sehingga kedudukan Indraprahasta dengan sungai Gangganya menjadi semakin penting di mata kerajaan Tarumanegara.
Berbeda dengan di kawasan sebelah selatan Cirebon,  di bagian utara wilayah Cirebon (sekarang masuk ke dalam Kecamatan Kapetakan), masyarakatnya sebagian besar hidup dengan mata pencaharian sebagai nelayan. Sebelum mengalami pendangkalan, wilayah yang menjadi bagian dari kerajaan Singaphura ini memiliki tiga aliran sungai besar yang dapat dilalui oleh perahu-perahu sampai ke wilayah pedalaman. Sungai-sungai tersebut adalah Kali Bondet, Bengawan Celancang, dan Kali Kapethakan. Dari sungai Bondet, perahu dapat masuk hingga ke daerah Cangkring. Adapun Bengawan Celancang dapat dilayari perahu hingga sampai ke daerah Jamblang. Namun sungai yang bermuara di Desa Muara tersebut mengalami pendangkalan hebat,sejak perintah kolonial mengalihkan saluran dari sungai jamlang ke Bondet. Sehingga sekarang lebarnya hanya kurang lebih dua meter saja.Sementara peran sungai Bondet berangsur-angsur menggantikan peran Bengawan Celangcang.sehingga masyarakat ada yang menyebutnya dengan nama Bengawan Ciliru.  Di bagian paling utara dari wilayah kerajaan Singhapura ini mengalir sungai Kapethakan. Sungai Kapethakan dapat dilayari perahu hingga sampai daerah Ciwaringin. Selain memiliki mata pencaharian sebagai nelayan, warga Singhapura juga banyak yang berprofesi sebagai pedagang. Sebab Singhapura merupakan wilayah terdepan di antara kerajaan-kerajaan kecil yang ada di Cirebon pada masa Hindu. Singhapura berarti gerbang keluar masuknya komoditi perdagangan dari Manca (luar negeri) ke seluruh wilayah Cirebon. Sesuai dengan nama kerajaannya singha berarti depan, sedangkan pura berarti kerajaan. Singhapura adalah kerajaan yang berada di depan atau terletak di bibir pantai utara laut Cirebon.
Kerajaan Singhapura memiliki pusat pemerintahan di Mertasingha. Dalam Purana kata amrita[1] berarti air kehidupan. Sebagai sebuah wilayah maritim, masyarakat Singhapura sangat akrab dengan segala hal yang berkaitan dengan air. Di kawasan ini, terutama di daerah Kecamatan Kapetakan banyak dibangun telaga. Telaga yang sampai sekarang masih dapat kita saksikan adalah telaga Jabir (di Karangkendal) dan telaga Jayasena. Berbeda dengan di wilayah lainnya, telaga di sini selain berfungsi sebagai cadangan air minum dan mandi juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan air untuk upacara-upacara ritual. Upacara-upacara ritual yang dimaksud adalah upacara Nujubulan. Pada waktu Islam masuk ke Cirebon, telaga-telaga warisan zaman Hindu ini tetap dipertahankan. Untuk telaga yang sudah mengalami pendangkalan diganti dengan membangun telaga yang baru yang lebih luas. Telaga yang dibangun pada masa Islam disebut balong dalem atau balong kraton. Pada masa kolonialisme Belanda juga kebijakan terhadap sistem pengairan seperti ini tetap dipertahankan. Pihak pemerintah kolonial membangun water resource dengan nama balong negara.
Menurut Ki Akim, sesepuh dari Desa Dukuh, masyarakat dari wilayah Kecamatan Kapetakan sampai sekarang masih mengkeramatkan telaga tersebut. Bentuk penghormatan masyarakat terhadap telaga itu berupa ngunjung atau diadakan pagelaran wayang kulit siang malam, setahun sekali. Memberikan sesajen atau suguhan pada saat-saat tertentu. Air yang diambil dari tempat tersebut dianggap memiliki kekuatan tertentu (tuah).
Tradisi-tradisi yang melekat dalam kehidupan sosial masyarakat di wilayah Cirebon bagian utara ini semakin menguatkan pernyataan Pangeran Wangsakerta yang tercatat dalam teks Negarakretabhumi sargah I, parwa I, bahwa masyarakat di Jawa bagian kulon merupakan penganut Hindu sekte Waisnawa.
Kerajaan Singhapura mengalami puncak kejayaan pada masa pemerintahan Ki Jumajan Jati atau dikenal dengan Ki Ageng Tapa. Pada tahun 1401, berdasarkan catatan sejarah yang ditulis oleh P. Arya Carbon Raja Giyanti, pelabuhan Muara Jati mendapat kunjungan armada besar dari China yang dipimpin oleh Cheng Hwa.
Selama berada di Pesambangan Jati, Cheng Hwa menyarankan agar pelabuhan Muara Jati harus dilengkapi dengan Prasada Hing Tunggang Prawata (Mercusuar). Ki Ageng Tapa pun menyetujui usulan ini. Maka dibangunlah menara api tersebut di atas bukit Amparan Jati. Selain melakukan alih teknologi, di pasar Pesambangan Jati juga terjadi transaksi antara penduduk lokal dengan pendatang dari tiongkok ini. Komoditi andalan Cirebon yang berupa garam, terasi, kayu jati, beras tuton.[2]dan grabadan(rempah-rempah) Ditukar dengan komoditi dari China yang berupa bahan pakaian, guci, tembikar dan barang pecah belah lainnya.
Sejak didirikannya menara di atas bukit amparan jati, makin ramailah kunjungan kapal dagang asing dari mancanegara ke pelabuhan Cirebon. Siang dan malam banyak kapal-kapal dagang yang membongkar muatannya. Namun ada juga yang sekedar transit untuk mengisi air tawar atau singgah untuk memperbaiki kerusakan kapalnya di galangan kapal Cirebon. Sebab pada saat itu, Cirebon juga dikenal memiliki stok persediaan kayu jati yang memadai.
Setelah Ki Ageng Tapa wafat, Pangeran Cakrabuana tidak mau melanjutkan menjadi raja Singhapura menggantikan kakeknya, namun beliau membawa seluruh harta warisannya untuk membangun keraton Pakungwati. Pangeran Cakrabuana juga tetap melanjutkan kebijakan-kebijakan yang telah dirintis kakeknya ketika menjadi raja Singhapura. Salah satu kebijakan yang tetap dipertahankan adalah kebijakan ekonomi yang memprioritaskan Cirebon sebagai nagari perdagangan. Potensi pelabuhan Muara Jati tetap dijadikan gerbang utama untuk keluar masuknya komoditi perdagangan. Beras tuton, garam, terasi, tetap menjadi produk unggulan yang diprioritaskan. Bahkan untuk garam dan terasi udang Cirebon sangat terkenal di wilayah kerajaan Galuh dan Sunda Pajajaran. Garam dan terasi juga merupakan komoditi yang menjadi syarat ikatan antara kerajaan Cirebon dengan kerajaan pelindungnya Pajajaran. Setiap tahun, Pangeran Cakrabuana selalu mengirimkan upeti berupa garam dan terasi (angaturaken uyah lan trasi, mring Maharaja Sakti Pajajaran Pakuan Nagari).
Selain melanjutkan kebijakan pendahulunya yang mempertahankan pelabuhan Muara Jati sebagai golden gate-nya komoditi pertanian dan hasil maritim Cirebon, Pangeran Cakrabuana juga mengembangkan produk kerajinan. Produk kerajinan yang dikembangkan Pangeran Cakrabuana adalah kerajinan anyaman bambu, rotan, serat gebang dan gethak (gerabah). Menurut penuturan Nuryadin (alm.) kerajinan gerabah yang ada di Desa Sitiwinangun sudah ada sebelum kerajaan Cirebon berdiri, tetapi keberadaannya masih sangat terbatas. Produk-produk yang dihasilkannya juga masih berupa barang-barang untuk kebutuhan rumah tangga. Bonzan Edi juga membenarkan bahwa produksi kerajinan gerabah di Sitiwinangun ini sudah ada sejak jaman Hindu. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya gerabah jenis buyung (tempat mengambil air)[3] yang menggunakan pewarna poles hitam.
Atas potensi yang dimiliki oleh penduduk Desa Sitiwinangun tersebut, Pangeran Cakrabuana membantu memberikan masukan agar kwalitas dan diversifikasi produk yang ada di Sitiwinangun dapat ditingkatkan. Pengrajin-pengrajin desa tersebut cukup pandai sehingga mampu mengikuti bimbingan yang telah diberikan oleh Pangeran Cakrabuana dengan baik. Konon hasil gerabah yang dibuat pengrajin Desa Sitiwinangun sangat hebat sehingga tidak pecah jika dibanting. Kemudian, dengan penuh rasa bangga, mereka mempersembahkan karyanya kepada Buyut Kebagusan (nama populer Pangeran Cakrabuana di Desa Sitiwinangun), tetapi alangkah kagetnya ketika gerabah yang kwalitasnya sudah bagus tadi, kemudian dibanting oleh Ki Buyut Kebagusan hingga pecah berkeping-keping. Dengan rasa heran para pengrajin bertanya, “Mengapa mbah Buyut bersikap seperti itu?”. Kemudian dengan sangat bijak mbah Buyut Kebagusan menjawab,”Kalau kwalitas gerabah yang dihasilkan sebagus ini, nanti anak cucu kamu tidak bisa makan”. Kemudian mbah Buyut Kebagusan juga menyarankan kepada pengrajin agar lebih kreatif lagi. Diantaranya produk baru yang dibuat oleh pengrajin Sitiwinangun yang disesuaikan dengan perkembangan Islam pada saat itu adalah Padasan (tempat berwudlu). Mbesuk anak putunira bli bakal ora bisa mangan, yen bisa ngolah tempat iki. Ki kebone, ki lemae (tegalan), lan iki banyue (sungai). Artinya nanti anak cucu kamu tidak akan kelaparan kalau bisa mengolah tempat ini. Ini kebunnya, ini tanahnya dan ini airnya.Maksud dari wasiat Buyut Kebagusan ini adalah ; ini kebunya artinya,di kebun terdapat daun-daun kering yang bisa dimanfaatkan untuk proses pembakaran dan pelapis gerabah (sponge atau busa),supaya aman ketika dibawa.Adapun tanah yang diambil dari tegalan,merupakan bahan utama untuk membuat gerabah.Sedangkan air adalah bahan pendukung yang penting untuk pengolahan tanah.
Dari ilustrasi yang diceritakan secara turun temurun oleh penduduk Sitiwinangun tersebut, ada tiga langkah yang diambil oleh Buyut Kebagusan atau Pangeran Cakrabuana dalam rangka memberdayakan masyarakat Sitiwinagun. Pertama, meningkatkan kwalitas dan diversifikasi produk gerabah. Kedua, berfikir ekonomis. Ketiga, memanfaatkan potensi sumber daya alam yang dimiliki Desa Sitiwinangun.
Pelatihan yang diberikan Pangeran Cakrabuana dalam memeberdayakan ekonomi masyarakat Cirebon juga dilakukan di Desa Junti kebon Kecamatan Junti Kabupaten Indramayu. Di Kecamatan Junti dulu dikenal dengan adanya kerajinan tenun (kotrek) dari bahan serat gebang. Serat gebang adalah bahan yang dipakai untuk membuat alat-alat penangkap ikan, seperti jaring, sudu kuyem, dan sejenisnya. Tenunan dari serat gebang juga dipakai untuk membuat waring atau baju. Sampai saat ini penduduk Desa di Kecamatan Junti ini masih meyakini bbahwa pembuatan alat-alat penangkap ikan dan klambi waring ini (baju waring) merupakan warisan dari Mbah Kuwu Cerbon.
Pada tahun 1482 masehi Pangeran Cakrabuana menobatkan Syeikh syarif Hidayatullah sebagai raja pertama Cirebon. Di saat yang bersamaan juga Dewan Walisongo (Nawakamasthu) yang dipimpin oleh Sunan Ampel Denta melantik Syeikh Syarif Hidayatullah sebagai Sunan Carbon Sinarat Sundha. Penobatan tersebut ditandai dengan gelar yang diberikan kepada Syeikh Syarif Hidayatullah sebagai “Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purwabawisesa Panetep Penatagama Aulia Allahu Ta’ala Kutubil Jaman, Kholifatu Rosulillahi Sholollahu Alaihi Wasalam”.(sejarah rante kraton Kaprabonan).Dengan gelar tersebut, Syeikh Syarif Hidayatullah yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati memiliki otoritas penuh sebagai pemimpin negara dan pemimpin agama di wilayah tatar sundha (Raja Ingkang Pinandhita).
  Langkah politik pertama yang dilaksanakan oleh Sunan Gunung Jati adalah membenahi kebijkana ekonomi yang sangat berpengaruh terhadap dinamika politik di wilayang tatar sunda pada saat itu. Dengan tegas Sunan Gunung Jati menghentikan pengiriman upeti (bulu bekti) yang berupa garam dan terasi kepada Pajajaran. Tentu saja langkah ini mendapatkan reaksi yang sangat hebat dari Pajajaran, tetapi Sunan Gunung Jati telah memperhitungkan dengan matang. Kesiagaan armada laut dan angkatan darat Demak yang berada di Cirebon sudah dipersiapkan untuk mengantisipasi keadaan. Setelah lolos dari ujian menghadapi reaksi Pajajaran, Sunan Gunung Jati memiliki kedaulatan penuh dalam menjalankan pemerintahan. Seluruh kebijakan pemerintahan, baik politik maupun ekonomi dijalankan dengan spirit Islam. Aturan bulu bekti atau pajak yang telah dijalankan secara sentralistik dihapuskan dan diganti dengan pola atur bekti. Atur bekti adalah anjuran menyisihkan sebagian dari harta yang dimilikinya untuk diserahkan kepada pemerintah dengan tata cara Islam dan dilakukan dengan cara sukarela tanpa paksaan. Bentuk atur bekti kepada pemerintah bisa berupa zakat, infaq dan sodaqoh. Sunan Gunung Jati juga mewajibkan membayar zakat, infaq dan sodaqoh kepada seluruh anggota keluarga dan keturunannya. Wangsit Sunan Gunung Jati agar keluarga dan keturunannya melaksankan zakat, infaq dan sodaqoh sampai sekarang masih diingat, yaitu “ingsun titip tajug lan fakir miskin”.
Dengan pola pembangunan yang berkesinambungan, mulai sejak dirintis oleh Ki Ageng Tapa, Pangeran Cakrabuana sampai pada pemerintahan Sunan Gunung Jati, Cirebon mencapai kehidupan yang makmur seperti yang dilukiskan dalam teks Purwaka Caruban Nagari: Ike Caruban hana ta sawijine nagari kerthhaning pribumi, ri huwus mwang sinanggurit sapurana, tatkala nagari gung ike ng’siwi susuhunan jati purbawisesa, yeka salatunggal sang kamasthu ing jawadwipa. (Bahwa negara Cirebon adalah suatu negara yang penduduknya makmur seperti yang sudah diceritakan, ketika negara itu diperintah oleh Susuhunan Jati Purbawisesa, yaitu salah seorang wali di pulau Jawa). (Dasuki, H.A., 1978;2).
Dari masa transisi Hindu ke Islam hingga Cirebon menjadi pusat kekuasaan Islam, pelabuhan merupakan prioritas utama dalam perputaran roda ekonomi Cirebon. Sunan Gunung Jati mewarisi tiga pelabuhan penting dari pendahulunya, tiga pelabuhan penting tersebut adalah pelabuhan Muara Jati (di timur komplek makam Sunan Gunung Jati sekarang) sebagai pelabuhan besar di pesisir utara pulau Jawa Barat saat itu, dan pelabuhan Caruban (pelabuhan Cirebon sekarang), serta pelabuhan berukuran sedang di Japura. (Sunardjo, 1983;2). Melihat topografi dan toponimi Cirebon saat ini kemungkinan lokasi pelabuhan Muara Jati tersebut terletak diantara dua aliran sungai besar, yaitu sungai Bondet dan bengawan Celancang. Namun kondisi bengawan Celancang mengalami pendangkalan hebat, sehingga lebar dari bengawan tersebut hanya kurang dari tiga meter saja. Namun demikian, penduduk yang tinggal di wilayah itu masih ingat bahwa dahulunya sungai tersebut berukuran sangat lebar, sehingga bisa disinggahi perahu dan kapal-kapal kecil sampai ke pedalaman. Nama Celancang sendiri secara etimologis berasal dari kata cangcang yang berarti tempat penambatan perahu. Begitu pula dengan nama dusunnya sampai sekarang disebut blok pabean. Selain dialiri dua sungai besar, pelabuhan Muara Jati ada sebuah kanal yang disebut kali Condong. Kali Condong dapat dilayari oleh perahu-perahu kecil hingga sampai ke pedalaman Pesambangan (sampai ke desa Babadan) kemungkinan dibuatnya terusan ini merupakan antisipasi akibat pendangkalan bengawan Celancang. Adapun lokasi pelabuhan Caruban sekarang, terletak di sekitar pelabuhan Cirebon sekarang. Diantara lokasi pelabuhan Caruban ada dua sungai yang tidak memiliki hulu (kanal), yaitu sungai Cipadu dan Sukalila. Sungai Cipadu atau kali Cipadu kemungkinan dibangun untuk membuka akses dari Keraton Pakungwati ke pelabuhan, sedangkan sungai Sukalila yang dalam babad Cirebon sering diceritakan, merupakan terusan (kanal) yang sengaja dibuat agar perahu-perahu kecil bisa masuk ke pedalaman. Dalam naskah-naskah babad, kanal Sukalila sering diceritakan. Konon kanal tersebut telah ada sejaka jaman Sunan Gunung Jati. Nama Sukalila juga diberikan berdasarkan toponimi dari tempat tersebut, yaitu ketika dipotongnya rambut Syeikh Magelung Sakti dengan sukarela (suka-lillah) oleh Sunan Gunung Jati dengan menggunakan dua jari tangan. Kehebatan Sunan Gunung Jati dalam memotong rambut Syeikh Magelung sakti dianalogikan dengan istilah karanggetas. Jangankan hanya memotong rambut, batu karang yang sangat keras juga akan dengan mudah dipotong hanya dengan menggunakan dua jari tangan Sunan Gunung Jati.
Berbeda dengan cerita lisan dan naskah babad, Pangeran Wangsakerta dalam naskah Negarakertabhumi sargah 3 parwa 1 menceritakan bahwa Karanggetas adalah daerah yang tanahnya labil. Pedati, kereta, atau kendaraan lainnya sering terperosok di daerah Karanggetas. Labilnya tanah di wilayah Karanggetas terkait dengan aktifitas pelabuhan dan cuaca ketika musim hujan. Mungkin pada abad ke-17 letak Karanggetas dengan laut tidak sejauh sekarang sehingga ketika musim hujan dan air laut pasang (rob), airnya masuk sampai ke daratan sehingga kondisi tanah menjadi labil.
Dibangunnya dua kanal di sekitar wilayah Caruban pada masa Sunan Gunung Jati membuktikan telah ramainya aktifitas perekonomian Cirebon, khususnya di wilayah pelabuhan yang menjadi main gate keluar masuknya komoditi yang ada di Cirebon dengan komoditi luar. Adapun sungai yang bisa dilayari perahu sampai ke pedalaman di sekitar wilayah pelabuhan Caruban adalah sungai Gangga atau sungai Kriyan dan sungai Kedungpane. Akan tetapi, sungai Kedungpane tidak bisa dilayari terlalu jauh.
Kondisi pelabuhan Japura merupakan pelabuhan sedang, tidak seramai pelabuhan Caruban dan pelabuhan Muara Jati walaupun di wilayah ini, di sekitar Kecamatan Astanajapura ada tiga sungai besar yang bisa dilayari perahu sampai ke pedalaman. Sungai-sungai tersebut adalah sungai Kalibangka, sungai Pengarengan, dan sungai Waru Duwur. Kemungkinan besar wilayah pelabuhan Japura lebih dikhususkan untuk pelabuhan ikan.
Analisis ini juga didukung oleh pendapat Susanto Zuhdi bahwa asal-usul Cirebon dapat dijelaskan dari perkembangan abad ke-15 dan ke-16 sebuah negeri Cirebon dari suatu lokalitas tertentu bernama Lemahwungkuk menuju kota bandar yang menggerakkan aktifitas perdagangan ke luar daerah (antar pulau dan antar benua) melalui modal pelayaran laut, Cirebon juga dapat dikenal melalui perekembangan keagamaan yang merupakan pusat penyebaran agama Islam, dengan tokohnya Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati. Dengan kata lain Cirebon memenuhi syarat sebagai bandar yang berperan dalam berbagai fungsi ekonomi, sosial, budaya dan politik. (Zuhdi, 1996;259-260).
Perekembangan pelabuhan Cirebon sebagai bandar dagang makin populer di mancanegara. Setiap hari selalu saja didatangi oleh kapal-kapal dagang asing yang singgah di pelabuhan Muara Jati, pelabuhan Caruban ataupun pelabuhan Japura. Pesona pelabuhan Cirebon tidak hanya mengundang pedagang-pedagang asing untuk berniaga di Cirebon, tetapi juga memicu niat jahat para perompak yang mengganggu jalur perniagaan ini. Mungkin bukan suatu kebetulan ketika kapal yang dibajak oleh bajak laut disekitar perairan Gebang adalah kapal yang ditumpangi oleh Pangeran Gung Anom, putera Sunan Gunung Jati yang sedang dipersiapkaan sebagai suksesor untuk melanjutkan estapet pemerintahan Cirebon. Pangeran Gung Anom atau Pangeran Bratakelana bertempur dengan gigih melawan para perompak ini sebelum akhirnya dibokong dengan tombak dari belakang.
Gugurnya Pangeran Bratakelana di perairan sekitar pelabuhan Cirebon, membuat hati Sunan Gunung Jati gundah.Peningkatan kewaspadaan terhadap keamanan laut Cirebon tidak bisa disepelekan lagi. Ki Ageng Bungko yang menjadi Senopati Sarwajala[4] Cirebon, mencoba membesarkan hati Sunan Gunung Jati. Dia berjanji akan menumpas habis seluruh bajak laut yang telah mengganggu gerbang perekonomian Cirebon. Inisiatif Ki Ageng Bungko didukung oleh adipati keling sebagai kepala pasukan bhayangkara[5] yang juga memiliki kemampuan pertempuran bahari. Pangeran Carbon sebagai senopati Yudhanegara[6] juga mendukung rencana ini. Akhirnya, Sunan Gunung Jati segera memerintahkan pasukan untuk menumpas bajak laut ini dengan menyerang pangkalannya, pasukan Carbon yang berkekuatan 2.700 orang dipimpin oleh Dipati Keling, Pangeran Carbon (Putra Pangeran Cakrabuana, kakak sepupu Susuhunan) dan Ki Gedeng Bungko. (Sunardjo, 1983;68-69).
Kemudian bajak laut yang beroperasi di pantai timur Cirebon dapat ditumpas habis oleh pasukan Cirebon. Jenazah Pangeran Bratakelana kemudian dikebumikan di Desa Mundu[7] untuk mengenang peristiwa tersebut Pangeran Bratakelana diberi gelar Anumerta dengan sebutan Pangeran Seda Ing Lautan.
Tragedi gugurnya Pangeran Bratakelana di wilayah perairan Gebang, menorehkan luka yang sangat mendalam di hati Sunan Gunung Jati. Atas kejadian tersebut Sunan Gunung Jati sempat menyampaikan ipat-ipat / petatah-petitih (peringatan) kepada keturunannya,”Wis mulai sekien sira kabeh aja pada lelayaran”. (Sudah mulai dari sekarang kamu semua jangan ada yang pergi berlayar). Sebagian besar warga keturunan keraton sampai sekarang masih menganggap ipat-ipat Sunan Gunung Jati tersebut sebagai bentuk larangan untuk pergi lewat jalur laut atau bahkan secara lebih luas diartikan sebagai bentuk kemunduran dari penguasaan negara Cirebon terhadap wilayah perairan. Padahal ipat-ipat atau wasiat Sunan Gunung Jati itu merupakan bentuk warning kepada warga Cirebon agar selalu meningkatkan kewaspadaan baik di laut maupun di darat. Sebab ancaman terhadap stabilitas perekonomian Cirebon dapat terjadi kapan saja dan di mana saja. Atau bisa saja sebetulnya wasiat Sunan Gunung Jati masih ada kelanjutannya atau memiliki makna bersayap (ameleoratif). Bisa saja kalimat tersebut lengkapnya berbunyi seperti  ini,”Wis mulai sakien sira kabeh aja pada lelayaran, yen durung mampu.” Karena dalam kondisi duka cita anak kalimat “yen durung mampu” tidak terdengar. Yang terdengar hanya bunyi induk kalimatnya “Wis mulai sakien sira kabeh aja pada lelayaran.
R.A. Unang Sunarjo sendiri berpendapat bahwa “Peristiwa ini (gugurnya Pangeran Bratakelana) benar-benar merupakan peringatan bagi para pemimpin laskar Cirebon untuk lebih meningkatkan kewaspadaan baik di laut maupun di darat karena sewaktu-waktu gangguan keamanan dari bajak laut ini kalau tidak dihancurkan tuntas akan terjadi lagi dan dapat menyerang perahu-perahu dagang yang akan singgah di pesisir Carbon atau di pelabuhan Muara Jati, sehingga mungkin saja akan menjadikan hambatan besar bagi ramainya perdagangan melalui pelabuhan dan hambatan bagi kontak Cirebon dengan Demak, Ampel dan Banten yang sudah terjalin baik sekali.” (Sunardjo, 1983;69).
Sebetulnya penurunan kwalitas terhadap pengendalian wilayah perairan Cirebon tidak terjadi pada masa pemerintahan Gunung Jati, walaupun pasca kematian pangeran Gung anom, beliau sempat mengeluarkan ipat- Ipat untuk melarang menggunakan jalur laut. Hal yang sama juga pernah terjadi sebelumnya, ketika kakak pangeran Bratakelana gagal menjadi imam sholat jum’at.[8] Pangeran Jayakelana langsung dihukum mati[9] oleh suatu sidang pengadilan yang langsung dipimpin oleh sunan Gunung jati. Setelah kejadian dihukumnya pangeran Jayakelana, Sunan gunung jati segera membuat statement (ipat-ipat) “Wis mulai sekien aja ana pangeran kang khotbah” banyak wargi keturunan keraton Cirebon yang menterjemahkan wasiat tersebut secara harfiah. Maksud yang sebenarnya dari larangan para pangeran berkhotbah terletak pada kata “ pangeran” sebab pada masa sunan gunung jati istilah pangeran memiliki makna khusus yaitu orang-orang yang sudah memahami ilmu tauhid atau dalam bahasa Cirebon ilmu Kepangeranan. Pada jaman kolonial dimana kerajaan Cirebon telah kehilangan kedaulatannya, kata pangeran hanya berkonotasi pada sebuah jabatan dalam ketata negaraan, tidak memiliki dimensi spiritual.
Jadi jika menganalogikan kejadian sebelumnya (wafatnya pangeran Jayakelana) tidak bisa dibenarkan adanya pendapat setelah wasiat larangan pergi melaut oleh Sunan Gunung jati, terjadi penurunan kekuatan angkatan laut Cirebon. Sebab tidak ada alasan yang sesuai untuk membenarkan pendapat tersebut. Jika yang digunakan landasan untuk membenarkan karena alasan kesedihan, maka sunan gunung jati telah mempersiapkan pangeran mas muhammad arifin untuk suksesi kepemimpinan selanjutnya. Apalagi setelah selang beberapa lama dari kejadian tersebut Cirebon kedatangan armada kerajaan Demak yang dipimpin oleh Maulana fadillah  khan al pasehi atau Wong agung saking pasehi. Sunan gunung jati manyambut kedatangan menantunya dengan suka cita. Sunan gunung jati juga telah mempersiapkan panglima-panglima perang yang tangguh untuk menghadapi armada Portugis. Pangeran Cirebon (kakak sepupu sunan gunung jati) sebagai senopati yudhanega (panglima perang kerajaan Cirebon) ditunjuk langsung untuk memimpin tentara Cirebon. Adipati keling yang memiliki kemampuan di darat dan di laut sama baiknya, juga ditunjuk untuk membantu. Dipati cangkuang juga ditunjuk untuk membantu. Selain itu tidak ketinggalan Ki ageng bungko yang sangat ahli dalam pertempuran laut dan menguasai karakter laut Jawa.
Pada tahun 1526 sunan gunung jati memberi perintah kepada pasukan gabungan armada Cirebon-Demak untuk menyerang Portugis di Sunda kelapa. Kekuatan gabungan armada Cirebon dan Demak berjumlah seribu empat ratus lima puluh dua orang. Banyak versi dan teori yang menjelaskan tentang berlangsungnya teknik pertempuran antara pasuka gabungan Cirebon-Demak dan pasukan gabungan Pajajaran Portugis. Namun semua teori tersebut menghasilkan kesimpulan yang hampir sama yaitu terusirnya portugis dari sunda kelapa. Gagalnya pasukan Pajajaran bergabung dengan portugis akibat dihadang oleh pasukan yang dipimpin oleh pangeran Hasanudin dan dipati kemuning. Serta jatuhnya jumlah korban yang sangat banyak diantara kedua belah pihak. Sejak peristiwa itu Portugis tidak berani lagi menginjakan kakinya di Kalapa, pelabuhan penting pajajaran. Dengan demikian, perjanjian perdagangan antara kerajaan Pajajaran dengan Portugis tidak berhasi dilaksanakan. (Sunardjo, 1983;82)
Jadi sejak jatuhnya kekuasaan pajajaran dan terusirnya armada portugis di sunda kelapa, praktis seluruh pelabuhan yang berada di wilayah pantai utara pulau Jawa berhasil dikuasai oleh imperium islam. Oleh karena itu kawasan regional nusantara sudah hampir sepenuhnya dikuasai oleh kerajaan-kerajaan islam. Keamanan di wilayah ini sudah dianggap aman dan terkendali dari ancaman asing. Mungkin inilah alasan yang paling tepat mengapa orientasi pembangun perekonomian lebih di fokuskan ke wilayah daratan dibandingkan wilayah maritim. Fokus dakwah sunan gunung jati yang nantinya akan mewarnai perubahan sosial politik dan perekonomian lebih di tingkatkan di wilayah pedalaman. Bahkan sunan gunung jati lebih mementingkan urusan dakwah di wilayah pedalaman bumi tatar sunda ini, dibandingkan mengurusi persoalan negara. Sebab untuk urusan ketata negaraan Sunan gunung jati telah mendelegasikan sepenuhnya kepada pangeran mas muhammad arifin. Namun Tuhan berkehendak lain, pada tahun 1552 pangeran mas Muhammad arifin telah lebih dahulu pulang ke Rahmatullah. Setelah wafat beliau lebih dikenal dengan sebutan pangeran pasarean atau pangeran Nata ing Suwarga, gelar anumertanya.
Pada tahun 1568 sunan gunung jati wafat. Fatahillah kemudian menggantikan kedudukan sunan gunung jati sebagai polmak raja Cirebon, karena pangeran emas yang telah dipersiapkan meneruskan kepemimpinan di Cirebon masih sangat muda. Fatahillah tidak lama memerintah Cirebon, hanya dalam waktu 2 tahun saja, kemudian menyusul mertua tercintanya menghadap ke haribaan yang maha kuasa. Fahtahillah disemayamkan persis disamping sebelah timur makbarah sunan gunung jati di bukit Nurgiri cipta rangga.Dengan waktu  memerintah yang cukup singkat,tentu saja tidak banyak langkah-langkah perubahan yang dibuat Fatahillah,baik dalam bidang politik
maupun ekonomi.Tampaknya urgensi Sunan gunung jati menarik fatahillah ke
Cirebon,lebih didasarkan pada pertimbangan kesinambungan dakwah dan membina cucunya,Pangeran Mas yang telah dipersiapkan oleh Sunan gunung jati untuk menggantikanya.Pangeran Mas atau panembahan ratu ini adalah putra pangeran suwarga,dipati cerbon ke 1.
            Pangeran mas atau panembahan ratu[10] ini adalah putra pangeran Suwarga Dipati Cerbon ke 1 atau disebut juga Dipati Ratu,ibu dari pangeran mas adalah putri dari Fatahilah atau Fadilah khan yang bernama Ratu wanawati raras . Ratu 1 lahir pada tahun 1547.
            Panembahan Ratu 1 mewarisi sistem pemerintahan dan perekonomian yang sudah baik, hasil jerit payah dari sunan gunung jati, keamanan, terkendali, kondisi sosial politik yang kondusif serta perkembangan ekonomi yang baik, kondisi pelabuhan juga cukup ramai. Pelabuhan baru (pelabuhan cirebon sekarang) disamping pelabuhan lama yaitu pelabuhan muara jati dan pelabuhan japura. Perdagangan dengan daerah pedalaman berjalan lancar dan cirebon sendiri terkenal dengan produksi ikan asin, garam, trasi yang di gemari penduduk pedalaman, beras dan kayu-kayuan cukup banyak ( Sunardjo, 1983;101 )
            Dengan kondisi seperti tersebut  di atas, sebenarnya merupakan modal dasar yang cukup besar bagi panembahan ratu untuk mengembangkan dan meningkatkan sarana dan prasarana perekonomian cirebon. Namun sepeninggal sunan gunung jati ada saja masalah yang  mengganggu.H al yang cukup lama dianggap sebagai ganjalan bagi penembahan ratu adalah masalah perbatasan dengan Banten. Senioritas sultan Banten dan semakin meningkat nya kemampuan Banten dalam bidang militer dan perdagangan merupakan problematika yang tidak sepele apabila tidak di tangani dengan serius.
            Dari sis silsilah, jika ditarik ke atas, Sultan Maulana Yusuf adalah cucu dari sunan Gunung Jati dan anak dari Maulana Hasanudin. Sedangkan panembahan ratu adalah cicit dari Sunan Gunung Jati atau cucu dari pangeran Pasarean atau anak dari pangeran dipati suwarga. Wajar saja apabila panembahan ratu masih menaruh rasa segan dan secara etika menaruh rasa hormat pada Sultan Maulana Yusuf. Yang lebih mendapat perhatian tentunya adalah politik pengembanagan teritorial yang di laksanakan secara agresif oleh Banten. Pada tahun 1579 pasukan gabungan Banten dan Cirebon berhasil mengakhi existensi kerajaan Pajajaran dalam peta sejarah. Atas prestasi ini Banten merasa memiliki hak yang lebih besar terhadap wilayah eks kerajaan Pajajaran dan kerajaan-karajaan yang di bawah perlindungannya. Secara geopolitik wilayah priyangan dan Sumedang larang merupakan bagian dari pajajaran,  namun secara geografis kedua wilayah tersebut berbatasan langsung dengan Cirebon. Selama ini kedua wilayah tersebut banyak mendapat pengaruh spiritual dari Cirebon.
            Walaupun pada akhirnya wilayah sumedang larang dan priangan masuk dalam perlindungan Banten, tetapi tentu saja membutuhkan diplomasi yang cukup alot untuk menentukannya. Memamg belum ditemukan dokumen-dokumen yang resmi terhadap sengketa perbatasan di wilayah pedalaman ini,namun diplomasi antara banten dan cirebon terhadap kasus ini tidak sampai menimbulkan guncangan ekonomi terhadap banten dan cirebon.
            Berbeda dengan di wilayah pedalaman, sengketa perbatasan di wilayah pesisir utara sudah di selesaikan sejak jaman sunan gunung jati. Sebelum wafat sunan gunung jati ( 1568 ) telah memanggil fatahillah untuk kembali ke cirebon. Tugas fatahillah sebagai Bupati sunda kelapa atau jayakarta, digantikan oleh Tubagus Angke. Tubagus angke adalah menantu maulanaHassnudin. Baik Panembahan Ratu   maupun maulana yusuf pun sudah fahum akan maksud sunan gunung jati, sehingga tidak menimbulkan gejolak politik antara cirebon dan banten, apalagi mengganggu stabilitas perdagangan. Alasan lain yang bisa dijadikan pegangan bagi panembahan ratu maupun maulana yusuf adalah wasiat sunan gunung jati. Baik cirebon dan banten sama-sama menghormati pesan dari leluhurnya. Wasiat tersebut tercatat dalam naskah sejarah cirebon akhir.
“ awit panembahan ratu ing cirebon denya nyuluri wilayah susunan,karana dingin duk wisik, rajawali kang aseda, lah iki karawang becik, gawenan wates lah iku, sing karawang ngulon dadi, ki mas banten amurba, sing karawang anngetan dadi, ki mas cirebon amisesa, pusaka ning rajawali, lah iku martabati pun, panembahan pakungwati, sumuhud dateng lenggananing banten magkana ugi panembahan surosoan
 ika,tan seja anglenggananing wisik. ( setelah panembahan ratu di cirebon melanjutkan, kekuasaan susuhunan, karena dahulu berdasarkan pesan, Rajawali yang sudah wafat, nah  karawang ini sebaiknya dijadikan tapal batas. Yaitu dari karawang ke barat, menjadi kekuasaan banten, dari karawang ke timur menjadi kekuasaan cirebon, pusakanya Rajawali, yah itulah kekuasan Panembahan Ratu dipatuhi, begitu juga oleh banten, panembahan sorosowan juga tidak pernah ada upaya untuk melanggar ).
            Selain berhasil menyepakati masalah perbatasn dengan banten, panembahan ratu juga berhasil meredam gejolak politik dalam negeri. Ujian tersebut datang dari orang-orang yang memiliki jasa terhadap pendirian cirebon. Gejolak pertama datang dari Adipati kuningan. Adipati awangga yang merupakan anak angkat dari sunan gunung jati merasa sudah tidak lagi memiliki alasan menjadi bagian dari cirebon. Adipati awangga memiliki pasukan berkuda yang cukup tangguh. Dengan kepercayaan diri yang besar adipati awangga merasa lebih mampu daripada panembahan ratu. Cirebon sudah di anggap tidak memiliki otoritas sebagai guru dan orang tua. Alasan ini yang di pakai oleh Arya kemuning ( Adipati Awangga ) yang merasa sudah tidak membutuhkan lagi berintegrasi ke cirebon. Selain faktor kewibawaan faktor lain yang di anggap penting adalah faktor ekonomi. Kuningan merupakan pemasok beras, sayur-sayuran,kopi, rempah-rempah dan sarana transportasi (kuda-kuda), walaupun tidak bisa di pungkiri juga bahwa hasil komoditi Kuningan di pasarkan lewat pelabuhan Cirebon.
            Menghadapi konflik internal seperti ini, langkah yang di ambil Panembahan ratu cukup bijak. Perselisihan dengan Kuningan di selesaikan dengan diplomasi. Penembahan ratu mengutus Patih Rudamada untuk bernegosiasi dengan Adipati Awangga. Langkah diplomasi di ambil oleh panembahan ratu untuk menghindari perang saudara, sebab jika terjadi perang saudara, tentu saja akan mengganggu stabilitas politik dan ekonomi. Misi diplomasi yang di bawa oleh patih Rudamada gagal, sehingga harus di selesaikan oleh panembahan ratu.  Panembahan ratu akhirnya datang sendiri ke kuningan untuk membuat penyelesaian dengan Adipati Awangga. Dengan diplomasi yang berujung pada duel perang tanding antara Adipati Kuningan dan Panembahan Ratu, akhirnya kuningan dapat di tertibkan. Adipati awangga benar-benar tulus mengakui kemampuan Panembahan Ratu dalam memimpin Cirebon.Adipati Awangga juga benar-benar mengakui bahwa panembahan Ratu merupakan Suluring rajawali (keturunan rajawali).


B.            Kehidupan Agama Masyarakat Cirebon Sebelum Datangnya Islam
Dalam naskah Babad Mertasingha yang di edisi Amman N. Wahyu, diceritakan tentang awal pertemuan antara Syeikh Syarief Hidayatullah dengan Adipati Keling yang sedang mengawal larungan jenazah rajanya di tengah laut. Dalam lakon wayang kulit Purwa Cirebon juga dikenal dengan sebuah cerita galur yang disebut lakon Sumbadra Larung. Dalam lakon tersebut, Sumbadra yang telah dibunuh oleh Burisrawa dilarung ke sungai menuju laut yang dikawal oleh Gatotkaca. Dalam ritual kehidupan masyarakat nelayan di Cirebon, juga sampai sekarang masih hidup upacara lelumban atau pesta laut. Puncak dari upacara tersebut adalah melarung sajen menuju tengah laut.
Upacara larungan merupakan salah satu rangkaian dari siklus ritual yang dilakukan oleh masyarakat pemeluk agama Hindu sekte Waisnawa yang sudah mengalami proses metamorfosa dengan Islam. Sampai sekarang, dalam lakon galur Sumbadra Larung, proses untuk menghantarkan jenazah sang putri untuk menjumpai Hyang Widhi tetap dilakonkan seperti apa adanya. Walaupun dipentaskan di tengah-tengah masyarakat Cirebon yang sudah mayoritas Islam.
Ritual larung sajen yang berupa sirah mahesa atau kepala kerbau, masih tetap dilaksanakan di beberapa komunitas nelayan di wilayah pesisir Cirebon. Namun makna filosofi dari upacara larung sajen atau larung mahesa sudah mengalami proses Islamisasi. Masyarakat nelayan pesisir Cirebon yang mayoritas beragama Islam sudah memaknai larung sajen atau larung mahesa ini sebagai manifestasi dari pengorbanan kepada Tuhan Yang Maha Esa (mahesa = Maha Esa). Bahkan di kanal Condong atau yang lebih dikenal dengan sebutan sungai Condong, puncak upacara larung mahesa ini sudah diganti dengan doa secara Islam.
Kuatnya upacara larungan ini hingga dapat bertahan hampir tujuh abad, membuktikan bahwa betapa besar komunitas penyembah Batara Wisnu pernah hidup di Cirebon. Teks Pangeran Wangsakerta yang menggambarkan tentang keberadaan agama Hindu sekte Waisnawa ini dapat dibuktikan dengan aktifitas sosial dan ritual yang sudah beradaptasi dengan masyarakat Islam. Di samping ritual kematian, pemujaan terhadap Dewa Wisnu juga ditemukan pada upacara yang terkait dengan kelahiran. Upacara tersebut adalah upacara nuju bulan atau memitu. Salah satu sarana yang harus dipenuhi dari upacara memitu adalah mengambil air suci yang berasal dari sumber mata air yang berbeda. Sumber-sumber mata air tersebut bisa dari sumur-sumur yang dikeramatkan, tuk, pancuran, sendang, telaga dan sungai. Akan lebih baik lagi kalau air tersebut berasal dari  kali tarung atau tempat bertemunya dua sungai.
Ritual memitu merupakan rangkaian dari sembilan atau sepuluh ritual persiapan menyambut kelahiran bayi. Naskah sedekah wulan atau Candraning Wong Bobot milik R. Syarief Rohani Kusumawijaya, menjelaskan urutan-urutan ritual sebagai berikut:
a.       Eka Padmasari Martabate Alam Zat
-          Artinya, eka = satu, padma = kembang, sari = bau harum atau rasanya.
-          Penjelasan: orang hamil satu bulan suka meminta macam-macam, terkadang yang aneh-aneh dan punya keinginan jalan-jalan.
-          Martabate Alam Zat, kedudukannya masih dalam kehendak Dzat Yang Maha Kuasa.
-          Untuk itu disarankan bersodaqoh tumpeng dengan lauk telur yang disimpan di dalam tumpeng. Ditunjukkan menghormati Nabi Adam. Do’a yang dibaca adalah do’a selamat.
b.      Dwi Martana Martabate Alam Adjsam
-          Artinya, dwi = dua, martana = wadah atau tempat
-          Penjelasan: orang hamil menginjak usia dua bulan itu ingin selalu bersama suami (long golong).
-          Martabate Alam Adjsam, kedudukannya masih berupa keinginan dari orang tua yang ingin memiliki anak.
-          Sodaqohnya berbentuk tumpeng dengan lauk dipecel. Ditunjukkan untuk menghormati Nabi Yaqub. Do’a yang dibaca adalah do’a selamat Sulaeman.
c.       Tri Waladnyana  atau Tri Langgana Martabate Alam Ahadiyah
-          Artinya, tri = tiga, langgana = terang
-          Penjelasan: orang hamil menginjak usia tiga bulan wajahnya terang bercahaya.
-          Martabate Alam Ahadiyah, kedudukannya masih berbentuk siri kehendak Yang Maha Kuasa.
-          Sodaqohnya nasi punar, lauknya telur dibuat dadar. Ditunjukkan untuk menghormati Nabi Ibrahim. Do’a yang dibacakan adalah do’a arwah.
d.      Catur Warna atau Catur Winara Rupa Martabate Alam Wahidiyah
-          Artinya, catur = empat, winara = monyet, rupa = cantik rupanya.
-          Penjelasan: orang hamil menginjak usia empat bulan suka banyak omong (cerewet), banyak bertingkah seperti anak kecil, seenaknya sendiri, dan cantik rupanya.
-          Martabate Alam Wahidiyah, kedudukannya sudah tercipta benih roh yang akan menjadi nyawa si jabang bayi.
-          Sodaqohnya ketupat, lepet, dan teng-teng angin. Ditunjukkan untuk menghormati Nabi Musa. Do’a yang dibacakan adalah do’a Syahid Syahadat.
e.         Panca Surapagah atau Sura Panca Puguh Martabate Alam arwah
-          Artinya, panca = lima, sura = berani, puguh (pagah) = benar pada tempatnya.
-          Penjelasan: orang hamil menginjak usia lima bulan punya keinginan mengenakan barang-barang yang baru dan tidak mau diam.
-          Martabate Alam Wahidiyah, kedudukan roh sudah berada di tubuh janin.
-          Sodaqohnya nasi langgi lauknya ayam muda. Ditunjukkan untuk menghormati Nabi Idris. Do’a yang dibacakan do’a thowil umur.
f.        Sad  Guna Wawika Martabate Alam Mitsal
-          Artinya, sad = enam, guna = pekerjaan, wawika = makanan
-          Penjelasan: orang hamil menginjak usia enam perwatakannya pandai bicara dan pandai bekerja serta banyak makan.
-          Martabate Alam Misal, kedudukan bayi sudah memiliki roh, jenis kelamin, dan takdir yang akan dibawanya.
-          Sodaqohnya apem merah dan apem putih. Ditunjukkan untuk menghormati Nabi Dawud. Do’a yang dibacakan adalah do’a  tolak bala.
g.      Sapta Kukila Martabate Alam Insan Kamil
-          Artinya, sapta = tujuh, kukila = burung
-          Penjelasan: orang hamil menginjak usia tujuh bulan sering banyak bicara dan sering ngajak bertengkar, ada saja yang menjadi bahan menyulut pertengkaran.
-          Martabate Alam Insan Kamil, kedudukan bayi sudah sempurna siap untuk dilahirkan.
-          Sodaqohnya membuat rujak untuk menebus kandungan. Ditunjukkan untuk menghormati Sayyidina Ali. Do’a yang dibacakan adalah do’anya Nabi Muhammad (do’a rasul).
h.      Hasta Kunjana Yen Oli Wolu Sampurna
-          Artinya, hasta = delapan, kunjana = benting (Jawa), bengkung (Sunda), stagen.
-          Penejelasan: orang hamil menginjak usia delapan bulan berarti sudah sempurna, tinggal diupayakan supaya mudah untuk dilahirkan.
-          Martabate Alam Wahidiyah, kedudukannya sudah tercipta benih roh yang akan menjadi nyawa si jabang bayi.
-          Sodaqohnya bubur lolos. Ditunjukkan untuk menghormati Nabi Nuh.
i.        Nawa Taksaka Lahir
-          Artinya, nawa = sembilan, taksaka = ular
-          Penjelasan: orang hamil menjelang usia sembilan bulan perwatakannya glondang glundung seperti ular pembawaannya gerah, panas ingin mandi atau kipasan saja.
-          Sodaqohnya minyak wangi dan minyak kelapa / minyak goreng. Ditunjukkan untuk menghormati para Nabi dan para wali.
j.        Eka Dasa atau Dasa Tirta Kunarpa
-          Artinya, eka = satu, dasa = sepuluh, tirta = air, kunarpa = mayat / bangkai
-          Penjelasan: orang hamil sepuluh bulan sudah menjadi kehendak Gusti Allah, si jabang bayi sudah dalam posisi dilahirkan (ing lawang akbarullah), posisinya kepala menghadap ke lawang akbarullah, kaki membelakangi lawang akbarullah. Bayi segera menuju bibir lawang, kaki kiri naik ke bibir lawang kanan, kaki kanan naik ke bibir lawang yang kiri, si bayi tinggal lahir saja.

Argumen-argumen yang mendukung bahwa aliran sekte Waisnawa ini pernah mendominasi dalam kehidupan sosial dan ritual masyarakat Cirebon dapat ditemukan juga dalam naskah Ruatan yang disalin oleh Ki Dalang Marta pada tahun 1902. Naskah yang berjudul Ruatan Murwakala tersebut menceritakan peranan Batara Wisnu dalam mengembalikan Sangkala pada fitrahnya. Mayoritas komunitas pedalangan di Cirebon sepakat bahwa Dewa Wisnu-lah yang mengembalikan Kala pada tempatnya. Hanya Ki Dalang Mulki saja yang tidak mengikuti pakem tersebut. Ki Dalang Mulki lebih condong mengikuti versi pedalangan Jogja-Solo. Pada versi pedalangan di eks kerajaan Mataram tersebut menggunakan tokoh Batara Syiwa sebagai tokoh yang dapat memulihkan keadaan Sangkala.
Selain Ki Dalang Mulki, pakem minoritas lainnya dalam lampahan ruatan murwakala itu adalah Ki Dalang Suwarta dari Bongas. Menurut Ki Dalang H. Mansur, tokoh utama yang meruwat ajaling batara kala dalam ruatan versi Dalang Suwarta tersebut adalah Batara Brahma. Pernyataan Ki Dalang Mansur dibenarkan oleh seorang dalang macapat yang bernama Ki Marsita. Ki Marsita menyatakan bahwa lampahan ruatan murwakala milik Ki Dalang Suwarta mempunyai kekhasan sendiri. Perbedaannnya terletak pada tokoh yang menjadi dalang ruatan itu. Tokoh yang meruwatnya adalah Batara Brahma.
Sumber-sumber tradisi keberaksaraan dan tradisi lisan dalam lampahan ruatan merupakan suatu bukti bahwa di Cirebon pada masa sebelum datangnya Islam telah hidup suatu agama yang dijadikan pegangan hidup masyarakat Cirebon saat itu. Peranan Batara Wisnu yang begitu dominan dalam berbagai ritual kehidupan masyarakat Cirebon baik yang ditemukan dari sumber-sumber tertulis, lisan maupun yang terlembaga dalam kehidupan masyarakat merupakan suatu petunjuk bahwa Batara Wisnu pernah dipuja di wilayah ini. Di tengah dominasi agama Hindu sekte Waisnawa, terdapat juga kelompok sekte Syawana (pemuja Batara Syiwa)  dan sekte Brahmana (pemuja Batara Brahma). Namun jumlah pemeluk agama Hindu sekte Syawana dan Brahmana ini tidak sebesar sekte Waisnawa.
Dalam naskah sejarah Cerbon, yang ditulis oleh R. Syarief  Rohani Kusumawijaya, diceritakan bahwa ketika Ki Gedeng Alang-alang wafat, Pangeran Cakrabuana menyempurnakan jenazah mertuanya itu dengan cara-cara Islam. Ki Gedeng Alang-alang atau Ki Danusela merupakan orang Cirebon pertama yang dikuburkan dengan memakai syari’at Islam. Penduduk Cirebon yang yang pada saat itu banyak yang belum memeluk agama Islam merasa aneh dengan kejadian itu. Dalam benak mereka bertanya, mengapa tidak dibakar, di-larung atau di-setra. Penduduk Cirebon waktu itu belum ada yang berani bertanya karena menghormati kedudukan Pangeran Cakrabuana sebagai menantu dari Ki Kuwu Carbon pertama. Setelah jenazah dikuburkan, baru pusaranya disiram dengan air bunga, dan membakar dupa. Setelah itu baru dibacakan talkin, tahlil dan do’a.
Setelah selesai upacara penguburan diadakan pembacaan do’a tahlil dan kalimat thoyibah di rumah Pangeran Cakrabuana selama tujuh malam. Peristiwa ini juga mengundang tanda tanya bagi penduduk setempat, mengingat kebiasaan sebelumnya biasanya keluarga yang sedang berduka itu ditinggal dan tidak biasa ditemani. Selama tujuh malam, rumah Pangeran Cakrabuana diramaikan oleh orang-orang yang berkumpul di rumahnya. Setelah tujuh hari berlangsung, penduduk kebon pesisir Lemahwungkuk merasakan adanya keganjilan pada kuburan Ki Danusela memancarkan bau yang sangat harum.
Terdorong oleh banyaknya peristiwa-peristiwa yang aneh dari prosesi pemakaman Ki Danusela, akhirnya orang-orang Cirebon pada saat itu memberanikan untuk bertanya. Kesempatan yang baik ini dimanfaatkan oleh Pangeran Cakrabuana untuk menyampaikan ajaran Islam dengan tidak mengurangi rasa hormatnya terhadap ajaran agama sebelumnya. “Apakah kalian ingin apabila mati kuburannya bisa sewangi ini?”, pertanyaan Pangeran Cakrabuana dijawab dengan serempak, “Ya, Ki Kuwu”. Kemudian Pangeran Cakrabuana menjelaskan bahwa, seandainya ada di antara kalian atau kerabat kalian ada yang meninggal, kuburkanlah jasadnya. Jangan dibakar, cukup yang dibakar itu hanya dupa. Jangan di-larung ke sungai. Cukup siramkanlah air tersebut ke pusaranya. Dan jangan di-setra atau diasingkan ke hutan cukup bawakanlah bunga-bunga dan dedaunan, kemudian taburkanlah di pusaranya.
Benar tidaknya berita yang disampaikan dalam teks naskah R. Syarief Rohani tidaklah begitu penting. Akan tetapi, keberadaan mengenai adanya sistem kepercayaan dari masyarakat Cirebon sebelum datangnya agama Islam. Juga diceritakan dalam sastra lisan, khususnya dalam pagelaran wayang kulit purwa Cirebon. Dalam literatur wayang kulit Cirebon hanya dikenal adanya dua agama, yaitu agamaning Sanghyang dan agamaning Rasul. Yang dimaksud dengan agamaning Sanghyang menurut Ki Dalang Wari Priyadi dalam pakem Cungkring Dadi Pendeta adalah agama sambu, agama brahma, agama bayu, agama wisnu, agama syiwa dan agama kala. Adapun menurut budayawan  TD Sujana, agamaning Sanghyang adalah sinkretisme antara ajaran agama animisme, Hindu dan Budha. Sedangkan agamaning Rasul adalah agama yang dibawa oleh para Rasul dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad SAW.
Terkait dengan istilah ke-sahyangan atau menurut TD Sujana disebut dengan istilah sinkretisme agama Hindu Budha, juga disebutkan oleh Soleh Danusasmita dkk, 1986, 2, bahwa di kawasan Jawa Barat pada masa silam pernah berkembang aliran Tantrayana (Budha). Ajarannya menampilkan campuran aliran Siwa Sidantha yang menganggap semua dewa sebagai penjelmaan dewa Siwa dengan agama Budha Mahayana. Sebagai contoh adalah kerajaan Talaga (Majalengka) yang berdiri abad ke-14 adalah kerajaan Budha yang menganut aliran Stawirawada.
Sebetulnya sinkretisme yang terjalin antara agama Hindu dan Budha sudah terjalin sejak lama. Yaitu sejak awal masuknya agama Hindu dan Budha ke Nusantara. Pembauran antara pendatang yang berasal dari luar wilayah utara Nusantara ini beradaptasi dengan masyarakat Nusantara yang sudah memiliki bahasa, adat istiadat dan sistem kepercayaan sendiri. Seperti yang diberitakan dalam Kropak 408 dan Kropak 630 (Sanghyang Siksa Kandang Karesian), “Campuran Siwaisme dan Budhisme ini masih dijalin dengan agama pribumi. Karena ternyata unsur Hyang tetap dibedakan dengan dewata. Walaupun tempat tinggal para  dewata juga disebut kahyangan.”
Ki Kartani, seorang sejarahwan senior Cirebon juga membenarkan tentang adanya agama Hindu sekte Waisnawa, Syawana, Brahmana dan Kalana pernah dianut oleh masyarakat kuno Cirebon. Khusus untuk agama Hindu sekte Kalana, Ki Kartani menjelaskan bahwa penganut agama ini, jika meninggal, jenazahnya tidak dikubur atau dilarung tetapi di-setra, yaitu diasingkan ke hutan. Di sana jenazah tersebut diletakkan di bawah pohon besar dan dibiarkan dimangsa hewan buas. Hampir mirip dengan sistem penguburan di Trunyan, Bali. Di  Desa Kemlaka blok Bebekan Kecamatan Tengah Tani Kabupaten Cirebon ada sebuah komplek kuburan umum yang disebut Makam Kebon Sangkro. Penamaan Kebon Sangkro terkait dengan aktifitas penguburan mayat pada jaman sebelum Islam masuk ke wilayah ini. Menurut orang tua dulu yang tinggal di wilayah ini, dulunya kalau ada orang yang meninggal di sini mayatnya tidak dikubur tetapi hanya diletakkan saja di bawah pohon besar Rangdu Alas. Kemudian mayatnya ditimbun dengan daun-daunan yang sudah kering (sangkro).  
Jenis-jenis pohon yang digunakan untuk men-setra jenazah sekte Kalana ini adalah jenis pohon-pohon tertentu. Pohon-pohon yang dimaksud adalah pohon yang besar dan tinggi menjulang. Karena menurut para penganut agama kala ini, pohon tersebut dapat menghantarkan arwah mereka menuju sang pencipta. Menurut Ki Kartani, pohon-pohon tersebut adalah randu alas, dangdur, serut, kepuh dan beringin.
Selain banyaknya sekte agama Hindu dan sinkretisme antara agama Hindu dan Budha (Ke-sanghyangan), penduduk Cirebon tempo dulu juga ada yang menganut ajaran agama Budha murni atau yang disebut agama Budhaprawa. Seperti yang tercantum dalam bait puisi naskah Purwaka Caruban Nagari yang ditulis oleh Pangeran Arya Carbon:
Hana ta sira Ki Danusela ngaran ira
Ingkang gahan pakanama Ki Gedheng
Alang-alang yata Rayi nira Ki Danuwarsih
Kang Dumadi wikuning Budhaprawa
Kang tamaloh ing mandala parahyangan wetan.
(adalah di sana seorang bernama Ki Danusela
Yang terkenal dengan nama Ki Gedheng
Alang-alang, yaitu adik Ki Danuwarsih
Yang menjadi pendeta Budhaprawa, di daerah Priyangan timur)

Budhaprawa dalam literatur bahasa Cirebon dapat diartikan dengan agama Budha murni atau agama Budha yang belum mengalami singkretisme dengan kepercayaan penduduk setempat. Kata prawa dalam bahasa lisan Cirebon sering disamakan artinya dengan kata purwa. Contohnya dalam lakon wayang srepeng[11] Lading Pangot Panurat Jagat[12]. Nama Prabu Darmakusuma disebut dengan nama Sanghyang Budhapurwa yang berarti seseorang yang berasal dari jaman kuna yang  memiliki keyakinan atau agama kuna. Budhapurwa diartikan dengan keyakinan kuna atau kepercayaan orang jaman dahulu adalah sebutan yang sangat logis untuk dikomparasikan dengan agama Islam atau agamaning Rasul yang merupakan agama baru atau agama asing bagi orang Cirebon pada jaman Kasunanan (jaman Wali).
Contoh lainnya adalah pada sebutan gamelan prawa. Pada pagelaran wayang Cirebon, ada dua kelompok laras gamelan yang digunakan, yaitu gamelan laras pelog dan laras prawa. Untuk kelompok pedalangan yang menggunakan laras pelog, umumnya adalah kelompok pedalangan kidulan. Sedangkan kelompok pedalangan loran biasanya menggunakan laras gamelan prawa. Kelompok yang menggunakan aliran laras prawa biasanya selalu mengangkat lakon-lakon galur atau lakon asal-usul wayang kulit yang bersumber dari kitab Mahabrata dan Ramayana. Jadi makna prawa di sini terkait dengan kata asal-usul atau sumber. Adapun untuk kelompok pedalangan yang menggunakan aliran laras pelog umumnya mengetengahkan lakon-lakon anggit atau lakon-lakon yang terkait dengan kajian agama Islam. Jadi sangatlah beralasan kalau agama Budhaprawa yang berarti agama Budha kawitan atau agama Budha murni yang belum mengalami sinkretisme dengan ajaran keyakinan lainnya.
Adapun menurut kamus Zoetmulder (1982) skt. parwa II, 2 prose story; part (book) or the mahabharata epic. Parwa sendiri menurut Zoetmulder adalah bagian-bagian yang terdapat dalam kitab Mahabharata. Kitab yang ditulis oleh Resi Wiyasa tersebut terdiri dari beberapa bagian cerita yang masing-masing bagian membuat inti cerita tertentu. Seperti adhiparwa, mosalaparwa atau swargarohanaparwa. Mc. Donell juga memberikan pengertian tentang parwa adalah division of book.
Jadi kalau berdasarkan makna leksikal yang ditemukan dalam beberapa kamus, parwa atau parvan diartikan sebagai bagian. Sehingga kata Budhaparwa dalam teks yang terdapat dalam naskah Purwaka Caruban Nagari dapat diartikan sebagai bagian atau kelompok tertentu dalam agama Budha atau bagian dari sekte agama Budha.
Ajaran agama Budhaprawa inilah yang sempat dipelajari oleh Pangeran Cakrabuana dari Ki Gedheng Danuwarsih putra seorang pendeta Budha yang mumpuni dari gunung Dieng, yaitu Ki Gedheng Danusetra. Nilai-nilai ajaran agama Budha dan Hindu sangat dipahami oleh Pangeran Cakrabuana sebelum direkomendasikan oleh Ki Gedheng Danuwarsih untuk belajar agama Islam kepada Syeikh Nurjati di bukit amparan Jati.(bersambung)

C.           Organisasi Masyarakat dan Sistem Pemerintahan
Wus mandeg ta sira teguh alang-alang dukuh kang mangko sinebut Caruban tumuli, mapan janmapada sukheng pasambangan desa keh mara ngkene pantaraning pra dol tinuku (akhirnya berdirilah dukuh teguh alang-alang yang kelak kemudian menjadi Caruban. Banyak orang dari Dukuh Pesambangan yang datang ke situ, diantaranya para pedagang). (Dasuki, HA, 1978; 15:61). Menurut Purwaka Caruban Nagari, pada awalnya Cirebon yang dirintis oleh Pangeran Cakrabuana merupakan sebuah pedukuhan kecil yang terletak di bibir pesisir teluk Cirebon yang disebut Dukuh Tegal Alang-alang. Pedukuhan tersebut dipimpin oleh Ki Gedheng Alang-alang. Ki Gedheng Alang-alang orangnya sangat terbuka dan bersikap ramah kepada siapa saja. Sehingga lama-kelamaan pedukuhan tersebut dihuni oleh banyak pendatang yang berasal dari suku, agama, budaya dan bahasa yang berbeda.
Setelah jumlah penduduknya makin bertambah dan berkembang, Pedukuhan Tegal Alang-alang berubah menjadi sebuah desa. Rakyat membutuhkan seorang pemimpin, maka dengan kesepakatan dari seluruh penduduk desa, ditunjuklah Ki Gedheng Alang-alang sebagai pemimpinnya. Model pemerintahan desa pada saat itu berbentuk pekuwon (pakuwuhan) sesuai bentuk pemerintahan yang telah diatur oleh kerajaan pusatnya, yaitu kerajaan Pakuwan Pajajaran.
Hal ini sesuai dengan pendapat Ki Kartani bahwa, ”Kepala daerah bawahan bukan lagi disebut Ki Gede tapi diganti dengan sebutan Ki Kuwu sesuai dengan peningkatan status administratif  Pakuwuhan. Situasi demikian terus berlanjut dan semakin marak lagi pada jaman pemerintahan Panembahan Ratu Awal.”
Ki Gedheng Alang-alang menjadi kuwu pertama dari Pakuwan Caruban Larang. Sedangkan yang bertindak sebagai wakilnya adalah Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana bergelar Ki Cakrabumi karena menjabat sebagai Pangraksabumi atau wakil kuwu yang diberi tugas khusus mengurusi masalah pertanian atau pengairan.
Setelah Ki Gedheng Alang-alang sebagai Kuwu Cerbon pertama wafat (1447), penduduk Cerbon pada waktu itu secara aklamasi mendaulat Pangeran Cakrabuana untuk menggantikan mertuanya. Akhirnya, Pangeran Cakrabuana diangkat oleh rakyat Caruban Larang menjadi Kuwu Carbon kedua. Pada waktu berdirinya Pakuwan Cirebon hingga terjadinya suksesi dari Kuwu Cerbon pertama ke Kuwu Cerbon kedua, tidak diberitahukan adanya pelantikan. Naskah Purwaka Caruban Nagari sendiri tidak memberitakan adanya pelantikan tersebut. Hanya dalam naskah tersebut dijelaskan bahwa daerah Caruban pada masa itu merupakan bagian dari kekuasaan Bupati Galuh yang bernama Pangeran Jayaningrat. Sedangkan yang menjadi patihnya adalah patih Arya Kiban.
Selain mengembangkan Pakuwan Carbon Larang, Pangeran Cakrabuana juga mengajak kepada para pendatang yang bermukim di wilayah Carbon lainnya untuk mengembangkan wilayahnya menjadi pemukiman yang ramai. Pangeran Cakrabuana juga memerintahkan kepada anaknya yang bernama Pangeran Carbon untuk mengembangkan wilayah pemukiman kakeknya di Carbon Girang. Wilayah Carbon Girang ini kemudian dikenal dengan sebutan Pakuwan Carbon Girang dengan Pangeran Carbon bertindak sebagai kuwunya. Pengembangan wilayah Carbon sebagai pemukiman dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana dengan cara di-totor dengan golok dan dibakar dengan api. Untuk daerah-daerah yang sudah berkembang menjadi pemukiman Pangeran Cakrabuana juga mengangkat salah satu diantara mereka untuk menjadi pemimpin di daerahnya. Status pemimpinnya ditentukan oleh jumlah cacah yang berkembang pada saat itu. Jumlah cacah yang terkecil dalam suatu susunan masyarakat Cirebon pada saat itu adalah somah yaitu satu kepala keluarga. Kemudian setelah berkembang menjadi beberapa somah dipimpin oleh seorang Ki Buyut yang menjadi kepala dari Kabuyutan.  Dalam satu kibuyutan atau kabuyutan setelah berkembang menjadi jumlah cacah yang cukup banyak ditambah dengan jumlah pendatang yang masuk dan bermukim di wilayah tersebut. Kemudian diangkatlah seorang Gegedhen yang menjadi pemimpin di wilayah pedusunan tersebut
Seorang gegedhen atau ki gedhe atau ki gedheng dapat saja ditentukan menjadi kepala Pakuwan (Kepala Desa) tetapi bisa juga dipilih lewat voting oleh rakyatnya menjadi seorang kuwu. Semuanya tergantung kesepakatan.
Pada tahun 1449 M, Ki Ageng tapa wafat, Pangeran Cakrabuana tidak melanjutkan kedudukan kakeknya menjadi Raja Singhapura tetapi mewarisi semua harta peninggalan kakeknya. Kemudian Pangeran Cakrabuana dengan modal yang dimilikinya membangun kraton Pakungwati, membangun bala tentara dan seluruh kebutuhan lainnya yang terkait dengan sarana dan prasarana untuk mendirikan sebuah nagari (negara). Pajajaran menyambut baik berita perekembangan di wilayah pesisir Cirebon. Kemudian diutuslah Tumenggung Jagabaya beserta empat puluh orang pengawalnya untuk membawa tandha keprabon yang isinya menyatakan bahwa Cirebon statusnya diangkat dari sebuah Pakuwan menjadi Ketumenggungan. Pangeran Cakrabuana sendiri diangkat menjadi tumenggung Carbon bergelar Tumenggung Sri Mangana. “Raja Sunda manungsung suka riniking krama, matangnya Pangeran Cakrabuana, kinanaken ka twangga dumadi tumenggung Carbon, sang prabhu motus tumenggung jagabaya lawan kawula bulanira, nikang duta sang prabhu amawa patanda kaprabon lawan anarikmana kacakrawartyan mandala, Pangeran Cakrabuana Sinungan Pasenggahan Sri Mangana. 
Menurut Ki Kartani tandha keprabon yang diberikan maharaja Sunda dalam pelantikan yang diwakili oleh tumenggung Jagabaya tersebut terdiri dari:
-          Mandhe jajar atau bale pajajran
-          Keris kyai jimat tunggul manih
-          Lampit (tikar yang terbuat dari anyaman pandan atau rotan)
-          Kandaga (kotak tempat menyimpan arsip)
-          Songsong (payung kebesaran)

Upacara penyematan tandha keprabon atau geglan tandha keprabon yang dilakukan kepada Pangeran Cakrabuana sebagai Tumenggung Carbon. Kemudian dijadikan tradisi untuk melantik para Kuwu yang menjadi bawahan Tumenggung Carbon. Kuwu-kuwu yang dilantik oleh Pangeran Cakrabuana diharuskan membangun bale mangu (bangunan untuk menyambut para pembesar Carbon berbentuk lunjuk), bale raman (bangunan untuk melakukan upacara selamatan atau menerima sesepuh desa), bale desa (bangunan untuk menjalankan pemerintahan desa), dan bale lebu (bangunan untuk mengurusi urusan-urusan khusus).
Instruksi Pangeran Cakrabuana kepada para kuwu-kuwu di wilayah Cirebon untuk melayani rakyatnya sesuai dengan bidangnya masing-masing merupakan kepanjangan tangan dari sistem yang diberlakukan di Istana Pajajaran yang membagi urusan kenegaraan sesuai dengan departemennya masing-masing. Bentuk istana Pajajaran yang dalam naskah-naskah di Cirebon diceritakan berupa bangunan istana-istana yang berjajar, yang kemudian disebut istana Shri Bhima Punta Narayana Madhura Suradipati merupakan perwujudan dari Istana yang dibangun dengan memiliki fungsi pelayanan masing-masing. Sebab hakekatnya desain suatu tata ruang tertentu pasti memiliki fungsi tertentu.
Selain memiliki ruang pelayanan publik yang sudah dirancang sedemikian rupa. Dalam sistem pemerintahan desa atau pakuwon juga diatur struktur pemerintahan desa sebagai berikut:
1.      Ki Buyut (penasehat kuwu/penanggung jawab spiritual)
2.      Ki Kuwu (kepala pakuwon/pemerintahan desa)
3.       Ki Kliwon (wakil Ki Kuwu)
4.      Ki Carik /Jertulis (penanggung jawab administrasi)
5.      Ki Raksabumi (selaku penanggung jawab olah bumi yang menyangkut bidang pertanian dan pengairan)
6.      Ki Juragan Pulisi/Mandor Pulisi atau Lelugu Desa (penanggung jawab bidang ketertidan dan keamanan)
7.      Ki Mayor (selaku pembantu Reksabumi)
8.      Ki Bahu (selaku pembantu umum)
9.      Ki Capgawe (pembantu Ki Juragan Pulisi)
10.  Ki Bekel (selaku penanggung jawab blok)
11.  Ki Lebe (selaku penanggung jawab bidang agama, menyangkut sarana peribadatan, perkawinan, perceraian, talak, rujuk, kelahiran dan kematian)
12.  Ki Kemit (penjaga atau pesuruh desa)
(Kartani, 1997:3)
Secara tradisi, para kuwu yang dipilih memiliki masa jabatan delapan tahun. Sesudah itu dapat dipilih lagi apabila masih dipercaya oleh rakyatnya. Pada masa pemerintahan Pangeran Cakrabuana sebagai Tumenggung Carbon, kuwu yang memasuki masa pemerintahan lima tahun berjalan wajib melakukan upacara pulun-pulun atau kulun-kulun, “upacara gegelan tandha keprabon atau kulun-kulun wajib dilaksanakan oleh kuwu terpilih setelah lima tahun kodra (hari pilihan) dan tidak ada masalah.” (Kartani, 2010:1)
Upacara kulun-kulun atau penyematan tandha pelantikan (gegalan tandha keprabon) ditingkat desa merupakan ujian integritas dan kapabilitas seorang kuwu di hadapan pimpinan dan rakyatnya. Seorang kuwu di sebuah desa akan mempertaruhkan seluruh hidup dan harta bendanya demi melaksanakan amanat yang diembannya. Seorang kuwu yang telah berhasil melaksanakan upacara kulun-kulun akan dihormati oleh rakyatnya sampai pensiun. Karena dianggap telah melaksanakan amanat mbah kuwu Carbon atau Pangeran Cakrabuana. Sampai meninggal dunia pun, kuwu yang telah melaksanakan upacara tersebut akan mendapatkan tempat terhormat. Pada zaman Pangeran Cakrabuana, Sunan Gunung Jati hingga Panembahan Ratu awal, kuwu-kuwu tersebut disemayamkan di komplek Gegedhen Astana Nurgiri Ciptarengga.
Sampai sekarang, upacara kulun-kulun masih tetap dilaksanakan di desa-desa yang masuk wilayah Kecamatan Suranenggala. Upacara kulun-kulun menghabiskan biaya ratusan juta rupiah. Semua biaya ditanggung sendiri oleh kuwu yang bersangkutan. Kebanggaan karena telah melaksanakan amanat mbah kuwu Carbon masih bisa dirasakan oleh kuwu yang bersangkutan sampai saat ini. Selain bermanfaat mengetahui batas-batas wilayah desanya dan para pemilik sawah garapan dengan jelas. Kuwu yang telah melaksanakan kulun-kulun akan memiliki gengsi spiritual yang lebih di mata rakyatnya walaupun oleh pemerintahan daerah sekarang hanya dianggap cuma sekedar upacara adat saja. Kalau meninggal duniapun para kuwu ini sudah tidak bisa dikuburkan di komplek Nurgiri Ciptarengga lagi, sebab komplek tersebut sudah penuh. Kuwu-kuwu yang yang telah melaksanakan kulun-kulun akan dikuburkan di komplek kuburan Pangeran Dipati Waringin yang juga masih dikeramatkan oleh masyarakat desa Suranenggala.
Sejak jaman awal berdirinya kerajaan Islam hingga memasuki masa kolonial, hubungan kerja antara pimpinan dan bawahan terbina dengan baik. Hubungan tersebut tidak hanya dilandasi oleh kebutuhan politis semata, tetapi juga menyangkut aspek-aspek lain yang bersifat spiritual. Pimpinan tidak hanya menjadi panutan dalam hal pemerintahan saja tetapi juga terkait dengan kehidupan keagamaan. Pimpinan (raja) adalah umaro sekaligus ulama. Para kuwu di desa-desa menganggap Pangeran Cakrabuana sebagai guru panutan hidup. Begitu pula terhadap Sunan Gunung Jati sampai kepada anak cucunya. Sehingga kedekatan hubungan antara pimpinan dengan yang dipimpin terjalin sampai ke liang kubur.
Sangat beralasan kalau pada suatu hari, pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati, beliau sempat mengeluh kepada warga Desa Jati Anom, yang telah mencuri jasad Ki Gede Jati Anom di komplek kuburan para gegedhen di Astana Nurgiri Ciptarengga. Alasan warga Jati Anom adalah karena jarak antara Astana Gunung Sembung dangan Desa Jati Anom sangat jauh. Sehingga mereka melakukan perbuatan itu, tanpa seizin Sunan Gunung Jati. Keluhan Sunan Gunung Jati kepada warga Jati Anom, Kecamatan Susukan sangat beralasan bukan hanya karena mereka telah melakukan perbuatan melanggar syariat Islam, tetapi juga secara politis mereduksi integritas politis kewibawaan kerajaan Cirebon. Dengan nada kecewa Sunan Gunung Jati berkata kepada warga Jati Anom, “Apapun bentuknya, perbuatan mencuri adalah tindakan tercela, saya khawatir kebiasaan ini akan menurun kepada anak cucu kalian.”(bersambung)
 









[1] Amirta atau tirta amerta sari adalah air kehidupan yang diperebutkan oleh para Dewa dan kaum Denawa. Perebutan air ini dimenangkan oleh para Dewa. Sehingga dalam mithologi Hindu, para Dewa Jawata Sangyang ini “wenang lara luputing pati”. Bisa merasakan sakit dan tidak bisa mati. Selain bermakna air kehidupan, amrita atau amerta juga berarti pusat kota / ibu kota.
[2] Beras tuton: beras yang ditumbuk dengan menggunakan alat yang berupa lesung dan alat tumbuk alu atau mosala.
[3] Tehnik pewarna poles hitam adalah teknik primitif yang menggunakan sisa-sisa dari pembakaran jerami, kemudian dioleskan ke gerabah dengan cara diberi asap.
[4] Senopati Sarwajala adalah panglima angkatan laut Cirebon.
[5] Pasukan bhayangkara adalah pasukan anti hara-huru. Atau pasukan keamanan dalam negeri.
[6] Senopati Yudhanegara adalah kepala pasukan angkatan bersenjata mungkin semacam panglima angkatan bersenjata.
[7] Menurut mitos nelayan di Kecamatan Kapetakan sebelum jenazah Pangeran Bratakelana ditemukan oleh Syeikh Mudarim (Ki Lobama) atau Ki Gede Mundu di pesisir Mundu, Jenazah sang Pangeran terdampar di perairan Ujung Krangkeng. Namun oleh nelayan Krangkeng, jenazah tersebut dibawa kembali ke tengah laut, bukannya diurus sebagaimana mestinya. Perbuatan nelayan di Ujung Krangkeng tersebut dianggap tercela, sehingga daratan yang ada di Krangkeng mengalami abrasi, semakin berkurangnya daratan akibat abarasi ini dipercaya oleh nelayan-nelayan di Kecamatan Kapetakan sebagai sebuah kutukan akibat tidak memperlakukan jenazah seorang Syeikh arab (begitu sebutan para nelayan Kapetakan terhadap pangeran Bratakelana) dengan baik.
[8] R.Teja Subrata dalam naskah sejarah Cirebon kawedar menjelaskan proses gagalnya pangeran jaya kelana menjadi imam sholat jum’at, karena ketika melakukan sujud pangeran Jayakelana tidak bangun-bangun sampai tiga hari. Hal ini oleh sebagian besar ulama Cirebon dianggap sebagai penodaan syariat. Dalam naskah lain peristiwa ini sering disebut dengan pangeran Jayakelana gagal berkhotbah.
[9] Vonis hukuman mati tersebut kemudian diganti dengan hukuman denda yang berupa uang dinar milik P. Jayakelana seberat tubuhnya. Pertimbangan pengurangan hukuman tersebut karena mengingat pangeran jayakelana adalah calon pengganti raja. Setelah membagikan kekayaannya kepada fakir miskin, kemudian pangeran Jayakelana diasingkan sampai meninggal dunia. Atas kecintaannya kepada Allah, pangeran Jayakelana diberi gelar Anumerta P.Seda Ing Birahi.
[10] Dalam naskah sejarah cirebon akhir yang di salin Dil muhamad achmad, istilah panembahan Ratu di sebut dengan panembahan Pakungdyah.
[11] Lakon srepeng adalah lakon yang memadukan lakon galur (pakem), lakon anggit (kreasi) dan lakon babad.
[12] Lakon Lading Pangot Panurat Jagat berasal dari sastra tulis naskah Klayan. Dalang wari Priyadi melakonkan kembali cerita tersebut dengan judul Darmakusuma Nyalar.

No comments:

Post a Comment