Wednesday, January 24, 2018

CARUBAN NAGARI (Bagian 5)



Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah
dan Berdirinya Nagari Caruban

Pangeran Cakrabuana atau  Mbah Kuwu Carbon terlahir dengan nama Pangeran Walangsungsanng. Ayah Pangeran Cakrabuana bernama Pangeran Jaya Dewata atau Raden Pamanah Rasa. Setelah bertahta di Kerajaan Sunda Padjajaran, terkenal dengan nama  Prabu Siliwangi. Ibu Pangeran Cakrabuana bernama Ratu Subanglarang, terkenal juga dengan nama Nyi Larang Tapa atau Kencana Larang, yang dibina oleh seorang wali bernama Syekh Hasanuddin atau terkenal dengan nama Syekh Kuro.
Pangeran Walangsungsang lahir pada tahun ± 1423 dan wafat pada tahun 1529 (Sunardjo, 1983, 172). Pangeran Walangsungsang kemudian berguru pada pendeta agama Budha, yang bernama Sanghyang Danuwarsih (Ki Ageng Danuwarsih) kemudian menikah dengan putri sang pendeta yang bernama Nyi Endang Geulis. Dari pernikahannya dikaruniai seorang putri bernama Ratu Pakungwati. Kemudian setelah tamat belajar di padepokan yang berada di wilayah Priangan Timur ini, Pangeran Walangsungsang melanjutkan perjalanan ke wilayah utara menuju negeri Singhapura untuk menjumpai kakeknya yang menjadi Mangkubumi Singhapura dan Syah Bandar di Muara Jati.
Di wilayah pesisir timur utara Jawa Barat ini Pangeran Walangsungsang bersama adiknya Nyi Rarasantang berguru kepada seorang ulama agama Islam berasal dari Baghdad. Di Giri Amparan Jati ini Pangeran Walangsungsang dan adiknya berguru kepada Syeikh Idhofi Mahdi atau lebih dikenal dengan nama Syekh Nurjati. Dari Syekh Nurjati ini Pangeran Walangsungsang memperoleh gelar Samadullah. Setelah dianggap tamat oleh gurunya Pangeran Walangsungsang dianjurkan untuk membuka hutan di kebon pesisir. Di wilayah kebon pesisir ini sudah ada penguasanya bernama Ki Danusela, Ki Danusela adalah adik dari Ki Ageng Danuwarsih, mertuanya. Ki Danusela terkenal juga dengan sebutan Ki Gedeng Alang-Alang, Ki Danusela mempunyai seorang putri yang bernama Ratna Riris. Istri Ki Danusela bernama Nyi Arumsari yang berasal dari Cirebon Girang. Kemudian Nyi Ratna Riris ini kemudian dinikahi juga oleh Pangeran Walangsungsang. Dari pernikannya dikaruniai seorang putra bernama Pangeran Carbon.
Kedatangan Pangeran Walangsungsang mempercepat proses pengembangan di wilayah kebon pesisir ini. Perkembangan baru tersebut dengan cepat di huni oleh para pendatang yang kemudian menetap di sini.penduduk kebon pesisir ini terdiri dari campuran warga yang berasal dari etnis dan agama yang berbeda-beda. Kemudian secara aklamasi . Ki Gedeng Alang-Alang ditunjuk sebagai kuwu pertama di kebon pesisir ini. Gelar yang dipakai oleh Ki Danusela ini adalah Ki Kuwu. Pangeran Walangsungsang kemudian diangkat Pangraksabumi dengan gelar Ki Cakrabumi. Setelah sekian lama tinggal di kebon pesisir ini Ki Cakrabumi beserta adiknya disarankan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Ki Cakrabumi dan Nyi Rara Santang mentaati apa yang diperintahkan Syekh Nurjati gurunya. Setelah menunaikan ibadah haji adiknya menetap di jazirah Arab. Ki Cakrabumi sendiri kemudian kembali ke Cirebon. Ki Cakrabumi mendapat nama haji dari syekhnya, yaitu Haji Abdul Iman. Ketika tinggal di Mekkah Ki Cakrabumi tinggal di rumah Syeikh Bayanillah, saudaranya Syeikh Nurjati, Ki Cakrabumi sempat belajar kepada Syeikh Abu Yazid.
Setelah berada di kota Mekah selama tiga bulan Pengeran Cakrabuana kembali ke tanah jawa, namun terlebih dahulu singgah ke Champa. Di Negeri Champa Pangeran Cakrabuana berguru kepada Syeikh Maulana Jatisuwara. CPCN memberitakan bahwa Pengeran Cakrabuana belajar Syareat Rosul kepada Syeikh Maulana Jatisuwara atau Syeikh Maulana Ibrahim Akbar. Dalam naskah Serat Carub Kandha Syeikh Maulana Jatisuwara adalah putra dari Syeikh Maulana Suta Samud yang tinggal diwilayah pesisir Champa, dulu berada di Wilayah atas angin (Dataran Tinggi) Champa, kemudian di usir oleh Raja Champa karena Raja Champa kalah wibawa oleh Syeikh Maulana Jatiswara. Di Negeri Champa juga Pangeran Cakrabuana bertemu dengan keluarga ibunya, sebab pada waktu ibunya berusia 14 tahun pernah tinggal di Champa bersama bibinya Nyai Rara Rudra. Nyai Rara Rudra bersuamikan Ma Huan ( Dampu Awang). Ma Huan pernah tinggal di Singapura sampai memiliki seorang putri yang bernama Nyai Acih Putih, kemudian Nyai Acih Putih dinikahi oleh Prabu Siliwangi. Pernikahan Prabu Siliwangi  dan Nyai Acih Putih dikaruniahi seorang putri yang diberi nama  Nyai Rara Bedaya. Kemudian Nyai Rara Bedaya dibawa ke Champa oleh Ma Huan dan Nyai Rara Rudra. Rupanya posisi Ma Huan (Dampu Awang) sebagai konsul dagang pemerintahan Dinasti Ming sangat penting, sehingga ketika pemerintahan China memerintahkan pindah tugas ke Champa mereka harus kembali ke Champa. Prof. Wang mengamati bahwa Champa dan Malaka menduduki tempat yang sangat penting dalam jalinan hubungan sino – Asia Tenggara. Champa dan Malaka juga merupakan pangkalan paling penting di Asia Tenggara yang dipakai Armada Cheng Hwa (Tan Ta Sen; 2010; 243).
Kunjungan Pangeran Cakra Buana ke Champa tidak hanya bisa dipandang sebagai usaha memperdalam agama Islam dan Reuni keluarga saja, tetapi juga memiliki bobot politik yang bernilai strategis bagi perkembangan kerajaan Singapura selanjutnya. Alur perjalanan Pangeran Cakrabuana sejak berangkat haji maupun setelah kepulangannya ke tanah air selalu mengikuti alur strategis jalur perdagangan laut timur – barat yang selalu dipakai oleh armada Cheng Hwa. Perjalanan haji Pangeran Cakrabuana semakin memperkokoh penyebarluasan agama Islam dan juga misi perdagangan Singapura.
Pangeran Cakrabuana tinggal cukup lama di Champa, dia menamatkan semua ilmu yang dianjurkan oleh Syeikh Maulana Jatisuwara. Sampai akhirnya dijadikan menantu oleh Syeikh Maulana Jatisuwara, Pangeran Cakrabuana dinikahkan dengan Nyai Ratna Rasajati. Dengan putri gurunya itu Pangeran Cakrabuana dikaruniahi 7 Orang Putri, yaitu :
1.      Nyai Lara Sejati
2.      Nyai Jatimerta
3.      Nyai Jemaras
4.      Nyai Mertasinga
5.      Nyai Champa
6.      Nyai Lara Melasih
7.      Nyai Laras Konda

Kemudian Pangeran Cakrabuana berserta keluarganya yang dibawa dari Champa diboyong ke tanah Jawa. Sebelum sampai ke Jawa singgah dulu ke Malaka kemudian meneruskan perjalanan ke Pasai. Di Pasai Pangeran Cakrabuana berkunjung menemui Maulana Makdar Ibrahim, kebetulan Maulana Makdar Ibrahim memiliki seorang putri yang masih bayi, bayi perempuan itu bernama Syarifah Mutmainah. Sang bayi sedang sakit panas sehingga selalu menangis tanpa henti. Maulana Makdar Ibrahim meminta tolong kepada Pangeran Cakrabuana untuk mengobatinya. Pangeran Cakrabuana menggendong bayi itu, atas pertolongan Allah sang bayi itu sembuh dan berhenti menangis. Akhirnya bayi perempuan itu di adopsi oleh Pangeran Cakrabuana dan dibawa ke Cirebon. Setelah dewasa bayi Syarifah Mutmainah itu dikenal dengan nama Nyimas Gandasari yang sangat membantu dalam penyebaran agama Islam.
Pengalaman ke luar negeri Pangeran Cakrabuana sangat bermanfaat bagi penataan Cirebon dikemudian hari. Sekembalinya dari berhaji Pangeran Cakrabuana berkumpul kembali dengan keluarga di Lemah Wungkuk atau Pedukuhan Caruban. Kemudian Pangeran Cakrabuana bersama warga padukuhan Caruban membangun tempat ibadah yang berupa musholah dan disebut Tajug Jala Graha. “Jala” berarti laut dan “graha” berarti rumah, terjemahan bebasnya adalah rumah ibadah dipinggir laut.
Tidak berapa lama kemudian Ki Gedeng Alang-alang Wafat, Ki Gedeng Alang-alang adalah warga Lemah Wungkuk pertama yang dikubur dengan menggunakan Syariat Islam. Kemudian Pangeran Cakrabuana di daulat oleh warga Lemah Wungkuk untuk menjadi Ki Kuwu Caruban Ke 2 menggantikan mertuanya.
Sebagai Kuwu Caruban kedua Pangeran Cakrabuana memiliki peluang yang lebih besar untuk mengembangkan wilayah Caruban. Pengembagan wilayah sekaligus menyebarkan agama Islam. Adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana adalah; pertama, membuka lahan baru untuk pemukiman penduduk dan ladang pertanian pedukuhan. Pedukuhan yang dibuka oleh Pangeran Cakrabuan pada periode awal berdasarkan catatan babad atau sumber historiografi tradisional adalah; Padukuhan Trusmi, padukuhan Ciledug, padukuhan Junti, padukuhan Jungjang, Padukuhan Nusaherang dan Bayalangu.
Adapun padukuhan yang dibuka oleh putra-putra Pangeran Cakrabuana atas perintah Pangeran Cakrabuana sendiri adalah ; padukuhan Cirebon Girang statusnya ditingkatkan dari sebuah kabuyutan menjadi Pakuwon, usaha ini dilakukan oleh Pangeran Carbon. Padukuhan Jemaras dibuka oleh Nyai Ageng Jemaras, Padukuhan Jatimerta oleh Nyai Jatimerta.
-          Mengajak para Gegeden yang sudah lebih dulu membuka pemukiman untuk masuk agama Islam, antara lain adalah Ki Gede Gamel, Ki Gede Megu, dan Ki Gede Palimanan.
-          Melakukan pembinaan dan bimbingan agama Islam kepada penduduk di wilayah kerajaan Singapura, wilayah Japura dan Indraprahasta yang sudah bergabung dengan keraton Singapura yang masih dipimpin kakeknya.
Pada sekitar tahun 1445 Ki Ageng Tapa raja Keraton Singapura meninggal dunia. Seharusnya sebagai cucu dari Ki Ageng Tapa Pangeran Cakrabuana berhak menggantikan kedudukan sebagai raja Singapura. Namun peluang itu tidak diambilnya. Harta warisan peninggalan kakeknya digunakan untuk mendirikan istana Pakungwati dan membentuk angkatan bersenjata untuk melindungi wilayah di padukuhan Caruban. Peristiwa ini dicatat oleh CPCN, berikut kutipannya “kakinira rumuhun dumadi ratu singapura angemasi // pangeran cakrabuana tan sumilih kalangguhan ika // tatapiyan manhkana ika ya angaliliri rajabrana tumili amangun pakungwati kedhatwon irika kalawitan ikang eng gawe wadyabala // (setelah beberapa tahun lamanya kakanya yang dahulu menjadi ratu singapura meninggal, pangeran cakrabuana tidak menggantikan kedudukan itu, namun demikian dia mewarisi kekayaannya, selanjutnya ia mendirikan istana pakungwati, pada waktu itu pula ia mulai membangun angkatan bersenjata) (acha; 1986; 164-165).
Alun alun kasepuhan dan masjid agung sang ciptarasa kasepuhan cirebon tahun 1935 (poto : Mukroni)

Pangeran Cakrabuana adalah orang yang visioner, dia tahu bahwa pada saat itu singapura sudah harus dikembangkan, istana yang dibangun kakeknya sudah tidak mungkin lagi dipertahankan untuk melayani perkembangan Cirebon yang makin pesat. Perkembangan pelabuhan juga sudah saatnya diperluas, Pangeran Cakrabuana mulai membangun pelabuhan Caruban. Pelabuhan Caruban terletak diantara sungai gangga disebelah selatan dan sungai kedungpane disebelah utara. Diantara kedua sungai besar itu ada dua kanal yang dibagun untuk masuknya perahu ke pusat kota. Kanal yang mengalir menuju bagian depan kraton Pakungwati yang disebut kali Sipadu dan Kanal Sukalilah disebelah utara kanal sipadu.
Dukungan dari kuwu-kuwu yang ada di wilayah pedalaman Cirebon juga makin kuat kepada Pangeran Cakrabuana. Para kuwu yang sudah dilengkapi pasukan Badak[13] dan pasukan Baksa[14] siap mendukung kebijakan apapun yang dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana. Jumlah Pakuwuhan yang ada pada masa Pangeran Cakrabuana  memang belum ada data yang pasti dari manuskrip yang ada. Namun tentunya jumlah pakuwuhan di Cirebon semakin meningkat pada saat itu, seiring meningkatnya jumlah cacah pada waktu itu. Kesatuan penduduk terkecil pada masa itu disebut Somah ( kepala keluarga). Kemudian dari satu somah berkembang menjadi sebuah kebuyutan, beberapa kabuyutan membentuk dusun yang dipimpin oleh Gegeden. Dari beberapa Gegeden dipilihlah Kuwu untuk memimpin Pakuwuhan atau desa.
Perubahan suksesi kepempinan dan bentuk organisasi masyarakat yang ada di wilayah Cirebon dilaporkan oleh utusan kepada pemerintah Pajajaran. Kemungkinan utusan yang dikirim dari Cirebon melaporkan kepada perwakilan pemerintahan Rajagaluh yang ada di desa Balerante[15]. Dari Balerante melaporkan kepada Adipati Cakraningrat. Kemudian dari kerajaan rajagaluh (kerajaan Bawahan pajajaran) melaporkan kepada Maharaja Prabu Dewatawisesa.
Prabu Dewatawisesa atau dikenal dengan nama Prabu Siliwangi menerima kabar dari Cirebon dengan sukacita, sebab yang menggantikan mertuanya menjadi pimpinan di wilayah bekas kerajaan Singapura adalah anaknya sendiri. Selama ini Pangeran Cakrabuana selalu menyembunyikan identitasnya. Prabu Siliwangi juga menerima perubahan nama dari Singapura menjadi Caruban atau Cirebon. Kemudian sang Maharaja mengutus Tumenggung Jagabayan dan Mantri Pepitu ( tujuh orang menteri) untuk menyematkan gegelan petanda kaprabon ( tanda pelantikan penguasa caruban). Pangeran Cakrabuana dilantik menjadi tumenggung Caruban menggantikan posisi kakeknya yang telah wafat. Perubahan dari keraton singapura menjadi ketumenggungan Cirebon juga telah masuk menjadi pertimbangan Prabu Siliwangi. Pangeran Cakrabuana dinobatkan menjadi Tumenggung Sri Mangana.
Prabu Siliwangi selalu memantau Cirebon, sebab Katumenggungan Caruban adalah salah satu pelabuhan penting bagi pemasaran komoditi diwilayah pedalaman. Terutama di wilayah priangan timur. Wilayah priyangan timur yang memiliki hasil bumi yang cukup bagus adalah sukapura (Tasikmalaya), Kabuyutan Galuh[16] (Ciamis) , Limbangan (Garut) dan kerajaan di sekitar wilayah Majalengka yang menjadi bawahan kerajaan Pajajaran. Kerajaan tersebut adalah Rajagaluh dan Kerajaan Budha Talaga.
Kawasan Lemah Wungkuk dan areal dibangunnya Kraton Pakungwati dipersiapkan oleh Pangeran Cakrabuana menjadi pusat kota bagi Katumenggungan Caruban. Jalan-jalan dibangun untuk mempermudah akses masuk di kota ini. Keharmonisan hubungan antara penduduk lama dan pendatang baru selalu dijaga. Kasus pertikaian antara orang-orang pekalongan dengan imigran dari arab juga pernah terjadi disini. Pangeran Cakrabuana dapat menyelesaikan dengan sabar. Keluarga imigran dari arab yang dimaksud adalah keluarga Panjunan. Masyarakat pekalongan menolak ajaran baru (Islam) yang disampaikan dengan cara yang tidak mereka sukai. Pangeran Cakrabuana menasehati mereka untuk bersabar, tunggulah nanti akan dating orang merupakan bagian dari kalian yang akan mengenalkan Islam dengan cara-cara yang kalian suka. Kepada keluarga Panjunan juga Pangeran Cakrabuana sering berdiskusi agar mereka melakukan pendekatan dengan pendekatan budaya setempat.
Selain menata kota Pangeran Cakrabuana juga mendidik putra-putrinya untuk menjadi pemimpin masa depan. Pangeran Caruban yang sudah menjadi Kuwu Cirebon Girang dipersiapkan untuk menjadi Panglima Perang. Ratu Pakungwati juga dilatih oleh Keprajuritan dan tentu saja diajarkan agama Islam. Anak-anak yang lain dikirim ke berbagai daerah untuk menata pedukuhana dan juga sebagai juru dakwah, sementara adkinya Nyi Mas Syarifah Muda’im mempersiapkan putranya Syarif Hidayatullah untuk belajar pada guru-guru ternama yang ada di jazirah arab.
Di Negara Mekah Syarif Hidayatullah belajar pada Syeikh Tajuddin Al Kubro, CPCN memberitakan demikian. Mungkin yang dimaksud oleh CPCN adalag Syeikh Najmuddin Al Kubro. Syeikh Najmuddin Al Kubro terlahir dengan nama Abu Al Jannab Achmad Bin Umair yang mendapat julukan At-Tammat Al Kubro dan kemudian dikenal dengan sebutan Najmuddin Al Kubro (Schimmel, 2000; 323) Syeikh Najmuddin Al Kubro wafat pada tahun 1221 Masehi. Jadi 2 abad sebelum Syarief Hidayatullah lahir. Jadi pertemuan Syarief Hidayatullah dengan Syeikh Najmuddin Al Kubro sangat tidak mungkin, namun tidak menutup kemungkinan bahwa Syarief Hidayatullah belajar tentang Kubrowiyah dari murid-murid Syeikh Najmuddin Al Kubro. Namun sayangnya tidak ada teks-teks dari manuskrip Cirebon yang menjelaskan siapa murid Syeikh Najmuddin Al Kubro yang mengajarkan tarekat kubrowiyah kepada Syarief Hidayatullah.
Begitu pula dalam CPCN dan naskah babad mertasinga menjelaskan bahwa Syarief Hidyatullah belajar kepada Syeikh Athaillah As Syadzilli. Syeikh Athaillah As Syadzilli nama kecilnya adalah Tajudin Ahmad bin Muhammad Bin Athaillah Al Iskandari, dia adalah murid Abu Al-Abbas Al Mursi yang wafat pada tahun 686 H atau 1287 Masehi. Abu Al Abbas Al-Mursi ini adalah Khalifah Tarekat Syadziliyah yang menggantikan gurunya Abu Al- Hasan As Syadzilli. Kemudian setelah itu digantikan oleh Ibnu Athoillah (Schimmel, 2000; 318). Jadi walaupun Syarief Hidayatullah tidak bertemu langsung dengan kedua gurunya tersebut, masih mungkin mempelajari Tarekat Kubrowiyah atau Sadziliyah lewat mursyid sesudahnya atau lewat murid dari kedua mursyid besar itu. Hampir 4 tahun Syarief  Hidayatullah tinggal di Mekah untuk mendalami kedua tarekat itu. Namun hal yang paling memungkinkan adalah 2 tahun tinggal di Mekah untuk mendalami Tarekat Kubrowiyah dan 2 tahun tinggal di Iskandariyag Mesir untuk mendalami tarekat Sadziliyah, sebab tarekat Sadziliyah ini popular di Mesir sesuai dengan tempat kelahiran Syeikh Ibn Athoillah As Sadzilli. Apalagi Syarief Hidayatullah sendiri berasal dari Mesir walaupin dilahirkan di Mekah. Andaikan terjadai pertemuan fisik antara Syarief Hidayatullah dengan gurunya yaitu Syeikh Ibn Athoillah As Sadzilli, peluang terbesarnya terjadi di Mesir, tidak seperti diberitakan oleh manuskrip local maupun tulisan R. H. Unang Sunardjo[17].
Setelah selesai mendalami ajaran tarekat Sadziliyah di Mesir Syarief Hidayatullah pergi ke Bagdad untuk memperdalam agama Islam ke Guru-guru yang Mashur disana. Siapa Guru-guru Syarief Hidayatullah di Bagdad tidak ada penjelasan yang lengkap dari sumber-sumber lokal di Cirebon. Kemudian perjalanan dari Bagdad dilanjutkan kembali untuk pulang kembali ke kampung halamannya.  Syarief Hidayatullah mendengar kabar bahwa ayahnya telah wafat , dia diminta pulang ileh keluarganya untuk melanjutkan tahta yang diwariskan ayahnya. Syarie Hidayatullah menolak untuk menjadi raja, dia meminta ijin kepada Ibu dan pamannya untuk berdakwah menyebarkan Agama Islam di Negeri Ibunya di Tatar Sunda. Syarief Hidayatullah menyerahkan tahtanya kepada adiknya Syarif Nurullah.
Kemudian Syarief Hidayatullah berangkat menuju pulau Jawa dengan menumpang perahu dagang atab menuju pelayaran Gujarat, India. Kemungkinan besar di Gujarat Syarief Hidayatullah menemui kerabat-kerabat ayahnya disana. Saying sekali tidak ada keterangan yang menjelaskan aktifitas Syarief Hidayatullah di Gujarat. Dari Gujarat perjalanan Syarief Hidayatullah dilanjutkan  ke Malaka. Di Malaka Syarief Hidayatullah bertemu dengan kerabat ayahnya yaitu Syeikh Maulana Ishak. Syeikh Maulana Ishak adalah ulama yang pernah berdakwah di Blambangan, Jawa Timur. Di Blambangan  Syeikh Maulana Ishak memiliki seorang istri yang merupakan pitri Raja Blambangan.
Kemudian dari Malaka perjalanan dilanjutkan ke Pasai untuk menemui kerabat ayahnya juga yang mernama Maulana Makdar Ibrahim. Maulana Makdar Ibrahim adalah putra dari Maulana Abdul Gafur atau Maulana Malik Ibrahim Bin Barkat Zaenul Alim Bin Jamaluddin. Sementara silsilah Syarief Hidayatullah adalah Bin Syarif Abdullah Bin Ali Nurul Alim bin Jamaluddin. Jadi Syarieg Hidayatullah masih terhitung sepupu dengan Maulana Makdar Ibrahim. Alur perjalanan Syarief Hidayatullah menuju Cirebon hamper mirip dengan alur perjalanan Pangeran Cakrabuana. Hanya Syarief Hidayatullah tidak singgah di Champa. Memang Malaka dan Champa merupakan jalur yang sangat penting bagi hubungan Sino – Asia Tenggara. Posisi Malaka semakin meningkat sebagai pusat perdagangan entreport regional terpenting di Asia Tenggara setelah Cheng Hwa mendirikan pangkalan regional disana (Tan Ta Sen; 2010 ; 248).
Dari Pasai perjalanan Syarief Hidayatullah dilanjutkan menuju Banten. Di Banten Syarief Hidayatullah menemukan banyak penduduk yang sudah beragama Islam. Keislaman masyarakat Banten merupakan upaya dari Sunan Ampeldenta yang pernah tinggal beberapa lama di Banten.  CPCN memberitakan bahwa Syarief Hidayatullah langsung ke Surabaya untuk menemui Sunan Ampeldenta, sementara dalam manuskrip yang lain seperti Babad Mertasinga Syarief Hidayatullah mampir dulu ke Pelabuhan Muarajati untuk menemui Uwaknya pangeran Cakrabuana. Menurut naskah serat Carub Kandha, Syarief Hidayatullah dari Banten langsung ke Cirebon. Pertemuan dengan tokoh-tokoh di Jawa atas rekomendasi dari Pangeran Cakrabuana.
Pendaratan Syarief Hidayatullah di Muarajati disambut sukacita oleh Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana sampai melakukan pesta penyambutan khusus. Walaupun Pangeran Cakrabuana tidak pernah melihat wajah keponakannya itu, namun dia sudah dapat membayangkan seperti apa wajah Syarief Hidayatullah. Mirip ibunya atau ayahnya, ini yang dijadikan patokan oleh Pangeran Cakrabuana. Menurut sumber dari Keraton Keprabonan, dulu ibunya sempat ditinggali pusaka keris Ki Jimat Tunggul Manik[18] sebagai tanda pengenal jika Syarief Hidayatullah pulang ke Cirebon.
Pada waktu Syarief Hidayatullah berada di Cirebon kemungkinan Syeikh Nurjati Sidah Wafat. Syarief Hidayatullah diperintahkan untuk menghidupkan kembali cahaya Islam di Pesambangan Jati yang sempat redup sepeninggal Syeikh Nurjati, namun Syarief Hidayatullah tidak mengambil tempat di Bukit Amparan Jari sebab tempat itu sudah dijadikan kuburan Syeikh Nurjati. Syarief Hidayatullah membangun pesantren disebelah baratnya yaitu di Bukit yang banyak ditumbui pohon sembung. Masyarakat menyebutnya dengan bukit sembung. Kegiatan pesantren di Bukit Sembung kian hari kian ramai, siang malam banyak didatangi para santri. Kegiatan pasar Pesambangan juga semakin ramai, kapal-kapal asing banyak yang bersandar dipelabuhan Muarajati. Sepeninggal Ki Ageng Tapa kemungkinan jabatan sebagai Syah Bandar atau juru labuhan ditangani langsung oleh Tumenggung Sri Mangana sendiri, sebagai mana kakeknya dulu yang juga merangkap sebagai juru labuhan dan Ratu Singapura. Sebelum Syarief Hidayatullah dating, jabatan kewalian di bukit Nurjati juga dirangkap oleh Tumenggung Sri Mangana. Keterangan ini diperoleh dari Sejarah Cirebon Kawedar (SCK). SCK memberitakan bahwa sebelum Syeikh Nurjati wafat, Pangeran Cakrabuana diberi gelar Sunan Ranggapaku – Gelar Sunan Ranggapaku diberikan sebelum Syeikh Nurjati wafat. Sementara di naskah-naskah yang lain disebutkan bahwa Syeikh Nurjati pernah memberikan gelar pada Pangeran Cakrabuana dengan gelar Ki Somadullah. Gelar Somadullah ini diberikan sebelum diperintahkan untuk membuka luwung ghoib, Luwung Ghoib adalah nama hutan sebelum dialih fungsikan menjadi Pedukuhan Kebon Pesisir atau Lemah Wungkuk.
Siang dan malam pondok pesantren  Syarief Hidayatullah tidak pernah sepi, kalau malam pondok pesantren itu diberi penerangan lampu obor yang jumlahnya banyak sekali, sehingga cahaya kerlap-kerlip lampunya terlihat dari  kejauhan. Sehingga masyarakat Cirebon pada waktu itu menjulukinya pesantren Nurgiri Cipta Rengga. Walaupun Syarief Hidayatullah sudah memperoleh restu dari uwaknya Tumenggung Sri Manggana untuk menyebarkan agama Islam menggantikan Syeikh Nurjati, namun Syarief Hidayatullah tetap menjalin silaturahmi dengan wali dan ulama yang lebih senior. Pertama Syarief Hidayatullah menemui Syeikh Kuro di Karawang, namun Syeikh Kuro sudah wafat. Kedudukan Syeikh Kuro digantikan oleh Sunan Bentong ( Bah Thong), Sunan Bentong menyambut gembira pertemuan dengan Syarief Hidayatullah. Saat itu pesantren di Karawang sudah tidak seramai dulu pada masa Syeikh Kuri. Putri Syeikh Kuri yang bernama Siaw Ban Chi dinikahi oleh Bhre Kertabhumi Raja Majapahit. Sementara Sunan Bentong lebih suka berdakwah keliling sambil berdagang. Sunan Bentong selain dikenal sebagai wali, dia dikenal juga sebagai pemasok kebutuhan beras terbesar dari wilayah sunda ke Jawa Timur.
Selain bersilaturahmi dengan Syeikh Bentong, Syarief Hidayatullah juga pergi ke Banten. Di Banten ini dia ditemani oleh Uwaknya yang lebih mengenal seluk beluk Banten, karena masa kecil Tumenggung Sri Manggana dan ibunya Syarief Hidayatullah tinggal di Banten. Keduanya sempat berjiarah ke makan Nyai Subang Keranjang nenek Syarief Hidayatullah. Kemudian Syarief Hidayatullah dan Tumenggung Sri Manggana bersilaturahmi kepada Adipati Kawunganten. Kebetulan Adipati Kawunganten ini memiliku adik perempuan yang sangat cantik, kemudian Tumenggung Sri Manggana meminta kepada Adipati Kawunganten untuk dinikahkan dengan Syarief Hidayatullah. Adipati Kawunganten dan adiknya sangat gembira menerima pinangan Syarief Hidayatullah ini, pernikahan pun dilaksanakan. Pernikahan Syarief Hidayatullah dan Ratu Kawungaten ini terjadi pada tahun 1475 M. Pernikahan  Syarief Hidayatullah dengan Ratu Kawungaten menurunkan 2 orang anak. Yang pertama adalah Ratu Ayu Winaon yang lahir sekitar tahun 1477 M, dan anak kedua adalah Pangeran Sabakingkin yang lahir sekitar tahun 1478 M.
Di sela-sela kesibukan mengurus pesantren di Pesambangan Jati, Syarief Hidayatullah selalu menyempatkan diri untuk bersilaturahmi dan meminta dukungan Wali-wali yang lebih senior. Kunjungan selanjutnya dilakukan untuk meminta restu dari Syeikh Madekur yang tinggal disekitar Bukit Cupang, Bukit Cupang terletak di perbatasan Rajagaluh. Syeikh Madekur menjelaskan tentang seluruh potensi yang ada di Pulau Jawa. Dalam cerita Babad diceritakan bahwa Syeikh Madekur adalah seorang wali yang bias berjalan diatas awan dan menembus bumi.
Sebenarnya banyak sekali wali-wali sepuh yang dikunjungi Syarief Hidayatullah, namun yang dicatat oleh sumber historiografi tradisional hanya tokoh-tokoh tertentu saja. Wali yang terakhir dikunjungi adalah Sunan Ampeldenta di Surabaya. Selain kabar yang pernah diperoleh Syarief Hidayatullah waktu di Banten, Uwaknya sendiri juga merekomendasikan Syarief Hidayatullah untuk ke Surabaya, begitu juga setiap wali yang dikunjungi Syarief Hidayatullah, selalu menyarankan kepada Syarief Hidayatullah agar meminta berkah kepada Sunan Ampeldenta. Di Surabaya Syarief Hidayatullah telahh di tunggu oleh Sunan Ampeldenta dan wali-wali yang lainnya seperti Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat serta santri-santri yang lainnya. Sunan Ampeldenta masih terhitung kakek Syarief Hidayatullah sendiri dari jalur ayahnya, sementara Sunan Giri adalah Putra Maulana Ishak. Syarief Hidayatullah sempat berguru kepada Maulana Ishak, adapun Sunan Bonang dan Sunan Drajat adalah Putra Sunan Ampeldenta. Jadi mereka semua adalah kerabat Syarief Hidayatullah. Sunan Ampeldenta banyak memberikan wejangan kepada Syarief Hidayatullah. Wali keturunan Champa itu juga memberkati Syarief Hidayatullah dan memerintahkan untuk membantu Tumenggung Sri Mangana uwaknya dari pihak ibu. Sunan Ampeldenta juga memberikan garis batas wilayah dakwah Syarief Hidayatullah. Batas dari sebelah timur adalah sungai Cipamali sampai ke barat. Sementara batas wilayah barat adalah batas wilayah Kerajaan Sunda Pajajaran, sebab wilayah tersebut dinyatakan oleh Sunan Ampeldenta adalah wilayah “Minangka Warisan Saking Ibu” atau wilayah warisan dari Ibunya Syarief Hidayatullah.
Sebelum pulang Syarief Hidayatullah disuruh membawa dua orang murid Sunan Ampel yaitu Raden Jaka Taruna, mantan anggota angkatan laut kerajaan Majapahit dan Pangeran Surya seorang satria dari Sampang, Madura. Menurut naskah Serat Carub Kandha kedua orang itu disuruh melanjutkan berguru kepada Syarief Hidayatullah. Raden Jaka Taruna diberi tempat dipinggiran pantai Cirebon, sepanjang garis pantai Bungko, sementara Pangeran Surya ditempatkan di Desa Kemlaka Gede. Di Kemlaka Gede, Pangeran Surya diberi tugas untuk membantu Raden Mas Zakaria ( Ki Muntala Rasa) atau Ki Gede Kemlaka. Kalau menurut cerita tutur tinular di desa Kemlaka, Pangeran Surya atau Pangeran Kejoran tinggal di Kemlaka sekitar tahun 1527 M, yaitu setelah pulang dari penaklukan Sunda Kelapa.
Pesantren Gunung Sembung makin ramai saja setelah masiknya Raden Jaka Taruna dan Pangeran Surya, kemudian datanglah Adipati Keling. Adipati Keling berasal dari India, adipati keling bersama 98 orang pasukannya adalah pengawal khusus raja Keling, mereka juga memiliki keahlian temur di lautan. Adipati Keling dan 98 pasukannya diutus untuk menghadap kepada Syarief Hidayatullah. Setelah masuk agama Islam mereka berjanji akan mengabdi pada Syarief Hidayatullah sampai Hari Kiyamat[19].
Pada tahun 1440 M, Syarief Hidayatullah punya keinginan untuk bersilaturahmi ke negeri Champa. Di Negeri Champa banyak sekali ulama-ulama penyebar agama Islam yang masih memiliki kekerabatan dengan ayahnya. Syarief Hidayatullah pergi menjumpai guru-guru utama yang ada di Champa. Keberangkatan Syarief Hidayatullah ke Champa bisa juga atas saran dari Uwaknya Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana ketika dahulu mampir ke Champa atas sara gurunya Syeikh Kuro yang dulu pernah bermukim di Champa.
Kepergian Syarief Hidayatullah ke Champa memiliki banyak arti, Syarief Hidayatullah ke Champa tidak hanya dapat dimaknai sebagai silaturahmi keluarga dan pendalaman ilmu agama Islam saja, tetapi juga memiliki manfaat lain yang tidak kalah pentingnya. Manfaat pertama adalah jaringan perdagangan Islam, para ulama dan pedagang besar yang ada di negeri Champa saling bahu membahu dalam membangun ikatan persaudaraan Islam, mereka tidak melihat asal-usul Negara masing-masing. Manfaat kedua adalah memperkuat jaringan penyebaran agama Islam melalui jazirah arab; Gujarat; Malaka; Jawa; Champa dan China.
Menurut Serat Carub Kandha dan Carub Kandha Carang Seket, ulama-ulama keturunan Rosulullah yang berdakwa di Champa adalah Syeikh Ibrahim Samarkondi ( As-Samarkhan), Syeikh Duta Samud, Syeikh Syamsu Tamres, dan Syeikh Abdul Shomad. Namun ilama yang dicatat Babad Mertasinga yang bertemu dengan Syarief Hidayatullah hanya Syeikh Mustaqim. Syeikh Mustaqim inilah yang banyak memberikan wejangan kepada Syarief Hidayatullah, tentang hakikat kehidupan.
Dari Champa Syarief Hidayatullah pergi menuju negeri Tar-tar, negeri ini terletak di daratan China. Legenda Syarief Hidayatullah ke negeri Tar-tar sangat terkenal di Cirebon. Di negeri Tar-tar Syarief Hidayatullah sampai memiliki murid yang jumlahnya sangat banyak. Keilmuan Syarief Hidayatullah sampai mengundang rasa penasaran raja Tar-tar. Kemudian Raja Tar-tar menguji Syarief Hidayatullah dengan sebuah teka-teki. Putrid Kaisar disuruh memakai baju hamil, kemudian dalam baju hamilnya diisi dengan bokor dari kuningan sehingga Oeng Tien ( nama putri sang kaisar) seperti hamil betulan.
Syarief Hidayatullah disuruh menebak apakah Oeng Tien betul-betul hamil atau sedang terkena penyakit. Syarief Hidayatullah kemudian mengatakan bahwa Oeng Tien hamil betulan, Kaisar tertawa dan mencemooh Syarief Hidayatullah. Kemudian Syarief Hidayatullah diusir dari negeri Tar-tar. Syarief Hidayatullah kembali ke Cirebon, sementara itu ketika Oeng Tien handak melepaskan baju hamil dan bokornya dia sangat terkejut sebab bokor kuningannya telah hilang dan Oeng Tien benar-benar hamil[20].  Kisah ini menjadi cerita idola masyarakat Cirebon dan hamper ditulis dibanyak cerita vavad, kecuali CPCN. Naskah yang menceritakan kisah Syarief Hidayatullah di negeri Tar-tar adalah Naskah Sejarah Cirebon (NSC) dan Naskah Babad Tanah Sunda (NBTS). Ketenaran kisah ini sampai dijadikan landasan asal-usul berdirinya kota kuningan, sementara bokornya dijadikan lambang kota.
Kedatangan Syarief Hidayatullah ke Negeri China, menjadi topik yang menarik bagi para penulis babad pada masa itu, namun CPCN tidak pernah mencatat terjadinya kunjungan dakwah Syarief Hidayatullah ke negeri China itu. CPCN justru menulis tentang peristiwa kedatangan Laksamana Cheng Hwa, bahkan pendirian mercusuar oleh Panglima Besar Wang Heng Ping dan Laksamana Cheng Hwa di atas puncak bukit Amparan Jati ditulis dengan jelas. Peristiwa kedatangan Cheng Hwa dan pendirian mercusuar dengan keberadaan Syarief Hidayatullah di Cirebon hanya berjarak 55 tahun. Sudah barangtentu kiprah Cheng Hwa yang mashur itu dapat menginspirasi Syarief Hidayatullah untuk mengunjungi Negeri China. Apalagi Syarief Hidayatullah dari kecil dididik di lingkungan keluarga muslim terpelajar pasti sudah mendengar tentang hadits Rosulullah yang mengatakan bahwa “tuntutlah ilmu sampai kenegeri China”.
Walaupun kunjungan Syarief Hidayatullah ke negeri China itu hanya di catat dalam naskah babad yang usianya tidak lebih dari 200 tahun[21]. Namun peristiwa kunjungan Syarief Hidayatullah ke Negeri China yang terjadi sekitar tahun 1440 diyakini oleh masyarakat cirebon, bahkan kuburan putri Oeng Tien Nio di Astana Nurgiri Ciptarengga sangat dihormati oleh orang-orang Cirebon baik yang beragama Islam maupun yang non muslim. Khusus untuk peziarah non muslim dibuatkan tempat untuk persembahyangan mirip seperti di Klenteng.
Menurut CPCN Syarief Hidayatullah menikah dengan Oeng Tien yang meninggal pada tahun 1488, mempunyai seorang putra yang meninggal ketika dilahirkan di Luragung (Kuningan, Jawa Barat). Putra Oeng Tien diberi nama Pangeran Kemuning. Kemudian Oeng Tien mengadopsi putra Ki Gedeng Luragung. Dikemudian hari putra angkat Oeng Tien ini diangkat menjadi Adipati Kuningan dengan gelar Pangeran Adipati Kemuning.
Uit Cheribon’s Geshiedenis yang ditulis oleh seorang ahli arsip Belanda Dr. E.C. Godee Molsbergen juga memberitakan tentang keberadaan Oeng Tien ini. “Een vierde, ren chineesche prienses, die volgens de legende in een steenen prauw ove zee zou zijn gekomen, wordt herdacht in den grooten steen in prouwvorm te tjimandoeng” ( wanita keempat, seorang putri raja Tiongkok, yang menurut sebuah legenda datang melalui laut dengan menunpang sebuah kapal batu besar berbentuk sebuah perahu di Tjimandung) (Satibi; 2009 ; 2).
Memang tidak mudah menghubungkan data-data yang bersumber dari karya Historiografi pada masa lalu, apalagi dengan keterbatasan sumber-sumber sejarah yang dibutuhkan untuk membuktikan benar tidaknya kunjungan Syarief Hidayatullah ke neger Tar-tar atau ke daratan China. Maka dibutuhkan penelitian yang lebih serius dengan sumber daya waktu yang cukup. Namun ada baiknya kita melihat hasil penelitian dari Dr. Tan Ta Sen yang dikemas dalam bentuk desertasi di Jurusan Sejarah Universitas Indonesia yang diterbitkan pada tahun 2010. Dia mengatakan bahwa, “Cheng Ho memberi kontribusi secara langsung pada perluasan dan hubungan Dinasty Ming China dengan dunia Islam. Pandangan ini bisa dibuktikan dengan fakta bahwa banyak dari negara-negara pribumi yang dikunjungi misi Ming ke Asia Tenggara, India, Timur Tengah dan Afrika Timur adalah negara-negara Islam; dan sejak saat itu negara-negara ini mengirim utusan-utusannya ke istana Ming secara teratur. Negara-negara tersebut mencakup Champa, Malaka, Aru, Samudra Pasai, Aceh, Jawa, Cochin, Calicut, Bengal, Brunei, Maldives, Hormoz (Iran), Dhofar (Oman), Aden (Yaman), Mekah dan Mogadishu (Somalia) (Tan Ta Sen ; 2010; 241, 242)
Kedatangan Syarief Hidayatullah ke daratan China bisa jadi sebagai utusan dari Katumenggungan Caruban. Pangeran Cakrabuana mengutus Syarief Hidayatullah untuk menghadap penguasa dinasty Ming. Syarief Hidayatullah di utus untuk menjalankan misi diplomasi dari Pangeran Cakrabuana dan menjelaskan perubahan nama Singapura menjadi Caruban. Bisa juga diartikan bahwa kunjungan Syarief Hidayatullah ke China adalah untuk memnita dukungan atau pengakuan atas perubahan besar yang akan terjadi di Cirebon, dengan kata lain kedatangan Syarief Hidayatullah ke China dapat diartikan sebagai kunjungan balasan dari yang pernah dilakukan Cheng Hwa sebelumnya pada masa pemerintahan Ki Ageng Tapa.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah kunjungan Syarief Hidayatullah ke China semakin menguatkan posisi Cirebon sebagai sebuah negara Islam yang berdaulat. Peristiwa ini merupakan politik besar luar negeri Cirebon yang memanfaatkan misa besar armada pelayaran Cheng Hwa.
Pada tahun 1479 M Pangeran Cakrabuana menyerahkan jabatan Tumenggung Caruban kepada Syarief Hidayatullah. Peristiwa peralihan kekuasaan ini tentu saja dilaporkan kepada Maharaja Pajajaran di Pakuan. Tidak ada catatan apakah ada “gegelan pathanda kaprabon” (penyematan tanda jabatan) atau tidak, yang jelas di alun-alun Astana Nurgiri Ciptarengga “Mande Pajajaran” masih utuh sampai sekarang. Mande pajajaran atau bale pajajaran adalah salah satu “petanda keprabon” Syarief Hidayatullah walaupun tidak ada catatan siapa yang membawa “mande pajajaran” itu, tetapi mande pajajaran adalah salah satu bentuk bukti persetujuan Maharaja Pajajaran kepada Syarief Hidayatullah.
Setelah mendapat amanah dari Uwaknya Tumenggung Sri Mangana, Syarief Hidayatullah segera menyusun strategi untuk menjalankan roda pemerintahan ketumenggungan Caruban. Pangeran Cakrabuana atau Tumenggung yang sudah mantan tetap dibutuhkan tenaganya sebagai penasehat Syarief Hidayatullah. Penguasaan Pangeran Cakrabuana terhadap sistem keamanan dan wilayah teritorial tatar sunda juga tetap dibutuhkan, sehingga Pangeran Cakrabuana merangkap tugas sebagai Manggalayudha.
Syarief Hidayatullah juga tetap intensive melakukan hubungan bilateral dengan kerajaan Demak, bahkan ketika terjadi perang saudara antara Demak dengan negaa-negara kecil pecahan Demak Syarief Hidayatullah juga membantu Demak. Di Demak inilah para wali setanah Jawa berkumpul, dengan Demak  pula Syarief Hidayatullah membentuk aliansi untuk menjaga keamanan pantai utara dari perompak-perompak yang mengganggu jalur perdagangan.
Pada tahun 1482 Masehi atas dukungan dari Uwaknya Syarief Hidayatullah dinobatkan menjadi Raja Caruban, sebelum dilantik Syarief Hidayatullah dinikahkan dengan Putrinya yang bernama Ratu Dalem Pakungwati. Syarief Hidayatullah dinobatkan oleh Pangeran Cakrabuana dengan gelar Sunan Jati Purbawisesa, kemudian disaat yang bersamaan Syarief Hidayatullah dilantik oleh Sunan Ampendenta ( Ketua Dewan Walisanga) sebagai Sunan Carbon Sinarat Sunda Penetep Penatagama Auliya Allahu Kholifaturosulillah.
Pengukuhan sepihak Syarief Hidayatullah sebagai Raja Caruban, tentu saja memancing reaksi Pajajaran, apalagi dukungan walisanga yang menyebabkan lahirnya Demak dan merosotnya kerajaan Majapahit. Prabu Siliwangi segera mengirimkan ekspedisi khusus yang dipimpin oleh Tumenggung Jagabayan. Tumenggung Jagabayan diperintahkan untuk mencari tahu alasan Syarief Hidayatullah menghentikan pengiriman upeti kepada Pajajaran. Di Kraton Pakungwati kedatangan Tumenggung Jabayan disambut sebagai saudara oleh Pangeran Cakrabuana. Syarief Hidayatullah kemudian menjelaskan tentang perbedaan yang mendasar tentang konsep Islam dn konsep undang-undang kenegaraan yang telah banyak diselewengkan oleh Pajajaran. Menurut Syarief Hidayatullah pembayaran upeti yang dikumpulkan dari rakyat kecil sangat memberatkan, Syarief Hidayatullah memiliki konsep yang berbeda untuk mensejahterakan rakyat, kalangan yang mampu justru harus bisa membantu rakyat kecil yang lemah. Konsep ini disebut konsep zakat. Tumenggung Jabayan mendapatkan hidayah hingga memeluk agama Islam.
Kegagalan ekspedisi pertama untuk menindak Cirebon membuat Prabu Siliwangi makin penasaran. Segeralah dikirim ekspedisi kedua yang dipimpin langsung oleh kakak dari Tumenggung Jabayan, yaitu Tumenggung Jagasatru. Pada ekspedisi kedua ini adik bungsu dari Pangeran Cakrabuana turut serta, Rakean Santang atau Pangeran Raja Segara diharapkan oleh ayahnya agar bisa membujuk kakak dan keponakannya untuk tetap berintegrasi dengan Pajajaran. Namun ekspesidi ini berakhir seperti ekspedisi pertama.
Kehadiran tumenggung Jagasatru justru semakin memperkuat posisi Cirebon, apalagi dengan dukungan Rakean Santang ( Pangeran Raja Segara). Rakean Santang selanjutnya ditempatkan sebagai Juru Dakwah di wilayah Priangan Timur bagian selatan. Kehadiran Rakean Santang kian menguatkan dukungan rakyat Priangan Timur kepada Cirebon, sebelumnya dakwah Islam di Priangan Timur dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana sendiri.
Pengiriman ekspedisi khusus ke Cirebon memiliki makna yang sangat penting bagi Cirebon dan Pajajaran sendiri. Bagi Cirebon peristiwa itu dapat dimaknai sebagai berikut :
1.      Untuk melakukan interospeksi seberapa solid kekuatan yang dimilki Cirebon pada saat itu.
2.      Untuk merapatkan barisan bahwa ancaman terhadap eksistensi Cirebon bisa datang kapan saja dan dari mana saja.
3.      Memperkuat aliansi perdagangan dan keamanan antara Cirebon – Demak – Malaka – Champa dan China.
4.      Memperkuat sistem keamanan regional antara kerajaan-kerajaan yang berada di kawasan regional sino – Asia Tenggara. Biar bagaimanapun peranana China sebagai negara super power pada masa itu menjadi stabilisator di kawasan regional Champa – Malaka dan Laut Jawa menjadi sangat penting. Terutama untuk mencegah masuknya bangsa eropa ke wilayah regional tersebut.
Sementara bagi Pajajaran sendiri pengiriman ekspedisi ke Cirebon dapat bermakna sebagai berikut:
1.      Setelah dua kali pengiriman ekspedisi ke Cirebon gagal, Prabu Siliwangi menjadi semakin yakin cucunya sudah akan mampu membangun emperium disebelah timur Pajajaran. Sebuah negara yang sempat dibinanya sendiri. Sebenarnya Prabu Siliwangi masih mempunyai kekuatan untuk menyerang Cirebon kembali.
2.      Membaca peta aliansi hubungan Malaka – Demak – Cirebon – Champa dan China, yang dengan dibangun empirium perdagangan Islam, sambil mencari kesempatan untuk mencari sekutu baru dikawan itu. Ketika Malaka jatuh ketangan Portugis, Prabu Siliwangi langsung mengirim Pangeran Surawisesa untuk membuka kerjasama dengan Alfonso de Albuquerque. Peristiwa itu terjadi persis 1 tahun setelah kejatuhan Malaka, yaitu pada tahun 1512 Masehi.

TAMAT

Dirangkum dari Tulisan Bpk. Rafan S. Hasyim
“Jejak-jejak Cheng Hwa di Keratuan Singhapura”
“Serat Carub Kandha”
“Dinamika Jabatan Kuwu Dari Masa Ke Masa”
“Sungai-Sungai Bersejarah Di Cirebon”



[13] Pasukan Badak adalah Pasukan yang dibentuk oleh Kuwu. Pasukan tersebut dibentuk atas saran dari Pangeran Cakrabuana. Pasukan Badak personelnya diambil dari para pemilik Sikep (Tanah garapan) tugas dari pasukan Badak adalah melindungi keutuhan Wilayah Pakuwuhan. Tetapi apabila Negara membutuhkan mereka siap sedia, semboyan pasukan Badak adalah “Sedumuk Batuk, Senyari Bumi, Sun Labuhi Nadyan Tumetese Pudira Kang Pungkasan” (setinggi Bukit, Sejengkal Tanah, saya pertahankan sampai tetes darah yang penghabisan)
[14] Pasukan Baksa adalah pasukan Babak Yaksa, pasukan baksa ini dulu digunakan untuk membabat hutan untuk pemukiman warga, kemudian pasukan baksa ini ditarik untuk melindungi negara.
[15] Balerante adalah nama desa dikecamatan palimanan yang digunakan unruk serah terima upeti dari Cirebon ke Pajajaran.
[16] Sejak Ibu Kota kerajaan Sunda Pajajaran dipindah ke Pakuan (Bogor) dari Kawali (Ciamis) wilayah Galuh ini menjadi Kabuyutan. Di Kabuyutan Galuh hanya didiami oleh para Ajar saha sehingga kabuyutan galuh menjadi tempat paling suci bagi orang-orang hindu – budha pada saat itu.
[17] Sunardjo, RH Unang ; 1983 ; 51.
[18] Ki Jimat Tunggul Manik adalah pusaka milik Pangeran Cakrabuana yang diterima dari prabu SIliwangi. Menurut R. Tejasubrata dalam bukunya Sejarah Cerbon Kawedar; Pusaka yang diperlihatkan Syarief Hidayatullah kepada Pangeran Cakrabuana adalah keris Ki Nagadawa.
[19] Mengabdi sampai Hari Kiamat maksudnya, Adipati Keling dan keturunannya akan melayani Syarief Hidayatullah sampai Kiamat. Sampai Saat ini yang menjaga Kuburan Syarieg Hidayatullah dan keturunannya adalah keturunan Adipati Keling.
[20] Dalam Kisah masyarakat Cirebon digambarkan sebagai berikut : Perjuangan Sunan Gunung Jati pada abad kelima –belas dalam mengembangkan agama Islam di negeri Tartar Cina dilakukan dengan cara sebagaimana kebijksanaan yang pernah ditempuh sebagian para penyebar agama Islam terdahulu di kawasan dunia, baik Barat maupun Timur. Namun, rintangan dan tantangan yang tidak sedikit memeriukan pengorbanan, tetapi Islam adalah agama Allah Swt. dan Allah tetap akan melindunginya.
Setelah Sunan Gunung Jati mendapat restu dari ibunda Nyai Mas Syarifah Mudaim dan menyerahkan tahta kesultanan kepada adiknya Syarif Nurullah di Mesir, beliau menyiarkan agama Islam di negeri Tartar-Cina. Dalam penyiarannya, Sunan Gunung Jati menyamar sebagai rakyat biasa, dan memasuki perkampungan dengan ikut membuat keramik seperti guci dan piring. Tetapi, karena ucapan Sunan Gunung Jati seusap nyata seidu metu perkataannya menjadi kenyataan, dengan waktu yang tidak lama sebagian rakyat negeri Tartar menjadi percaya dan meminta pertolongannya dan memeluk agama Islam.
Penyiaran agama Islam yang secara tidak langsung oleh Sunan Gunung Jati di negeri Tartar, akhirnya, dapat diketahui oleh kaisar negeri tersebut. Kaisar sendiri mengetahui bahwa sebagian rakyatnya telah memeluk agama Islam. Dengan kejadian itu, Kaisar bermaksud hendak mengusir Sunan Gunung Jati dari negerinya, tetapi sebelumnya Kaisar ingin menguji dahulu sampai sejauh mana ilmu kesaktian Sunan Gunung Jati yang dikatakan rakyatnya bahwa Sunan Gunung Jati adalah manusia sakti mandraguna.
Kaisar memerintahkan putrinya yang bernama Nio Ong Tien supaya memasang sebuah bokor kuningan di atas perutnya untuk mengelabui Sunan Gunung Jati sehing-ga putri tersebut terlihat seolah-olah sedang mengandung dan dibuat sedemikian rupa agar terlihat menderita sakit. Selanjutnya, Sunan Gunung Jati dipanggil ke istana oleh Kaisar dan diantar menuju kaputren tempat putri Nio Ong Tien untuk mengobati putrinya yang dikatakan sedang sakit. Setelah Sunan Gunung Jati melihat putri Nio Ong Tien, sebagai insan hatinya terpikat jatuh cinta, begitu juga sebaliknya putri Nio Ong Tien tertarik dengan ketampanan Sunan Gunung Jati.
Sebenarnya, Sunan Gunung Jati mengetahui bahwa putri Nio Ong Tien itu tidaklah sakit dan tidak dalam keadaan mengandung; juga mengetahui yang di atas perut sang putri itu adalah sebuah bokor kuningan. Kaisar menanyakan kepada Sunan Gunung Jati, "Kapankah putri kami ini melahirkan?" Dijawab oleh Sunan Gunung Jati, "Insya Allah, beberapa bulan lagi". Dengan jawaban Sunan Gunung Jati itu, Kaisar sangat gembira karena tipuannya berhasil dan apa yang dikatakan rakyatnya bahwa Sunan Gunung Jati itu sakti temyata tidak benar.
Sambil mengejek, Kaisar mengatakan kepada Sunan Gunung Jati, sesung-guhnya putrinya itu tidaklah mengandung dan untuk membuktikannya Kaisar membuka ikatan bokor kuningan pada perut putri Nio Ong Tien. Tetapi, betapa kagetnya Sang Kaisar, dengan kehendak Allah Swt, sirnahing goro wujuding nyata, bokor kuningan yang terkandung di perut putrinya menjadi hilang tanpa krana dan putri Nio Ong Tien benar-benar mengandung.
Melihat kenyataan itu, Kaisar menjadi maiu dan bingung. Ia hendak minta tolong kepada Sunan Gunung Jati supaya putrinya kembali seperti sediakala, rasanya tidak suka. Akhirnya, dengan kemarahannya, Kaisar mengusir Sunan Gunung Jati dari negeri Tartar. Adapun untuk menghilangkan kandungan putri Nio Ong Tien, Kaisar memanggil kakek gurunya yang bernama Sam Po Taizin. Namun, kandungan putri tetap tidak pernah hilang.  Kisah di atas berlanjut pada kisah pemikahan putri Ong Tien dengan Sunan Gunung Jati. Kisah pemikahan ini hanya ada pada SC dan BTS yang kemudian berkembang di masyarakat—merupakan lanjutan dari cerita di atas—sebagai berikut:
Suatu hari di daerah Kajene, ketika Sunan Gunung Jati sedang mengajarkan agama Islam kepada Ki Gede Luragung dan para gêgêden lainnya, tiba-tiba di daerah tersebut kedatangan rombongan tamu agung dari negeri Cina yang mengiring seorang putri cantik yang sedang hamil tua bernama Nio Ong Tien, putri Kaisar negeri Tartar. Kedatangannya di daerah Kajene bermaksud menemui Sunan Gunung Jati.
Kepada Sunan Gunung Jati, putri Nio Ong Tien meminta belas kasihan agar bokor kuningan yang terkandung dan sudah menjadi kandungan di perutnya itu supaya dilepaskan. Juga, ia mengatakan bahwa kedatangannya di tanah Jawa ini karena merindukan Sunan Gunung Jati dan dirinya tidak akan kembaJi lagi ke negeri Cina melainkan akan menetap di pedukuhan Cirebon.
Sunan Gunung Jati dengan putri Nio Ong Tien sudah saling mencintai semenjak pertemuannya di negeri Tartar. Maka, dengan kedatangan putri Nio Ong Tien di hadapannya yang bermaksud minta belas kasihan, Sunan Gunung Jati segera memohon kepada Allah Swt. Selanjutnya, Sunan Gunung Jati mengusap perut Putri Nio Ong Tien yang didahului membaca dua kalimat syahadat, akhirnya bokor kuningan yang melekat di badan putri Nio Ong Tien terlepas dari kandungannya dan dengan sendirinya kandungannya kempes. Akan tetapi, bokor kuningan yang terkandung di perut Nio Ong Tien berubah menjadi seorang bayi laki-laki berparas elok kemilau kekuning-kuningan yang sorotan matanya memancar tajam, kelak bayi tersebut setelah dewasa menjadi seorang pemimpin di daerah Kejene.
Melihat hal itu, Ki Gede Luragung meminta kepada Sunan Gunung Jati dan putri Nio Ong Tien supaya bayi yang terjelma dari bokor kuningan itu diberikan pada dirinya. Ia berjanji akan merawatnya bagaikan anak sendiri dan mendidiknya dengan ajaran agama Islam. Kemudian, bayi itu diberi nama Raden Kemuning dan atas persetujuan Sunan Gunung Jati diberikan kepada Ki Gede Luragung. Selanjutnya, Sunan Gunung Jati beriring bersama putri Nio Ong Tien bertolak ke pedukuhan Cirebon. Di pedukuhan Cirebon itu, putri Ong Tien dinikahkan dengan Sunan Gunung Jati dengan upacara sederhana. Setelah putri Nio Ong Tie-menjadi istri Sunan Gunung Jati, ia berganti nama dengan gelar Nyi Mas Rara Sumanding. (Wildan; 2013; 221-223)
[21] Naskah Babad Cirebon yang diedisi olej J.L.A Brandes ditulis tanggal 16 Maret 1877 M, ditulis oleh Murtasiyah di Cicendo, Bandung. Naskah Serat Carub Kandha tahun 1260 H menurut Konversi Program Komputer Gregorian Converter dari Abel A. Al Rumaih 1996 -1997 bertepatan dengan 1844 M.